SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-47


Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biar pun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak hebat.
Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah arena pertandingan sambil berseru, "Tahan...!"
Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka dan membentak, "Pergi kau!"
"Sing...! Trak-trakkk!" Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.
"Berhenti dan jangan bertempur kataku!" Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.
Dua orang pemegang toya, yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.
"Siapa kau?" Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke atas. "Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?"
"Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga."
"Perempuan muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya? Apakah kau sudah bosan hidup?" Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu membentak.
"Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!" bentak Kwi Hong yang sudah marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.
"Siluman betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan hidup!" Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.
"Tidak perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian orang-orang sombong!" Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat menyambar-nyambar.
Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggota Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!
Melihat dara itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada setetes pun, tiga orang anggota Koai-tung-pang menggigil kakinya.
"Mo-kiam Lihiap..." Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. "Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap," kata seorang di antara mereka.
Kwi Hong tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya. "Kalian sudah mengenalku?"
"Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami adalah anggota-anggota Koai-tung-pang di Bukit Serigala, sudah lama kami selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggota mereka tewas, tentu mereka akan ke sini dan kami akan celaka."
"Lima orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?"
"Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang bersembunyi dan melihat-lihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan penyelidikan. Kini orang itu tentu telah melapor dan kami pasti akan celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan yang kuat, lima orang anggota mereka tewas, sungguh hebat sekali..." Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.
"Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama sekali bukan. Aku tak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku. Sudahlah!" Sebelum tiga orang anggota Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat. "Celaka...!" kata pemimpin mereka, "Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang."
"Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!" usul seorang di antara mereka. Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Serigala yang tidak jauh dari tempat itu.
Kwi Hong sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.
"Dia inilah orangnya!" Seorang di antara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggota mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.
Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, "Nona, benarkah engkau telah membunuh mati lima orang anggota kami?"
"Kalau benar demikian, kalian mau apakah?"
Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak menyerang. "Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggota kami?"
"Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh."
"Perempuan rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka bumi!" Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.
"Awas pedangnya tajam sekali!" teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.
Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggota terpelanting mandi darah!
"Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!" Saikong itu berseru dan dia sendiri menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.
Kwi Hong bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk menyerang dari segenap penjuru.
Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,
"Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari kami bantu kalian!"
Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja gadis ini menjadi marah sekali. "Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat dan pengecut!" Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan ginkang-nya.
"Singgg-trang-trang-trakk!"
Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggota Koai-tung-pang roboh dan tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Namun teman-temannya mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan ini, biar pun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.
"Wuuuttt... singgg... aughhh...!"
Teriakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggota Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih panjang.
"Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!"
Biar pun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak, "Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ha-ha-ha, betapa pun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita berlomba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!"
"Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!" jawab Kwi Hong yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok.
Wan Keng In tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya berkelebatan bagai naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengeroyok termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mereka yang sedikit pun tidak bernoda darah biar pun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!" Keng In memuji dan bukan pujian kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan apakah gadis murid susiok-nya ini akan mampu menandinginya.
Di lain pihak, Kwi Hong juga heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan bersikap ramah. Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,
"Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pesan dari ibumu untukmu."
Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana perginya ibunya, sungguh pun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.
"Di mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai yang menjijikkan ini?"
"Terserah kepadamu," jawab Kwi Hong singkat.
Keng In kemudian meloncat dan berlari ke dalam hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya. Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar.
"Nah, di sini kan lebih enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?"
Kwi Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. "Hmm, menghadapi engkau yang memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedangku."
Keng In mengangkat alisnya, memandang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa. "Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku." Dia menyarungkan pedangnya dan diturut pula oleh Kwi Hong.
"Aku bertemu dengan ibumu di Pulau Es..."
"Apa? Ibuku di Pulau Es?" Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.
"Benar, tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri."
Dapat dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah. Akhirnya ibunya tunduk juga kepada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibunya. Namun Keng In sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan perasaan hatinya. Dia hanya menunduk sejenak, kemudian ketika dia mengangkat muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.
"Apakah pesan Ibu kepadamu untukku?"
Kwi Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya dengan dahulu. Dahulu pemuda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa dan bahkan ramah.
"Bibi Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar membujukmu supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya."
Keng In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu.
"Tentu saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Engkau adalah keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku adalah anak tirinya. Bukankah dengan demikian kita masih dapat dikatakan saudara misan? Apa lagi kalau diingat bahwa engkau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin, berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong, kau terimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu."
Kwi Hong tercengang dan juga menjadi girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan membalas penghormatan Keng In sambil berkata, "Aku juga girang sekali bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main..."
"Wah, Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biarlah aku minta ampun kepadamu." Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kaki Kwi Hong!
"Ihhh! Jangan begitu, Adikku!" Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan mereka berdua lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.
"Enci Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari aku di sini!"
Berat rasa hati Kwi Hong untuk mengaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pemuda ini? Maka dia menjawab, "Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya."
Keng In mengerutkan alisnya. "Hemmm... mencari mereka ada keperluan apakah, Enci Kwi Hong?"
"Aku mau bunuh mereka!"
"Ehh! Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Kenapa kau hendak membunuh mereka?"
"Mereka itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku sehingga aku terpikat bersekutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku telah melakukan kesalahan besar terhadap pamanku."
"Hemmm, begitukah? Mereka pun pernah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawamu kepada beberapa orang di antara mereka."
"Apa? Benarkah itu, Keng In?"
"Benar, aku tidak membohong. Beberapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu bersembunyi di tempat sunyi itu."
Berseri wajah Kwi Hong. "Benarkah? Bagus, mari kau antar aku ke tempat itu, Keng In. Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang dikejar-kejar pemerintah."
"Mari, Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan? Sudah kau maafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?"
Kalau memikirkan apa yang telah dilakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apa lagi pemuda itu jelas ingin membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.
"Aku tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu."
Wajah yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan beberapa hari saja dari situ.
********************
Seperti telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu perahu besar yang ditumpangi oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan. Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan kegagalan yang bertubi-tubi sehingga pelayaran itu dilakukan dengan wajah murung dan hati kesal.
Usaha pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak memiliki pegangan untuk memberontak. Bahkan di Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehingga mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah mengalami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti mereka itu, tidak ada yang lebih memalukan dan merendahkan dari pada diampuni lawan setelah mereka kalah!
Memang mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini selagi mereka bingung ke mana harus pergi dengan perahu mereka karena amat berbahaya untuk mendarat setelah mereka menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang mengamuk dan menyerang perahu mereka!
Perahu itu sebetulnya sudah merupakan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu umumnya. Akan tetapi, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-gelombang setinggi anak bukit, perahu itu tak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga. Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah, diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!
Bhong Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika perahu itu pecah berantakan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah itu. Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupakan beberapa potong papan besar bersambung-sambung, hanya ada lima orang saja.
Dalam keadaan hampir pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan bersambung itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertubuh tinggi besar itu, Liong Khek, Si Muka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok, dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.
Berkat pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pecahan perahu yang kini ditumpangi mereka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang berapung, untuk menggerakkan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil setelah melalui perjuangan mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keadaan tenaga habis dan hampir mati kelaparan!
Kini mereka sudah hampir dua pekan berada di goa-goa pantai Lautan Po-hai. Tenaga mereka sudah pulih dan pada siang hari itu ketiga orang bekas pembantu Koksu bercakap-cakap di depan goa sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas sebagai pelayan, memanggang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.
"Sudah lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul," kata Liong Khek yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis menjadi pemimpin mereka.
"Dalam badai seperti itu, biar pun memiliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan banyak berdaya," Thai-lek-gu berkata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia dilemparkan ke dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.
"Agaknya dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan," kata Gozan. "Lebih baik kita tinggalkan saja dia. Tempat ini pun masih berbahaya. Kalau sampai ada nelayan yang melihat kita dan melaporkan, kita akan celaka. Aku sudah khawatir sekali ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di lautan itu."
"Tak usah khawatir," Liong Khek berkata, "Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan ke sini. Pula, dia sudah pergi beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada hari itu juga sudah ada pasukan yang datang hendak menangkap kita. Akan tetapi, andai kata demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan biasa?"
"Sekarang lebih baik kita lanjutkan rencana kita," kata pula Gozan. "Kita dapat pergi ke Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi Propinsi Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan tetapi jalan ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga yang menjaga di Tembok Besar. Jalan kedua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu dan kemudian terus ke barat melalui Mancu."
"Melalui Mancu? Gila, bukankah di sana pusatnya bangsa yang menjajah sekarang?"
"Justeru karena itulah maka kita takkan diperhatikan, karena tidak akan ada yang mengira bahwa kita berani lewat di sana. Di sana banyak terdapat orang Mongol, maka bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah saja melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol." Gozan yang sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.
"Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!" kata Liong Khek sambil menarik napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu, "Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan pergi ke neraka!"
Tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwi Hong dan Keng In! Pemuda itu tersenyum-senyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua tangan bersedekap (terlipat di dada).
Mendengar ucapan Kwi Hong dan ketika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah meloncat berdiri. "Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu itu?" Liong Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.
"Aku datang untuk membunuh kalian! Mana dia Si Keparat Bhong Ji Kun? Suruh dia keluar!"
"Dia... mungkin sudah mati. Perahu kami pecah dihantam badai dan yang dapat menyelamatkan diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh paman Nona. Kami telah dimaafkan..."
"Mungkin Paman memaafkan, akan tetapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian lakukan kepadaku hanya dapat ditebus dengan darah!" Sambil berkata demikian Kwi Hong sudah mencabut pedangnya.
"Singggg...!" Kilat berkelebat ketika pedang Li-mo-kiam dihunus.
Tiga orang itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang masih berdiri tenang dan tersenyum-senyum. "Wan-taihiap engkau adalah bekas sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak memaksa kami bertanding."
Wan Keng In tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh. Akan tetapi karena kalian berhutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang akan menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!"
Tiba-tiba tangannya bergerak, tampak sinar berkelebat ketika pedang Lam-mo-kiam dicabut dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah berdiri lagi di tempat tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi dua orang pelayan bekas juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena terganggu pekerjaan mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh, lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!
Tiga orang itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu lihai luar biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seorang diri saja melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.
Biar pun mereka juga maklum bahwa murid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apa lagi mereka itu telah siap dengan senjata mereka. Gozan yang tak pernah bersenjata itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Besar) pun ketika berhasil menyelamatkan diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di punggung. Ada pun Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri sebuah pancing dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing baru. Biar pun tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk dipergunakan karena memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh ini.
Melihat betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan telah berdiri memasang kuda-kuda dengan dua lengan dikembangkan seperti seorang yang kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"
Akan tetapi Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senjata mereka. Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri, dan terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan mata kailnya membalik, menyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.
Kwi Hong maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pedang menangkis sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam, cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.
Kwi Hong tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biar pun orang Mongol itu bertangan kosong, akan tetapi dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua tangannya. Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi. Karena itu dia selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan menyergapnya dari belakang.
Keng In hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan tetapi yang sudah jelas, matanya bergerak mengikuti gerak-gerik Kwi Hong, penuh kagum, dan kadang-kadang mata itu dengan liarnya melayang ke arah dada, pinggang, kaki dan wajah yang cantik dari gadis itu.
Pertandingan itu berjalan seru dan biar pun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi, akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jeri menghadapi keampuhan Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mukjizat itu. Betapa pun juga, tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!
Lima puluh jurus telah lewat dan masih belum ada di antara mereka yang terluka, kecuali golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena maklum bahwa kalau mereka hanya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu mereka akan menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itu pun berusaha untuk membalas dan merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu bagi mereka hanya berarti membunuh atau dibunuh!
Pada saat untuk kesekian kalinya sepasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong berusaha menangkis dan mematahkan golok dan Si Gendut itu memang hanya mengacau untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu menggerakkan pedang menghalau golok-golok yang mengancamnya, Liong Khek menggerakkan pancingnya yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan leher dara itu!
Kwi Hong memang sudah menanti hal ini terjadi karena dia merasa penasaran dan kehilangan sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat merobohkan mereka. Begitu tali pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong menggerakkan tangan kirinya menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang, dan seruan ini merupakan aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu menyerang dari kanan kiri, sedangkan Gozan menubruk dari belakang!
Kwi Hong mengerahkan sinkang, menarik tali pancing dengan tangan kiri. Ketika sepasang golok menyambar, kembali dia memutar pedang dan melepas tali pancing dengan tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemiliknya! Tentu saja Liong Khek dapat menyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong berhenti bergerak karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang sama, mata kail itu sudah menyambar ke arah mukanya dan sepasang golok sudah menjepit pedang, sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang!
Kwi Hong tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi dia tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan itu masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan kanan raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul ketat! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi.
“Krakkk!” terdengar suara ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus membabat ke belakang.
"Crokkkk! Aughhhh...!" Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak akan tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari tangannya masih mencengkeram baju gadis itu!
"Ihhhh!" Kwi Hong bergidik, merenggut lengan itu dengan tangan kirinya, kemudian membuangnya ke samping.
"Brettt!" Baju di bagian perutnya terobek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian dalam hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perutnya yang putih bersih itu tampak!
Sambil menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang bagai kilat menyambar di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik mengerikan ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh dengan pinggang hampir terpotong!
Liong Khek menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi nekat. Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur turun menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri telah menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sinkang ke arah dada dara itu.
"Heiiittt...! Blessss! Aduhhh...!"
Dengan kecepatan mengagumkan Kwi Hong telah merubah kedudukannya menjadi setengah berjongkok sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran, lalu dari bawah pedangnya meluncur dan amblas memasuki perut Liong Khek sampai menembus punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke belakang sambil menarik kembali pedangnya hingga darah yang muncrat itu tidak sampai mengenai pakaiannya. Liong Khek terhuyung lalu roboh menelungkup tanpa bersambat lagi.
Terdengar orang bertepuk tangan. "Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!"
Mulutnya memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selembar sapu tangan sutera dan menggunakan sapu tangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang robek.
Kwi Hong menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia berlutut, menutupi mukanya, terisak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang menutupi muka dan... tertawa!
"Kau hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?"
"Masih belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah Bhong Ji Kun!"
"Akan tetapi agaknya kau kalah duluan oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi, perahu mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat."
Kwi Hong bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Sayang sekali kalau begitu."
"Aku tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadi aku tidak mau turun tangan membantu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku membantumu tentu kau akan kecewa."
Kwi Hong tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di hatiku."
"Eh, kasihan kepadaku, Enci Hong?" Keng In benar-benar merasa heran. "Mengapa engkau merasa kasihan kepadaku?"
Mereka bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan sepanjang pantai laut.
Tiba-tiba Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu. "Keng In, bukankah engkau mencinta Milana?"
Keng In terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya. "Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana adalah puteri ayah tiriku, bagaimana mungkin...?"
"Bukan hanya itu saja." Kwi Hong menghela napas.
Gadis itu merasa hidup sebatang kara, setelah dia menganggap bahwa pamannya dan semua orang membencinya, dan tadinya harapannya tertumpah kepada Bu-tek Siuw-jin. Kini, sebelum bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang bersikap baik, maka dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang dapat dia ceritakan segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan kekecewaannya.
"Bukan itu saja, akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang..."
"Ehhh...?" Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong mengira dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya Keng In sendiri terkejut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi Hong benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya! "Diculik... siapa...?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, tetapi melihat perubahan pada dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi, juga bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu, Keng In."
Dapat dibayangkan betapa lega hati Keng In. "Eh, ada apakah lagi yang lebih hebat dari berita hilangnya Milana itu?"
"Ada yang lebih hebat, dan lebih menyedihkan untukmu, juga untukku..., bahwa Milana telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng."
Berita ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi Keng In! Di dalam hatinya seolah-olah ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana mencinta Bun Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya itu ternyata telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu. Akan tetapi dia memang hebat. Semuda itu dia telah pandai menguasai dirinya sendiri sehingga dia hanya menunduk saja, tidak tampak marahnya hanya kelihatan seperti orang yang berduka.
Sampai lama mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di sepanjang pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.
"Enci Hong... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?"
"Tidak mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan dijodohkan denganku..."
Keng In menoleh dan menatap tajam pada wajah yang menunduk itu. "Kau... kau juga mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong mengangguk tanpa menoleh hingga ia tidak melihat betapa sinar kemarahan membuat wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena segera terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang benar-benar berniat jujur dan baik. "Betapa pun juga, Enci Hong. Engkau adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan ke mana dia dibawa pergi."
Sekarang Kwi Hong menoleh dengan pandang mata terheran-heran. "Kau...? Hendak mencari dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusangka! Kau membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli karena kedukaan dan kekecewaanku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus mencari Bun Beng. Biar pun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es."
"Kalau begitu marilah kita mencari mereka, Enci Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali ini pun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan bekerja sama, bahu-membahu menumpas musuh-musuh kita!"
Tentu saja Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Ia tidak mengartikan lain dengan sebutan ‘musuh-musuh kita’ maka dia pun mencabut Li-mo-kiam, mengangkatnya di atas kepala dan dengan wajah berseri berseru, "Siang-mo-kiam akan menggegerkan dunia dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!"
Siang hari itu mereka berhenti di dalam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai kijang yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi Hong sudah mempersiapkan bumbu-bumbu yang tadi mereka beli di dusun terakhir di luar hutan. Keng In memilih daging-daging yang lunak dan memberikannya kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang sudah diaduk dengan air, kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas api unggun.
"Sayang tidak ada nasi," kata Kwi Hong.
"Makan daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan arak," kata Keng In.
Maka makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya senang. Dia merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng In untuk mencari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng seorang laki-laki di dunia ini, sungguh pun sukarlah menemukan keduanya!
Setelah perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepalanya agak ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong duduk menyandarkan punggungnya di bawah pohon besar. Tempat itu teduh sekali, melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan dan kekenyangan itu seperti dikipasi, tanpa disadari lagi dia telah tertidur sambil menyandar batang pohon!
Malam hampir tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya. "Auggghhh... kepalaku pening..."
Keng In segera mendekati dan berlutut di depan Kwi Hong. Dara itu membuka mata, memandang heran. "Di mana aku...? Kau... kau...?"
"Enci Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa...?"
"Ahh, Keng In... hampir aku lupa kepadamu... entah, kepalaku pening... aku bingung..."
"Tenanglah, Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum obat ini..." Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum, memberi gadis itu minum obat ini.
Kwi Hong yang berada dalam keadaan setengah ingat itu tidak membantah, dengan penuh kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, dia tidur lagi dan tak lama kemudian dia menjadi pulas.
Melihat dara itu sudah tidur dengan nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih banyak, membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso. Sukar baginya untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari itu. Yang selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan kemarahan dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga mencinta Bun Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya!
Biarlah dia akan menjadi Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun Beng yang terkena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya tadi akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan obat itu membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena hatinya lega, maka tidurlah Keng In.
Pada keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Di mana dia dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keadaan sekelilingnya hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba terdengar suara orang memanggil.
"Kwi Hong...!"
Kwi Hong menoleh ke kanan dan otomatis tubuhnya bersiap siaga. Biar pun dia tidak ingat apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi!
Melihat munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia membentak sambil meloncat berdiri, "Siapa kau?"
Pemuda bercaping bundar itu terbelalak heran. "Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku, kepada laki-laki yang kau cinta dan yang mencintamu? Kau lihatlah wajahku, lihatlah capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?"
Kwi Hong tercengang keheranan, mengerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda ini, akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bahwa dia memang mengenal pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi tidak ingat lagi.
"Aku tidak tahu... aku tidak ingat... siapakah engkau...?"
"Kwi Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!"
Mendengar nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas. "Bun... Bun Beng?! Ahhh, Bun Beng...!" Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.
Pemuda itu cepat berlutut di depannya, melingkarkan lengan ke lehernya, memeluknya dengan mesra. Biar pun pada waktu itu ingatan Kwi Hong sudah lenyap sama sekali sehingga dia tidak lagi dapat mengingat bagaimana wajah Bun Beng, akan tetapi mendengar nama itu sudah cukup menggerakkan hatinya, nama yang takkan pernah terlupa olehnya.
Otomatis, karena hatinya amat tertekan tadinya sebelum dia kehilangan ingatan, dan kini seolah-olah memperoleh obat penawar yang menyejukkan, kedua lengannya balas memeluk pemuda itu. Mereka berpelukan dan Kwi Hong terisak penuh rasa girang dan lega. Pemuda itu memegang dagunya, mengangkat muka, dan ketika pemuda itu menciumnya, mencium pipinya, hidungnya, mulutnya, Kwi Hong hanya mengeluarkan suara rintihan terharu dan memejamkan kedua matanya!
Sebelum kehilangan ingatannya, Kwi Hong merasa betapa hatinya hancur, terutama sekali karena Bun Beng yang dicintanya itu dijodohkan dengan Milana. Habis harapannya untuk dapat berjodoh dengan pemuda yang dicintanya itu, dan telah ada kenyataan bahwa pemuda yang dicintanya itu takkan dapat diraih olehnya, maka cintanya terhadap pemuda itu seolah-olah bertambah, dan dia merasa rindu sekali kepada Gak Bun Beng. Oleh karena itulah, kerinduan yang masih mencengkeram bawah sadarnya, kini timbul ketika pemuda yang dicintanya itu telah memeluk dan menciumnya. Tanpa dorongan rasa rindu yang hebat itu kiranya dia tidak akan menerimanya begitu saja pencurahan kasih sayang dari seorang pria terhadapnya, keadaan yang sama sekali masih asing baginya ini. Tapi sekarang Kwi Hong sama sekali tidak memberontak bahkan di luar kesadarannya, hidung dan bibirnya bergerak membalas ciuman pemuda itu dengan gairah yang meluap-luap.
"Kwi Hong... ahhh, Kwi Hong... kekasihku... hanya engkaulah wanita yang kucinta...!" Laki-laki itu berbisik sambil memperketat dekapannya dan membawa Kwi Hong rebah di atas rumput.
"Bun Beng... ohhh, Bun Beng...!" Kwi Hong memejamkan matanya dan sama sekali tidak peduli lagi akan apa yang dilakukan oleh pemuda yang dicintanya itu terhadap dirinya.
Dia menyerah bulat-bulat, menyerahkan hati dan tubuhnya dengan penuh kerelaan, bahkan dia membantu penyerahan itu karena dia pun membutuhkan kasih sayang pemuda ini. Maka terjadilah hal yang tak dapat dielakkan lagi dalam keadaan seperti itu. Hanya pohon-pohon, kabut pagi, dan burung-burung yang baru keluar dari sarangnya saja yang menjadi saksi akan pencurahan cinta birahi yang berlangsung pada pagi hari di bawah pohon besar itu. Pencurahan nafsu birahi yang terjadi atas kehendak kedua pihak, dengan suka rela, sungguh pun Kwi Hong melakukannya dalam keadaan hilang ingatan dan hanya merasa yakin bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada orang yang dicintanya, Gak Bun Beng, dan tidak akan merasa menyesal akan apa pun yang menjadi akibatnya.
Ada pun pemuda itu, yang mudah saja diduga bukan Gak Bun Beng sesungguhnya melainkan Wan Keng In, mula-mula menggunakan siasat ini, merampas ingatan Kwi Hong dengan obat pemberian gurunya, kemudian menyamar sebagai Bun Beng, bukan semata-mata untuk menikmati kemesraan tanpa perkosaan bersama Kwi Hong yang cantik dan yang dikaguminya, melainkan didasari oleh niat untuk menghancurkan hidup Bun Beng! Keng In ingin menanam kesan mendalam di hati Kwi Hong bahwa gadis itu telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Beng, dan hal ini tentu saja kelak akan menjadi penghalang bagi Bun Beng untuk melanjutkan perjodohahnya dengan Milana! Akan tetapi, bukan sampai di situ saja rencananya untuk menjebloskan nama baik Bun Beng ke pecomberan.
Setelah mencurahkan kasih sayangnya kepada pemuda yang dicintanya, pengalaman pertama selama hidupnya yang baru sekarang dialami akan tetapi sama sekali tidak disesalkannya itu, Kwi Hong tertidur lagi kelelahan dan kepuasan. Ketika dia bangun lagi, pemuda bertopi bundar itu telah berada di sisinya. Kwi Hong menggeliat, seperti seekor kucing manja, membuka mata dan merangkulkan kedua tangan ke leher laki-laki yang telah duduk di dekatnya, menarik muka yang dicintanya itu dan kembali mereka berciuman.
"Hemmm..., Bun Beng... aku merasa berbahagia sekali...!"
Keng In tertawa dan menarik tangan Kwi Hong bangun. "Hayo bangunlah, kita mandi di telaga dekat sini, kemudian melanjutkan perjalanan."
"Eh, ke mana?" Kwi Hong bertanya sambil tersenyum manis, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan seperti juga rambutnya, akan tetapi yang bahkan menambah keaslian kecantikannya.
"Ke mana lagi, sayang? Bukanlah kita telah menjadi suami isteri, biar pun belum resmi? Aku adalah suamimu, maka kau harus ikut bersamaku."
Kwi Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak ingat lagi... di mana rumahmu... akan tetapi aku tidak peduli, Bun Beng. Bersama denganmu, aku akan selalu merasa bahagia, biar kau bawa ke neraka sekali pun!"
Keng In merangkul dan kembali mereka berciuman. "Kwi Hong... pujaan hatiku... kalau aku membawamu, bukan ke neraka, melainkan ke sorga. Aku... aku cinta padamu, Kwi Hong...!" Kalimat terakhir ini menggetarkan jantung Keng In karena dia merasa betapa ucapan itu tidak dibuat-buat seperti kalimat yang lain! Dia benar-benar merasa jatuh cinta kepada Kwi Hong!
Sudah beberapa kali dia berhubungan dengan wanita, baik dengan perkosaan mau pun dengan suka rela karena kenakalannya, akan tetapi semua itu hanyalah peristiwa badani saja. Anehnya, setelah apa yang terjadi, setelah merasa sampai ke dasar dirinya betapa Kwi Hong benar-benar menyerahkan segala-galanya dengan kasih sayang yang mesra, agaknya kasih sayang dara itu mencekam perasaannya dan menggugah cintanya pula!
Sambil tertawa-tawa bahagia, mereka berdua mandi di air telaga yang jernih. Mereka mandi dengan telanjang bebas karena di dalam hutan itu sunyi tidak ada orang lain lagi. Dalam kesempatan ini, sambil berendam di dalam air jernih, kembali kedua insan itu mencurahkan perasaan mereka dan mengulangi perbuatan mereka di bawah pohon tadi. Bagi dua orang yang sedang dimabok asmara, seperti sepasang pengantin baru, agaknya keduanya tidak pernah merasa puas akan permainan cinta ini.
Keng In yang cerdik itu kini malah merasa khawatir kalau-kalau Kwi Hong sadar dan ingatannya kembali lagi, lalu menolak cintanya! Dia mulai merasa khawatir kalau dia akan kehilangan Kwi Hong yang dicintanya ini! Sungguh keadaan menjadi terbalik sama sekali! Karena itu, setiap hari dia selalu mencampurkan obat perampas ingatan ke dalam minuman atau makanan Kwi Hong dan mereka melakukan perjalanan cepat, hanya diseling dengan makan, tidur, dan bermain cinta.
Keng In ingin cepat-cepat mengajak Kwi Hong ke Pulau Neraka, di mana dia ingin menjalankan siasatnya selanjutnya untuk merusak hubungan antara Bun Beng dan Milana. Selain itu, juga obat yang dibawanya tidak banyak. Kalau sampal obat itu habis sebelum mereka tiba di Pulau Neraka, tentu akan berbahaya sekali. Kwi Hong akan sadar kembali dan dia akan menghadapi kesulitan besar. Maha besar.....
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)