SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-48


Biar pun dia terbebas dari bahaya itu, namun Milana masih tetap menjadi seorang yang seperti boneka hidup di Pulau Neraka. Dia masih belum ingat apa-apa karena sebelum pergi Keng In telah memesan kepada anak buahnya yang dipimpin oleh tokoh Pulau Neraka, Si Gundul Kong To Tek untuk setiap hari memberi obat perampas ingatan itu dicampurkan dalam makanan yang disuguhkan kepada Milana.
Pada suatu pagi, Milana duduk termenung seorang diri di belakang pondoknya di Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa malam tadi, Giam Kwi Hong keponakan dan murid ayahnya telah mendarat di Pulau Neraka bersama Wan Keng In! Andai kata dia melihat mereka mendarat, tentu dia akan menganggap Keng In yang memakai caping itu adalah Bun Beng yang selama ini dia pikirkan dengan hati risau, dan dia tentu tidak akan mengenal lagi Kwi Hong yang keadaannya sama dengan dia.
Tiba-tiba muncul Kong To Tek. Biar pun dia tidak mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kong To Tek bukan merupakan orang asing bagi Milana, karena Si Gundul inilah yang melayani segala kebutuhannya. Pernah dia bertanya kepada Kong To Tek, ke mana perginya Gak Bun Beng yang selama itu belum datang, dan dijawab bahwa pemuda itu sedang pergi, akan tetapi tak lama tentu kembali.
"Nona, Gak Bun Beng telah kembali ke pulau ini," Kong To Tek berkata kepada Milana sambil menyeringai. "Dan Nona diharapkan menemuinya di sana."
Terjadi perang di dalam pikiran Milana. Tetapi akhirnya, cinta kasih yang sebetulnya tak pernah padam di dalam hatinya itu menang dan dia mengangguk. "Di mana dia?"
"Di dalam pondok kuning dekat pantai timur, Nona."
Milana lalu berjalan cepat menuju ke pantai timur. Dia sudah hafal akan keadaan di Pulau Neraka dan sebentar saja dia telah tiba di pondok itu. Akan tetapi sunyi saja di luar pondok dan ketika dia mendekat, terdengar olehnya suara orang berbicara dan tertawa, suara seorang laki-laki dan seorang wanita yang bersendau-gurau dan bercintaan. Dia terheran-heran, lalu mengintai dari jendela dari kamar tunggal pondok kecil itu.
Kamar itu terang sekali dan tampak jelas olehnya segala yang terjadi di dalam kamar. Dia melihat pemuda bertopi bundar, Gak Bun Beng yang dicintanya, sedang bermain cinta dengan seorang wanita cantik, seorang wanita yang seperti telah dikenalnya akan tetapi dia lupa lagi siapa wanita itu. Melihat adegan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu, melihat betapa pria satu-satunya yang dicintanya bermain gila dengan seorang wanita lain, tak tertahan lagi Milana mengeluarkan suara isak tertahan, membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu!
Dari dalam kamar di pondok kuning itu, biar pun dia sedang berkasih-kasihan dengan mesra bersama Kwi Hong, Keng In yang sudah mengatur siasat itu maklum bahwa siasatnya berhasil dan dia mendengar isak tertahan tadi. Diam-diam dia tersenyum bangga ketika menciumi Kwi Hong. Mampuslah kau, Bun Beng, pikirnya. Milana tentu takkan sudi melanjutkan perjodohannya dengan Bun Beng setelah terjadi dua hal itu. Pertama, Bun Beng hendak merayunya dan mengajaknya berzina, kedua, Bun Beng telah bermain cinta dengan wanita lain!
Setelah berhasil, dia akan membebaskan Milana. Biarlah Milana kembali ke daratan dengan bekal kebencian yang meluap kepada Bun Beng! Dan dia sendiri... dia sudah puas dengan Kwi Hong. Hanya ada satu yang masih amat membingungkan dan menggelisahkan hati Keng In. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kwi Hong. Tidak mungkin kalau selamanya dia harus membuat Kwi Hong kehilangan ingatannya seperti sekarang ini. Obat itu adalah racun yang berbahaya, kalau terus menerus diberikan, menurut gurunya, bisa membuat gadis itu menjadi gila betul-betul! Akan tetapi, kalau ingatannya kembali dan Kwi Hong mendapat kenyataan bahwa dia telah menyerahkan dirinya bukan kepada Bun Beng, tapi kepada Keng In, apa yang akan terjadi? Apakah Kwi Hong mau menerima nasib? Bagaimana kalau tidak? Dia takut kehilangan wanita yang dicintanya!
Keng In mengusir rasa gelisahnya. Setelah kedua orang itu puas berkasih-kasihan dan Kwi Hong tertidur di kamar itu, Keng In segera meninggalkan pondok. Masih ada sedikit lagi yang harus dia lakukan sebelum dia membebaskan Milana. Cepat ia pergi ke pondok Milana, memakai caping lebar.
Milana sedang duduk menangis di dalam pondok itu. Ketika mengengar ada orang datang dia menoleh. Melihat bahwa yang datang adalah Bun Beng, dia bangkit berdiri.
"Manusia hina! Gak Bun Beng, hayo kau keluar dari sini!"
Keng In membelalakkan mata dan kelihatan terkejut. "Milana... kekasihku, mengapa kau marah-marah kepadaku?"
"Jahanam, jangan menyebut kekasih kepadaku! Engkau pernah merayuku, hal itu masih dapat dimaafkan. Namun apa yang telah kau lakukan di dalam pondok kuning bersama perempuan lacur itu?"
"Milana! Perempuan lacur yang mana kau maksudkan? Aku datang bersama Giam Kwi Hong! Masa kau tidak mengenal Giam Kwi Hong?" Keng In sengaja menekankan nama ini ke dalam ingatan Milana.
"Aku tidak kenal segala Giam Kwi Hong. Yang kulihat adalah bahwa perempuan tak tahu malu di kamar itu bermain gila denganmu. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu. Pergi!"
"Milana! Dia itu bukan perempuan lacur, kalau dia cinta kepadaku, apakah aku harus menolak? Gak Bun Beng bukan laki-laki yang suka menolak cinta seorang wanita. Giam Kwi Hong adalah murid dan keponakan ayahmu sendiri. Masa kau lupa?"
Milana kelihatan bingung. Ayahnya? Siapa ayahnya? Giam Kwi Hong? Seperti pernah dia mendengar nama ini. Murid dan keponakan ayahnya?
"Siapa? Ayahku...?"
"Ayahmu Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!"
Disebutnya nama ini seolah-olah merupakan guntur di siang hari memasuki telinga Milana. Inilah kesalahan Keng In. Nama Suma Han sebagai Pendekar Super Sakti telah berakar dalam ingatan Milana yang menjadi puterinya, maka begitu disebut nama ini, biar pun segala hal yang terjadi masih belum diingatnya, namun yang jelas dia tahu bahwa Bun Beng telah menghina ayahnya karena berjina dengan murid dan keponakan ayahnya itu! Ini saja sudah cukup baginya.
"Keparat, kau telah menghina ayahku!" Tiba-tiba kaki Milana menendang dan sebuah bangku melayang ke arah muka Keng In.
"Haiii!" Keng In memukul bangku itu.
"Brakk!" Bangku pecah berantakan akan tetapi Milana sudah menerjang maju dengan pukulan tangannya. Keng In kaget sekali, tidak mengira bahwa Milana menyerangnya dengan marah seperti itu. Dia cepat mengelak dan meloncat keluar, di hatinya dia tertawa girang. Milana sudah mulai membenci Gak Bun Beng! Karena tidak ingin melayani Milana yang mengamuk itu, Keng In cepat berlari kembali ke pondok kuning.
Akan tetapi tiba-tiba dia berhenti dan berdiri terpukau ketika melihat Kwi Hong sudah berdiri di depan pondok dengan pedang Li-mo-kiam di tangan dan mukanya merah, sepasang matanya berkilat! Keng In terperanjat, dan bulu tengkuknya meremang. Sepasang mata yang marah itu ditujukan kepadanya. Apakah karena dia tidak memakai caping bundar yang terlempar jauh ketika dia diserang Milana tadi? Ah, tidak mungkin! Kwi Hong sudah menganggapnya Bun Beng, pakai caping atau pun tidak! Akan tetapi mengapa?
"Wan Keng In! Aku tahu bahwa kau yang menculik Milana. Hayo serahkan Milana padaku!" Kwi Hong berseru dan mengelebatkan Li-mo-kiam di tangannya.
Keng In terbelalak. Jelas bahwa dara itu adalah Kwi Hong, wanita yang selama hampir dua pekan ini setiap hari berenang dalam lautan cinta yang mesra dengan dia! Dan wanita ini selalu menganggapnya Gak Bun Beng. Kenapa kini tiba-tiba menyebutnya Wan Keng In? Sudah sadarkah dia? Tak mungkin! Tadi sebelum pergi, dia sudah menyediakan minuman bercampur obat untuk Kwi Hong!
Memang amat mengherankan bagi yang tidak melihat apa yang terjadi dengan diri Kwi Hong ketika Keng In pergi tadi. Baru saja Keng In pergi dan Kwi Hong masih tidur pulas dengan wajah membayangkan senyum kepuasan, sesosok tubuh yang pendek menyelinap ke dalam kamar itu, membuang isi cawan minuman dan menukarnya dengan benda cair yang dituangkan dari guci arak yang dibawanya. Bayangan itu lalu menyelinap keluar lagi setelah dia mengguncang kaki Kwi Hong yang lalu terbangun.
Kwi Hong memandang ke kanan kiri, melihat cawan di atas meja.
"Bun Beng...?" Dia memanggil akan tetapi tidak ada jawaban. Diambilnya cawan itu dan diminumnya. Tiba-tiba dia berteriak kaget, meloncat bangun akan tetapi terbanting jatuh lagi ke atas dipan itu dan jatuh pingsan!
Bayangan pendek yang bukan lain adalah seorang kakek tua renta, Bu-tek Siauw-jin, masuk ke kamar itu dan menggeleng kepala sambil mengeluarkan suara "ck-ck-ckk!" Dengan perlahan dia lalu mengurut-urut punggung muridnya itu, di sepanjang tulang punggung dari bawah sampai ke tengkuk.
Kwi Hong siuman, bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya. "Aihhh, di mana aku...?"
"Kwi Hong..."
Dia menoleh, terkejut melihat gurunya telah berdiri di kamar itu. Cepat dia meloncat turun dan berlutut, membetulkan pakaiannya yang tidak karuan.
"Suhu! Apa artinya ini? Di mana teecu? Dan... dan... Bun Beng..." Gadis ini telah pulih kembali ingatannya berkat obat yang diberikan Bu-tek Siauw-jin dan urutan tangannya tadi. Dia teringat akan semua yang dialaminya dengan Bun Beng maka dia terkejut melihat gurunya dan tidak melihat kekasihnya di situ.
"Kwi Hong," suara Bu-tek Siauw-jin tidak seperti biasanya, kini terdengar tegas dan sama sekali tidak tampak senda-guraunya, bahkan alisnya yang putih itu berkerut. "Kau agaknya tidak tahu bahwa kau berada di Pulau Neraka."
"Ehhh...? Apa teecu mimpi...?" Ada rasa kecewa di hatinya. Kalau hanya mimpi, jadi semua pengalamannya yang luar biasa dengan Bun Beng itu pun hanya mimpi?
"Tidak, kau tidak mimpi. Akan tetapi ketahuilah bahwa Milana diculik oleh Wan Keng In, dan kau harus menolongnya keluar dari sini. Awas, dia datang!" Kakek itu berkelebat dan lenyap.
Mendengar nama Wan Keng In disebut sebagai penculik Milana, Kwi Hong menjadi terkejut. Kini teringatlah dia betapa Wan Keng In telah membantunya membunuh tiga orang musuhnya, membantu memberi tahu tempat mereka dan betapa dia melakukan perjalanan bersama Wan Keng In. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bagaimana dia berpisah dan Wan Keng In kemudian bertemu Bun Beng. Di mana sekarang Bun Beng? Betapa pun juga, mendengar perintah gurunya, cepat dia membereskan pakaiannya, menyambar Li-mo-kiam dan menanti di luar. Begitu dia mengenal Wan Keng In yang datang, dia segera menegurnya.
"Enci Kwi Hong... kau... kau... bagaimana bisa tahu?"
"Tak perlu kau ketahui, pendeknya aku tahu bahwa kau menculik Milana dan aku minta kau segera membebaskannya agar dapat secepatnya pergi keluar dari Pulau Neraka ini bersamaku. Selain itu, kalau kau berani menjebak Gak Bun Beng, terpaksa aku takkan memandang persahabatan kita lagi. Di mana dia?"
Keng In menahan ketawanya, hatinya girang. Kiranya gadis ini masih belum tahu bahwa Gak Bun Beng yang selama belasan hari ini mabuk dalam peluk ciumnya, adalah dia sendiri!
"Oohhh dia? Begini, Enci Kwi Hong. Dulu ketika kau melakukan perjalanan bersamaku, di tengah jalan aku bertemu dia dan... dan..., aku mendengar bahwa Milana diculik orang maka aku titipkan kau kepadanya dan aku sendiri lalu mencari Milana, berhasil dan kubawa ke sini... ada pun... ada pun dia itu..."
Keng In menjadi bingung sekali, bukan hanya karena Kwi Hong secara mendadak kembali pulih ingatannya, akan tetapi juga karena urusan menjadi berbalik arah! Kini dia tidak ingin gadis ini pergi meninggalkannya! Maka dia menekan hatinya dan mengambil keputusan untuk terang-terangan saja karena kalau tidak tentu Kwi Hong juga segera pergi meninggalkan dia!
"Begini, Kwi Hong... dengarlah baik-baik dan tenangkan hatimu. Kita sama tahu bahwa Milana dan Bun Beng saling mencinta, bahkan mereka telah dijodohkan menjadi calon suami isteri. Engkau mencinta Bun Beng dan aku mencinta Milana, akan tetapi cinta kita keduanya gagal. Karena itu, setelah aku melihatmu, aku merasa kasihan, dan... dan kita berdua yang gagal dalam cinta kasih ini bukanlah telah saling menemukan? Aku akan bebaskan Milana, biar dia mencari Bun Beng dan menikah. Aku... aku akan berbahagia sekali hidup selamanya di sampingmu, Kwi Hong."
Muka Kwi Hong berubah pucat. Ada firasat tidak enak menyelubungi hatinya. Dia mulai mengingat-ingat. Cerita Keng In yang pertama tadi tidak masuk akal sama sekali. Pengakuan yang kedua lebih cocok.
"Wan Keng In, jangan main gila kau! Apa maksudmu? Di mana Bun Beng?"
Dengan nada suara sedih penuh kekhawatiran, Keng In menjawab, "Bun Beng tidak ada, Kwi Hong. Yang ada hanya Keng In. Bun Beng adalah milik Milana, akan tetapi Keng In adalah milikmu seperti engkau milikku, Kwi Hong."
Wajah itu menjadi makin pucat, jantungnya berdebar tegang, dan hatinya penuh tanda tanya. "Apa...? Apa maksudmu?"
"Kwi Hong, engkau dan aku adalah sama-sama orang yang tidak disukai orang lain, tidak ada yang mencinta, dan gagal dalam cinta. Engkau dan aku yang menguasai Sepasang Pedang Iblis. Kita berdua dengan Sepasang Pedang Iblis di tangan akan menjagoi seluruh dunia. Kalau kita berdua maju, siapa yang akan dapat menandingi kita? Bahkan pamanmu, Pendekar Super Sakti sendiri belum tentu akan mampu menangkan kita berdua. Kita sudah jodoh, Kwi Hong, dan aku cinta padamu."
"Apa...? Kau gila, Keng In!"
"Kita berdua telah gila, akan tetapi dalam kegilaan itu kita dapat sepaham, dan kita akan senasib sependeritaan. Kwi Hong, engkau isteriku, engkau telah menjadi isteriku, selama dua pekan ini... bukankah kita berdua telah saling mencurahkan cinta kasih, demikian nikmat, demikian mesra... Ahhh, Kwi Hong, dapatkah kau melupakan semua itu? Haruskah hubungan semesra dan sebahagia itu dihentikan untuk mengejar yang tak mungkin didapat?
Kini wajah Kwi Hong menjadi merah sekali, air matanya bercucuran. "Kau... jadi kau... kau yang selama ini... kusangka Bun Beng...?"
"Terpaksa aku menyamar sebagai Bun Beng, karena aku ingin mendapatkan dirimu, cintamu, tanpa perkosaan..."
Terdengar jerit melengking disusul dengan berkelebatnya Li-mo-kiam ketika Kwi Hong menyerang Keng In. Pemuda ini cepat-cepat menangkis dengan Lam-mo-kiam dan bertandinglah mereka. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut mereka, karena keduanya maklum bahwa siapa lengah dia binasa. Sepasang Pedang Iblis itu kini benar-benar beradu kekuatan dan keampuhan yang sama besarnya, digerakkan oleh dua orang muda yang sama lihainya pula. Setelah kini Kwi Hong digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin, maka dia dapat mengimbangi kelihaian Keng In, karena dengan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es digabung dengan sinkang tenaga Inti Bumi yang belum dikuasainya benar, dia kini memiliki tenaga sakti yang mukjizat!
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. "Gak Bun Beng manusia hina! Aku harus membunuhmu!"
Sebuah caping meluncur ke arah Keng In yang sedang bertanding melawan Kwi Hong. Itu adalah capingnya yang tadi tertinggal di pondok, yang terlepas ketika dia diserang Milana dan kini oleh gadis itu dilemparkan dengan pengerahan sinkang kepadanya. Tidak boleh dipandang ringan caping yang dilemparkan oleh Milana ini. Karena sambitannya mengandung sinkang, maka caping itu meluncur dan berputar seperti sebuah cakram baja yang kalau mengenai leher mungkin akan dapat membuat putus leher itu.
Akan tetapi tentu saja Keng In yang lihai tidak menjadi gentar, bahkan menggunakan tangan kirinya menyambar capingnya itu dan dipakainya lagi! Dia melakukan ini bukan semata-mata hendak bergurau atau memandang rendah Kwi Hong, melainkan untuk menyakinkan hati Milana yang menganggapnya Bun Beng itu.
Milana yang marah itu tidak peduli mengapa Gak Bun Beng berkelahi melawan wanita yang dijadikan teman bercinta tadi dan yang menurut ucapan Bun Beng adalah Giam Kwi Hong murid ayahnya! Dia sudah marah sekali kepada Bun Beng. Pertama, karena Bun Beng sudah mengecewakan hatinya dengan tingkah lakunya yang buruk. Kedua, karena Bun Beng telah merusak kehormatan ayahnya dengan berjinah bersama murid ayahnya.
Dengan kemarahan meluap Milana sudah melolos sabuk suteranya. Karena dia tidak mempunyai senjata, kini dia gunakan sabuk itu untuk menyerang Bun Beng. Memang senjata ini merupakan senjata ampuh bagi Milana, maka begitu sabuknya meluncur ke udara mengeluarkan ledakan-ledakan kecil kemudian menyambar turun ke arah Keng In, pemuda itu terkejut bukan main dan cepat-cepat dia harus meloncat ke kanan untuk mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menyambar ujung sabuk. Akan tetapi sabuk adalah benda lemas, apa lagi berada di tangan seorang ahli, sabuk itu seperti seekor ular hidup dapat mengelit serangan, dan kalau mengenai pedang, dapat menjadi lunak sehingga lenyaplah daya ketajaman pedang Lam-mo-kiam.
Kwi Hong bingung sekali melihat keadaan Milana. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Milana juga tidak sadar, entah karena apa, seperti dia sendiri yang mengira pemuda ini Gak Bun Beng sehingga dia mau... digauli dan menyerahkan tubuhnya sampai belasan hari lamanya! Teringat akan ini, hampir saja dia menjerit-jerit menangis dan kemarahannya tersalur ke pedang Li-mo-kiam yang mengamuk dahsyat.
Bantuan Milana itu ternyata membuat Keng In merasa terdesak juga, akan tetapi pemuda ini dapat mempertahankan dirinya dengan baik. Baginya, melawan kedua orang wanita cantik itu benar-benar merupakan hal yang tidak menyenangkan. Yang dibenci adalah Bun Beng, dan biar pun dia sudah ‘meloncati’ Milana, namun di lubuk hatinya masih terdapat cinta kasih yang mendalam sehingga dia tidak suka untuk melukai dara ini. Ada pun terhadap Kwi Hong yang sudah menjadi ‘isterinya’ juga tumbuh cinta yang mesra, dan tentu saja dia pun tidak mau melukai, apa lagi membunuh Kwi Hong. Padahal, kedua orang dara itu menyerang sungguh-sungguh untuk membunuhnya.
"Huhhh... gadis-gadis liar...!" Seruan ini disusul menyambarnya angin dahsyat yang membuat Milana dan Kwi Hong terhuyung ke belakang.
"Suhu, jangan...!" Keng In berseru ketika melihat gurunya Cui-beng Koai-ong muncul dan telah menyerang dua orang dara itu dengan dorongan dari jarak jauh.
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, sambil bersungut-sungut seperti seorang kakek yang marah karena diganggu tidurnya, dia meloncat ke depan seperti terbang saja dan kedua tangannya kembali mengirim hantaman dari jarak jauh, kini dengan pengerahan tenaga sakti yang luar blasa.
"Suhu...!" Keng In kembali berteriak kaget.
"Dessss!" Tubuh kedua orang kakek itu terpental ke belakang ketika pukulan dahsyat Cui-beng Koai-ong bertemu dengan dorongan tangkisan yang dilakukan oleh Bu-tek Siauw-jin yang muncul secara tiba-tiba di tempat itu.
Melihat gurunya sudah muncul menghadapi kakek mayat hidup yang mengerikan itu, Kwi Hong sudah menyerang Keng In lagi. Juga Milana melanjutkan penyerangannya kepada Keng In yang tetap dianggapnya Gak Bun Beng itu. Kini Keng In benar-benar merasa khawatir sekali, khawatir dan bingung.
"Haiii, mundur kalian, jangan bantu aku!" Dia membentak Kong To Tek dan teman-temannya, sisa para anggota Pulau Neraka yang sudah maju mengurung hendak membantu pemuda ini menghadapi dua orang gadis yang mengamuk itu.
Tentu saja para anggota Pulau Neraka tidak berani maju, dan melihat betapa Cui-beng Koai-ong sudah bertanding melawan Bu-tek Siauw-jin, mereka pun hanya saling pandang dengan bingung. Membantu dua orang kakek yang saling bertanding ini mereka tidak berani, karena keduanya merupakan datuk Pulau Neraka, membantu Keng In dibentak. Mereka hanya dapat berdiri menonton dengan wajah tegang dan hati bingung.
Akan tetapi yang paling bingung adalah Wan Keng In. Dia tidak mengira sama sekali bahwa akan begini jadinya. Siasatnya yang telah dilaksanakan dengan serapi-rapinya telah rusak berantakan dan semua ini adalah gara-gara kakek pendek sinting yang kini bertanding melawan gurunya itu. Keng In memiliki kecerdikan yang luar biasa sekali. Sambil menahan serangan Kwi Hong dan Milana dengan Lam-mo-kiam di tangannya dan menggunakan kelincahannya berkelebatan ke sana-sini, otaknya mulai bekerja dan mempertimbang-timbangkan keadaan.
Kalau pertandingan itu dilanjutkan dan gurunya menang atas kakek pendek, gurunya yang sudah ‘kumat’ kemarahannya itu tentu tidak mau sudah kalau belum membunuh Kwi Hong dan Milana! Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya karena dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mencegah gurunya yang berwatak aneh luar biasa itu. Sebaliknya, kalau gurunya kalah, dan hal ini mungkin saja mengingat bahwa susiok-nya Si Pendek Sinting itu memang memiliki kepandaian yang hebat sekali, jika gurunya kalah tentu dia akan terus didesak oleh dua orang wanita ini. Kalau mereka dibantu oleh Bu-tek Siauw-jin, bagaimana dia akan dapat meloloskan diri? Dan semua anak buah Pulau Neraka tentu tidak akan ada yang berani membantunya menghadapi Bu-tek Siauw-jin.
Sungguh celaka, pikirnya. Setelah dua kakek kakak beradik seperguruan itu bertanding sendiri, keadaan menjadi berbahaya baginya. Gurunya menang pun celaka, gurunya kalah lebih celaka lagi! Inilah namanya urusan yang benar-benar tidak beres! Kalau tidak cepat-cepat mengambil tindakan yang tepat selagi gurunya dan susiok-nya (paman gurunya) masih berhantam, tentu akan terlambat. Tiada jalan lain, dia harus dapat memancing dua orang gadis ini keluar dari pulau sebelum kedua orang kakek sinting itu saling bunuh!
Dengan kecerdikan yang dapat membuat dia memperhitungkannya secara tepat ini, Keng In lalu memutar pedangnya membuat gulungan sinar yang menyilaukan mata, kemudian menggunakan kesempatan selagi dua orang dara itu melangkah mundur, dia meloncat dan melarikan diri!
"Manusia hina hendak lari ke mana kau?" Milana mengejar.
"Urusan di antara kita belum beres!" Kwi Hong juga meloncat dan mengejar.
Keng In lari ke tempat perahu di mana terdapat beberapa buah perahu dan memang dia sengaja melakukan ini agar bukan dia seorang yang dapat keluar dari pulau, melainkan juga dua orang dara itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi pantai, pada saat itu tampak sebuah perahu kecil dari mana meloncat ke luar seorang laki-laki yang juga memakai caping bundar. Gak Bun Beng! Melihat munculnya pemuda ini, diam-diam Keng In terkejut dan mengeluh sendiri. Sungguh sialan dia hari ini!
Sementara itu, ketika Bun Beng yang baru datang melihat Milana, bukan main lega dan girang hatinya. Dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan langsung saja menghadang Milana, mengembangkan kedua lengannya dan berkata, "Milana... terima kasih kepada Tuhan... engkau masih dalam keadaan selamat...."
"Kau...? Kau...?" Milana memandang bengong, sebentar kepada Bun Beng, kemudian memandang Keng In yang juga bercaping bundar dan yang sudah lari terus dan kini hanya dikejar Kwi Hong seorang.
"Milana, kekasihku... aku Bun Beng, lupakah kau...? Apa yang telah terjadi, Milana?" Bun Beng mendekat lalu memeluk dengan kaget dan heran melihat kekasihnya itu tak mengenalnya.
"Dessss!" Sebuah pukulan tangan kanan Milana mengenai dada Bun Beng. Dara itu serta merta memukul begitu mendengar nama Bun Beng.
"Aihhh mengapa, Milana?" Bun Beng terjengkang.
Biar pun secara otomatis sinkang-nya sudah melindungi dada ketika pukulan tiba, namun karena pukulan itu tidak tersangka-sangka, ditambah lagi hatinya yang remuk melihat kekasihnya seperti tidak mengenalnya, bahkan membenci dan memukulnya, Bun Beng terpukul dan sejenak memandang nanar.
Memang Milana masih dipengaruhi obat perampas ingatan. Gadis ini sendiri bingung ketika di depannya ada ‘Bun Beng’ lagi padahal Bun Beng sedang dikejar. Maka tanpa banyak cakap lagi dia menghantam orang yang mengaku Bun Beng ini. Baginya, yang teringat hanyalah bahwa nama Gak Bun Beng adalah nama yang dibencinya, karena orang itu telah mengkhianati cintanya! Setelah memukul, Milana berlari lagi mengejar Bun Beng pertama yang sudah meloncat ke atas sebuah perahu dan mendayung perahu ke tengah lautan. Kwi Hong juga sudah mendorong perahu kecil. Melihat ini, Milana meloncat jauh dan bagaikan seekor burung walet dia sudah tiba di atas perahu Kwi Hong yang sudah mulai meluncur itu.
Melihat Milana, Kwi Hong lantas berkata, "Milana, kau kembalilah. Dia itu Bun Beng kekasihmu, sedangkan yang di depan itu..."
"Tutup mulut dan mari kita kejar jahanam Gak Bun Beng itu!"
"Akan tetapi, Milana..."
"Aku tidak sudi bicara lagi tentang urusanmu. Kau mencintanya, bukan? Aku tidak peduli biar kau seribu kali mencinta Bun Beng!"
"Aih, Milana... aku... aku tidak ada apa-apa dengan Bun Beng..."
Milana memandang dengan penuh kemarahan. "Apa kau kira mataku ini sudah buta? Kau mau menyangkal bahwa kau berjinah dengan laki-laki di depan itu?" Dia menuding ke arah perahu yang ditumpangi Keng In.
Kwi Hong terisak, duduk di perahu dan menangis. Apa yang harus dijawabnya? Tak mungkin dia menyangkal. Agaknya Milana sudah melihat sendiri ketika dia bermain cinta dengan Keng In di pondok kuning, Keng In yang disangkanya Bun Beng! Kata-kata Milana menghancurkan hatinya dan betapa pun keras watak gadis ini, karena merasa betapa dia telah terperosok ke jurang kehinaan, dia menangis terisak-isak.
Milana juga menjatuhkan diri duduk di atas langkan perahu di depan Kwi Hong. Gadis itu adalah murid ayahnya, Giam Kwi Hong. Kini mulai samar-samar dia mengingat bahwa ayahnya memang mempunyai seorang keponakan yang menjadi muridnya sendiri. Dan Bun Beng yang mengaku cinta kepadanya, yang juga dicintanya itu, di depan matanya sendiri telah berjinah dengan gadis ini! Hal ini menusuk perasaannya dan Milana juga menangis.
Dua orang gadis itu menangis, membiarkan perahu mereka digerak-gerakkan ombak. Kemudian keduanya teringat akan Keng In atau yang disangka Bun Beng oleh Milana, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mendayung perahu dan mengembangkan layar, melakukan pengejaran kepada perahu Keng In yang sudah amat jauh, tinggal menjadi titik hitam di depan itu.
Sementara itu, Bun Beng yang merasa terheran-heran menyaksikan sikap Milana, tidak melakukan pengejaran karena dia melihat Milana sudah bersama Kwi Hong, tidak perlu dikhawatirkan sama sekali menghadapi Keng In. Buktinya Keng In telah melarikan diri dikejar dua orang dara itu. Kalau dia mengejar Milana, tentu akan timbul salah sangka yang makin besar. Biarlah dia akan menyelidikinya kelak, apa yang menyebabkan Milana marah-marah dan memukulnya seperti itu setelah tadinya dara itu seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
Tiba-tiba muncul beberapa belas orang yang mukanya beraneka warna dan langsung mereka itu mengeroyoknya dengan pelbagai senjata di tangan mereka! Bun Beng mengenal mereka sebagai para penghuni Pulau Neraka yang dipimpin oleh dua orang tokoh yang dikenalnya pula karena dua orang itu dahulu pernah dijumpai dan bahkan dikalahkannya, ketika mereka mengacau di Thian-liong-pang dan dia menyamar sebagai ketua Thian-liong-pang.
Dua orang yang memimpin delapan belas sisa anak buah Pulau Neraka itu bukan lain adalah Kong To Tek yang kepalanya gundul dan mukanya merah muda, pendek dan gendut. Orang kedua adalah Chi Song yang juga gendut akan tetapi tinggi besar, juga mukanya merah muda. Melihat dia diserbu dan dikeroyok, Bun Beng meloncat jauh tinggi melampaui kepala mereka yang berada di belakangnya, kemudian turun ke atas tanah sambil berseru, "Tahan senjata! Aku datang bukan sebagai musuh!"
"Kami mengenalmu. Engkau adalah Gak Bun Beng, musuh besar tuan muda Wan Keng In. Wan-kongcu sudah memesan bahwa jika bertemu dengan engkau, kami harus membunuhmu!" kata Kong To Tek Si Kepala Gundul. Teman-temannya sudah mengurung Bun Beng lagi dengan sikap mengancam.
Bun Beng mengangkat tangan ke atas dan berkata nyaring, "Kalian ini apakah tidak dapat membedakan kawan atau lawan? Aku datang untuk menemui Wan Keng In dan Nona Milana, bukan sebagai musuh karena Wan Keng In sekarang telah menjadi anggota keluarga Pulau Es. Kulihat mereka tadi berkejaran, apakah sesungguhnya yang terjadi di pulau ini?"
"Tidak perlu banyak bicara! Kawan-kawan, serbu...!"
Kong To Tek dan Chi Song sudah menerjang maju memelopori teman-temannya dan begitu maju keduanya telah menggunakan pukulan-pukulan maut mereka. Kong To Tek Si Gendut pendek gundul ini adalah seorang ahli pukulan beracun yang dilakukan dengan tubuh merendah seperti berjongkok, perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok dan mulutnya mengeluarkan uap hitam ketika dia memukul ke arah perut Bun Beng. Pemuda ini sudah mengenal ilmu Si Gundul ini, akan tetapi dia diam saja, tidak mengelak atau menangkis. Hanya ketika pukulan mengenai perutnya, ia mengerahkan sinkang-nya.
"Capppp!"
Tangan beracun itu memasuki perut, tersedot sampai sebatas pergelangan tangan dan tidak dapat dicabut kembali! Kong To Tek memekik kesakitan karena selain tangannya terasa panas sekali, juga hawa beracun itu seperti tertolak dan menyerang dirinya sendiri melalui lengannya yang tersedot ke dalam perut pemuda itu.
"Haiiiittt!" Chi Song memekik dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti terbang dia mengirim sebuah tendangan ke arah kepala Bun Beng.
Tentu saja pemuda ini tidak membiarkan kepalanya ditendang, dan dengan tangan kiri dia menampar, mengenai tulang kering betis kaki yang menendang.
"Krekkk!"
Tubuh Chi Song terpelanting dan dia mengaduh-aduh karena tulang kering kakinya patah. Pada saat itu, tubuh Kong To Tek terpental ke belakang. Kiranya Bun Beng telah melepaskan tangan yang disedot perutnya tadi sambil menendang. Kong To Tek terbanting dekat Chi Song dan dia pun mengaduh-aduh karena lengannya seperti dibakar dan dalam keadaan lumpuh!
Para anak buah Pulau Neraka terkejut dan marah melihat betapa dua orang pemimpin mereka roboh. Mereka adalah orang-orang yang tak mengenal takut, maka sambil berteriak-teriak mereka lari menyerbu.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan melengking, sedemikian hebat teriak yang mengandung khikang kuat sekali itu sehingga belasan orang Pulau Neraka itu bergelimpangan dan seperti lumpuh sesaat karena getaran suara itu. Bun Beng sendiri cepat mengerahkan sinkang-nya karena lengkingan dahsyat itu benar-benar luar biasa sekali. Dia tidak lagi mempedulikan para anak buah Pulau Neraka dan cepat dia melompat dan lari ke arah suara melengking yang luar biasa tadi.
Ketika dia tiba di tengah pulau, dan tiba di tempat dari mana suara lengkingan dahsyat tadi terdengar, dia berdiri terpukau di tempatnya dan tidak bergerak memandang peristiwa hebat yang sedang berlangsung di depan. Ternyata bahwa kakek pendek yang sakti, yang bersama-sama Pendekar Super Sakti telah menurunkan ilmu tinggi kepadanya, yaitu kakek Bu-tek Siauw-jin yang berkali-kali telah menolongnya, sedang bertanding melawan seorang kakek yang lebih tua dan yang mengerikan sekali, seperti seorang mayat hidup, namun yang kesaktiannya tak kalah oleh Si Kakek Pendek yang sinting!
Dan memang pertandingan antara kakak beradik seperguruan itu hebat bukan main. Selama ini, mereka tidak pernah bentrok, karena biar pun keduanya adalah datuk-datuk Pulau Neraka, namun keduanya mempunyai kesenangan yang berbeda. Bu-tek Siauw-jin adalah seorang petualang dan perantau, jarang berada di Pulau Neraka, sedangkan Cui-beng Koai-ong adalah seorang yang suka bertapa, terutama bertapa di bawah tanah-tanah kuburan bersama kerangka dan mayat-mayat. Dengan cara masing-masing, keduanya menambah ilmu mereka sehingga tidak lumrah manusia lagi. Mereka memang saling tidak menyukai, akan tetapi karena keduanya tahu bahwa masing-masing memiliki kepandaian hebat, mereka saling merasa segan untuk bentrok, apa lagi karena mereka masih saudara seperguruan.
Pertentangan dalam batin mereka baru timbul setelah Cui-beng Koai-ong mengambil Wan Keng In sebagai murid. Bu-tek Siauw-jin juga melakukan perbuatan tandingan, mengambil Kwi Hong sebagai murid pula! Bahkan lebih dari itu, dia berkenan menurunkan ilmu sinkang-nya Tenaga Inti Bumi kepada Gak Bun Beng. Padahal hal-hal itu merupakan pantangan bagi datuk-datuk Pulau Neraka itu. Puncak pertentangan itu terjadi ketika Bu-tek Siauw-jin melihat suheng-nya itu hendak membunuh Kwi Hong, maka dia muncul dan melawan. Andai kata Kwi Hong terbunuh dalam pertandingan melawan Wan Keng In umpamanya, kiranya kakek pendek ini tidak akan mau turut campur.
Pertandingan antara mereka memang hebat dan menyeramkan. Tadi mereka bertempur menggunakan ilmu silat masing-masing, saling serang dengan gerakan cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sukar dibedakan lagi. Namun, sampai seratus jurus belum juga ada yang dapat menang. Keduanya menjadi penasaran dan mengeluarkan pekik melengking dahsyat untuk mempengaruhi lawan, pekik yang saking hebatnya sampai membuat para anak buah Pulau Neraka terguling dan yang menarik perhatian Bun Beng tadi.
Setelah mengeluarkan pekik itu, kini keduanya berdiri tak berpindah dari tempat mereka dan kalau ditonton oleh yang tidak mengerti tentu akan membuat orang tertawa geli. Kedua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, dan mereka itu menggerak-gerakkan kedua tangan dengan gerakan memukul dan menangkis, padahal tangan mereka itu saling berjauhan dan tanpa ditangkis pun pukulan itu tidak akan mengenai badan.
Akan tetapi, Bun Beng yang melihatnya menjadi kagum dan juga terkejut karena pukulan-pukulan jarak jauh mereka itu sedemikian hebatnya sehingga angin pukulannya sampai terasa oleh dia yang berdiri agak jauh! Tentu saja Bun Beng tidak berani melerai atau mencampuri, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Kini tampak kakek mayat hidup itu memukul dengan kedua lengan didorongkan ke depan dengan dahsyat sekali. Bu-tek Siauw-jin juga mendorongkan kedua lengannya ke depan, menyambut serangan suheng-nya itu. Bun Beng seperti merasa tergetar dan tahu betapa di saat itu, dua tenaga raksasa mukjizat yang amat kuat saling bertemu di udara, di antara kedua orang kakek itu. Tampak betapa keduanya agak tergetar dan bergoyang-goyang tubuh mereka. Kedua lengan mereka tetap dilonjorkan saling dorong dan tubuh mereka tidak bergerak.
Perlahan-lahan tampak uap mengepul dari kepala kedua kakek itu, dan dengan hati kaget Bun Beng melihat betapa muka Bu-tek Siauw-jin penuh dengan peluh yang besar-besar menetes turun, akan tetapi wajah kakek pendek ini tetap berseri, mulutnya tersenyum. Ada pun kakek mayat hidup itu wajahnya keruh dan penuh kemarahan, akan tetapi tidak tampak peluh di mukanya walau pun uap yang mengepul dari kepalanya sama tebalnya dengan uap yang mengepul dari kepala sute-nya.
Pertandingan mengadu tenaga sakti ini benar-benar amat menegangkan hati Bun Beng sendiri sehingga tanpa disadarinya, tubuhnya juga mengeluarkan banyak keringat! Dia tidak mempedulikan Kong To Tek dan Chi Song bersama teman-teman mereka yang sudah tiba di situ pula. Mereka itu sebagai ahli-ahli silat tahu apa artinya keadaan kedua orang kakek itu, dan mereka memandang dengan hati tegang, tidak bergerak bahkan ada yang menahan napas.
Bun Beng yang sudah memiliki sinkang tinggi, dapat menduga bahwa kakek pendek itu terdesak hebat, napasnya sudah mulai memburu dan agaknya akan kalah dalam pertandingan ini. Akan tetapi, Si Mayat Hidup itu pun harus mengerahkan segenap tenaganya dan andai kata kakek cebol itu roboh, agaknya Si Mayat Hidup pun tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah. Maka dia menjadi makin tegang. Dia tidak berani mencampuri, apa lagi karena dalam keadaan seperti itu, kalau dia mencampuri, selain berbahaya bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi kedua orang kakek itu. Sedikit saja perhatian mereka teralih, mereka bisa tewas seketika terpukul oleh getaran hawa sakti yang bukan main dahsyatnya.
Tiba-tiba kakek yang seperti mayat hidup itu mengeluarkan suara menggereng dari perutnya dan darah merah menyembur keluar dari mulut, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir ini membuat Bu-tek Siauw-jin tak mampu bertahan lagi dan dia roboh terjengkang! Si kakek mayat hidup mengeluarkan suara ketawa aneh, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur turun menginjak ke arah tubuh sute-nya.
Bu-tek Siauw-jin juga mengeluarkan suara ketawa, kelihatan tangannya bergerak menghantam, menyambut kaki yang menginjaknya. Keduanya memekik hebat dan roboh terbanting, dada Bu-tek Siauw-jin pecah oleh injakan kaki kiri sedangkan kaki kanan Cui-beng Koai-ong hancur oleh pukulan sute-nya.
"Heh-heh... mampus kau, sute... heh-heh... aughhh..." Cui-beng Koai-ong terkekeh dan menuding ke arah sute-nya.
"Ha-ha... Suheng... kau yang melayat atau aku yang melayat, nih...?" Bu-tek Siauw-jin juga tertawa sambil menuding ke arah suheng-nya.
Cui-beng Koai-ong tertawa lagi lalu terkulai dan seperti juga sute-nya, kakek ini tewas seketika. Kakek mayat hidup itu telah memiliki kekebalan yang luar biasa, akan tetapi kelemahannya adalah pada telapak kakinya, maka begitu kakinya dipukul hancur, nyawanya melayang. Kakak beradik seperguruan yang keduanya memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu ternyata tewas dalam pertandingan antara mereka sendiri, sebuah pertandingan yang menggetarkan jantung Bun Beng.
Pemuda itu meloncat dekat, sekali pandang saja dia maklum bahwa keduanya telah tewas. Dia berlutut dekat mayat Bu-tek Siauw-jin, mengheningkan cipta sebentar sebagai penghormatan terakhir, kemudian dia bangkit berdiri memutar tubuh lalu pergi dari situ. Anak buah Pulau Neraka hendak menyerbunya, akan tetapi dia membentak, "Mau apa lagi kalian? Lebih baik urus jenazah kedua orang kakek ini!"
Sikap dan ucapan yang nyaring itu membuat mereka ragu-ragu, apa lagi karena kedua orang pemimpin mereka, Kong To Tek dan Chi Song, sudah tidak mampu bertanding lagi. Mereka hanya dapat memandang kepergian Bun Beng seperti sekumpulan serigala yang berniat mengeroyok akan tetapi ditindih rasa jeri.....
********************
Perahu yang ditumpangi Milana dan Kwi Hong tidak mampu mengejar perahu Wan Keng In sehingga akhirnya mereka itu tertinggal jauh. Ketika kedua orang dara ini mencapai tepi pantai dan mendarat, Keng in sudah tidak tampak lagi.
"Milana, dengarlah kata-kataku baik-baik. Entah apa yang telah terjadi denganmu, agaknya engkau masih belum menguasai ingatanmu, engkau masih belum sadar. Orang yang kita kejar tadi bukanlah Gak Bun Beng. Dia adalah Wan Keng In, manusia jahat yang harus kita bunuh!"
"Bohong! Aku tahu bahwa engkau mencinta Bun Beng, dan aku melihat dengan mata sendiri bahwa kau... kau telah..."
"Milana, aku sama sekali tidak melakukan sesuatu dengan Bun Beng. Ketahuilah, kau dan Gak Bun Beng telah dijodohkan, dan kini ayahmu minta agar engkau suka kembali ke Pulau Es bersama Bun Beng..."
"Kwi Hong! Tak perlu engkau membujuk aku dengan segala kebohonganmu! Coba jawab, apa engkau mencinta Wan Keng In?"
"Tidak! Aku akan bunuh keparat jahanam itu!"
"Nah, engkau membenci Keng In, dan engkau mencinta Bun Beng. Sekarang katakan, dengan siapa engkau di dalam pondok itu?"
"Dengan... dengan..." Kwi Hong bingung dan gugup sekali.
Maklumlah dia bahwa dia telah masuk perangkap. Kalau dia menjawab bahwa laki-laki dengan siapa dia bermain cinta di dalam pondok itu adalah Keng In, tentu hal ini berlawanan dengan pengakuannya bahwa dia membenci dan akan membunuh Keng In. Tentu saja Milana yang ingatannya belum pulih itu menyangka bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng.
"Sudahlah, Kwi Hong, aku sudah melihatnya sendiri, tidak perlu kau membohong lagi. Engkau mencinta Bun Beng, bahkan engkau telah menyerahkan dirimu kepadanya, aku tidak peduli lagi!" Milana hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Kwi Hong memegang lengannya dan membujuk,
"Milana, apa pun yang terjadi, marilah kita ke Pulau Es. Biar nanti ayahmu yang memutuskan segalanya. Engkau masih belum sadar..."
Milana merenggutkan lengannya terlepas dari pegangan Kwi Hong. "Cukup! Aku tidak sudi lagi bicara denganmu, perempuan tak tahu malu!" Milana lalu melompat dan pergi meninggalkan Kwi Hong.
Kwi Hong menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia menangis! "Bedebah kau, Wan Keng In. Aku bersumpah, tak akan berhenti sebelum dapat membunuhmu!" Dia bangkit berdiri dan melangkah dengan terhuyung ke depan, seluruh tubuh terasa lemas karena batin yang tertekan kedukaan.
Milana juga lari secepatnya dengan air mata bercucuran. Hatinya remuk redam mengingat akan hubungan cinta kasihnya yang hancur. Perlakuan Bun Beng terhadap dirinya di Pulau Neraka, ketika pemuda yang menjadi pujaan hatinya itu hendak merayunya dan mengajaknya bermain cinta, masih dapat dimaafkannya biar pun hal itu mengecewakan hatinya. Masih dapat dimaafkan karena mungkin saking rindu dan cintanya, pemuda itu tidak dapat menahan gairah hatinya yang dikuasai nafsu birahinya pada waktu itu. Akan tetapi, melihat Bun Beng berjinah dengan Giam Kwi Hong, bagaimana dia dapat memaafkannya? Apa lagi mendengar dari mulut Kwi Hong bahwa dia dijodohkan ayahnya dengan Bun Beng. Siapa sudi menjadi isteri seorang laki-laki mata keranjang seperti itu?
Beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan tanpa tujuan, perlahan-lahan ingatan Milana kembali karena pengaruh obat beracun itu sedikit demi sedikit lenyap setelah dia terbebas dari Pulau Neraka dan tidak diberi racun setiap hari seperti biasa. Karena kembalinya ingatannya itu sedikit demi sedikit, Milana tidak merasa akan hal ini. Dia hanya mulai teringat akan keadaan dahulu satu demi satu, ingat akan Kaisar yang menjadi kakeknya di kota raja, akan semua orang yang dikenalnya. Semua ingatannya pulih, hanya satu hal yang tidak semestinya, yaitu tentang Bun Beng. Bun Beng sekarang bukanlah Bun Beng dahulu lagi, sekarang menjadi seorang laki-laki yang dibencinya.
Karena ini, dia tidak mau kembali ke Pulau Es. Dia mendengar dari Kwi Hong bahwa dia dijodohkan dengan Bun Beng oleh ayah bundanya, dan dia tidak akan mau menerimanya. Kalau dia kembali ke Pulau Es, tentu akan terjadi hal yang tidak menyenangkan karena urusan itu. Maka dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, menghadap kakeknya dan tinggal di istana sebagai puteri Kaisar yang hidup mulia dan terhormat. Dan dia akan mencoba untuk melupakan Bun Beng!
Pada suatu siang selagi Milana berjalan cepat melalui pegunungan di sebelah utara kota raja, tiba-tiba muncul belasan orang laki-laki yang rambutnya digelung ke atas. Mereka itu kelihatan bersikap gagah, dan tidak kasar, akan tetapi jelas bahwa mereka sengaja menghadang di jalan dan pemimpin mereka, seorang laki-laki tinggi kurus berjenggot dan berkumis tipis, mengangkat tangan ke atas menyuruh dara itu berhenti.
"Nona harap berhenti dulu!"
Milana mengerutkan alis dan dia bertanya, "Kalian ini siapa dan mau apa menghadang orang lewat?"
Si Tinggi Kurus menjawab, "Kami adalah orang-orang Tiong-gi-pang (Perkumpulan Orang Jujur dan Berbudi) yang mengharapkan sumbangan dari semua orang lewat di sini. Harap Nona sudi meninggalkan sekedar sumbangan sebelum Nona melanjutkan perjalanan."
Milana marah sekali. "Kalian perampok?"
Orang itu menggeleng kepala dan para anak buahnya bersikap tidak senang dengan sebutan itu. "Kami sama sekali bukan perampok, bahkan kami pembasmi para perampok yang tadinya banyak berkeliaran di tempat ini mengganggu orang-orang lewat. Akan tetapi perkumpulan kami membutuhkan biaya-biaya dan dari siapa lagi kalau tidak dari sumbangan para dermawan yang lewat? Nona seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri, tentu Nona seorang kang-ouw dan sudah maklum akan hal ini. Maka harap Nona tidak bersikap pelit. Kami tanggung bahwa dari sini sampai kota raja, tidak akan ada seorang pun perampok yang berani mengganggumu, Nona."
Tentu saja Milana mengerti dan mengenal perkumpulan seperti itu. Dia adalah puteri bekas Ketua Thian-liong-pang, tentu saja tahu akan segala peristiwa dunia kang-ouw. Perkumpulan seperti mereka yang menamakan diri Tiong-gi-pang ini adalah perkumpulan yang biasa diejek dengan perampok-perampok halus. Mereka sebetulnya adalah orang-orang gagah yang bersatu untuk menghadapi dunia hitam para perampok, maling dan lain-lain.
Tetapi karena mereka itu tidak mempunyai penghasilan tetap dan perkumpulan mereka tentu saja membutuhkan biaya, maka mereka mengambil cara ini untuk menutup kebutuhan mereka yang bersahaja, yaitu dengan jalan ‘memungut sumbangan’ dari para orang lewat di daerah yang telah mereka ‘bersihkan’ itu. Akan tetapi pada waktu itu, hati dan pikiran Milana sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan karena Bun Beng, maka menghadapi hal yang biasanya akan dianggap wajar dan dihadapinya dengan penuh pengertian itu, kini menimbulkan kemarahannya.
"Bilang saja perampok, pakai memutar-mutar omongan segala. Kalau kalian minta sumbangan kepadaku, aku hanya membawa kaki tanganku yang bisa membagi pukulan dan tendangan! Entah kalian mau atau tidak menerima sumbangan ini!"
Dua belas orang itu adalah laki-laki gagah, tentu saja mereka menjadi marah sekali mendengar ucapan gadis ini yang amat merendahkan mereka. Betapa pun juga, mereka merasa segan untuk turun tangan mengeroyok seorang wanita muda, dan hanya pimpinan mereka yang tinggi kurus itu melangkah maju, matanya terbelalak marah ketika dia membentak,
"Bocah perempuan sombong! Mungkin kau memiliki sedikit kepandaian silat, akan tetapi hal itu amat tidak baik bagimu, membuatmu sombong sekali mengira di dunia ini tidak ada yang dapat melawanmu! Hemm, kalau memang engkau hanya bisa memberi pukulan dan tendangan, biarlah aku menerima sumbanganmu itu!"
"Kalau begitu, terimalah ini!" Milana yang sedang risau hatinya itu segera menerjang maju dan mengirim pukulan-pukulan dengan kecepatan luar biasa.
Biar pun Si laki-laki Tinggi Kurus itu berusaha menangkis dan mengelak, namun dia bukanlah lawan dara yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Pukulan bertubi-tubi dari Milana membuatnya terdesak tak mampu membalas serangan, akhirnya mengenai sasaran, pundaknya tertampar dan laki-laki itu terpelanting!
Melihat ini kawan-kawannya terkejut, penasaran dan marah sekali. Tanpa dikomando lagi mereka menyerbu, namun tak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata. Niat mereka hanya untuk menangkap gadis galak itu dan menghadapkannya kepada ketua mereka. Melihat ini, Milana mengamuk, akan tetapi dia pun mengerti bahwa pengeroyoknya itu bukanlah orang-orang jahat kejam karena mereka itu tidak ada yang menggunakan senjata. Maka dia pun hanya memukul dan menendang dengan tenaga terbatas agar tidak kesalahan tangan membunuh mereka.
Para pengeroyok itu terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa lihainya gadis muda itu. Beberapa orang yang maju lebih dulu sudah terpelanting ke kanan kiri dan mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lengan atau kakinya. Pada saat itu Milana melihat munculnya rombongan orang yang jumlahnya lebih banyak lagi, datang berlari-larian ke tempat itu. Hatinya menjadi gemas, dan dia sudah siap untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua!
Tiba-tiba beberapa orang di antara rombongan yang baru datang itu berseru. "Berhenti semua...! Dia adalah Nona Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang!"
Mendengar seruan ini, para pengeroyok terkejut dan mundur. Milana juga berhenti mengamuk dan memandang mereka yang baru datang itu. Di antara orang-orang ini dia mengenal beberapa anggota Thian-liong-pang! Lima orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Milana sambil berkata,
"Harap Nona suka memaafkan kami dan teman-teman kami, karena tidak tahu maka berani bersikap kurang ajar kepada Nona."
"Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian menjadi anggota gerombolan ini?" tanya Milana dengan alis berkerut.
"Harap Nona tidak salah duga. Perkumpulan Tiong-gi-pang bukanlah gerombolan perampok... dan perkumpulan ini didirikan oleh Bhok Toan Kok Pangcu (Ketua)."
"Haii...? Sai-cu Lo-mo...?"
"Marilah Nona, kuantar menjumpai Pangcu. Ceritanya panjang dan sebaiknya Nona mendengar dari Pangcu sendiri."
Berdebar jantung Milana. Semua pembantu ibunya telah tewas ketika Thian-liong-pang diserbu kaki tangan Koksu. Kiranya Sai-cu Lo-mo dapat menyelamatkan diri dan kini kakek ini selain masih hidup, juga sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan. Dia mengangguk lalu mengikuti rombongan itu memasuki hutan, dipandang penuh kagum oleh anggota-anggota perkumpulan Tiong-gi-pang yang bukan bekas anggota Thian-liong-pang.
Di dalam hutan di lereng bukit itu terdapat bangunan pondok-pondok sederhana dan inilah pusat perkumpulan Tiong-gi-pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang itu. Ketika Milana berhadapan dengan Sai-cu Lo-mo, gadis ini tidak dapat menahan kesedihan dan keharuannya. Dia menubruk Sai-cu Lo-mo sambil menangis.
"Bhok-kongkong (Kakek Bhok)...!" Dia menangis di pundak kakek yang mengelus-elus kepalanya itu.
Kakek itu duduk di kursi, kedua kakinya telah lumpuh akibat luka-lukanya ketika Thian-liong-pang diserbu oleh anak buah Koksu.
"Nona Milana... aihhh, Nona..." Sai-cu Lo-mo juga mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya. Akan tetapi kakek ini dapat menekan perasaannya, lalu menuntun nona itu memasuki pondok. "Mari kita duduk dan bicara, Nona. Kita harus masih bersukur bahwa para pemberontak itu dapat dihancurkan oleh ibumu, dan biar pun Thian-liong-pang sudah hancur lebur, namun namanya masih tetap baik sebagai pembela negara. Mari duduk dan ceritakanlah. Saya mendengar bahwa Nona terculik. Saya telah mengerahkan semua anak buah perkumpulan ini untuk membantu dan menyelidiki keadaanmu, namun sia-sia. Apa lagi terdengar berita bahwa engkau diculik orang Pulau Neraka, betulkah ini? Di antara kami tidak ada seorang pun yang tahu di mana letaknya Pulau Neraka itu."
Milana menghapus air matanya, kemudian dia menceritakan kepada pembantu ibunya yang setia itu tentang semua pengalamannya. Betapa dia diculik oleh Wan Keng In, akan tetapi berhasil mempertahankan kehormatannya sungguh pun dia tidak berdaya untuk keluar dari Pulau Neraka. Betapa kemudian muncul Giam Kwi Hong dan bersama keponakan dan murid ayahnya itu dia berhasil mendesak Keng In sehingga pemuda itu melarikan diri, sedangkan guru pemuda itu dilawan oleh kakek pendek yang menjadi guru Kwi Hong. Kemudian, kembali dia terisak menangis ketika menceritakan kelakuan Gak Bun Beng kepadanya.
"Menurut kata Enci Kwi Hong, oleh ayahku telah dijodohkan dengan dia, Kek. Akan tetapi... aku tidak sudi menjadi isteri manusia rendah itu! Dia tidak saja berusaha untuk menyeret aku ke dalam perjinahan yang kotor, tetapi dia juga berjinah dengan Giam Kwi Hong..." Milana menangis lagi.
Dapat dibayangkan betapa marah, duka dan kecewa hati kakek itu. Gak Bun Beng adalah cucu keponakannya, karena ibu pemuda itu, Bhok Khim, yang dahulu diperkosa oleh Gak Liat Si Iblis Botak sehingga melahirkan Bun Beng adalah keponakannya. Dan dia pernah melamar Milana untuk Bun Beng, yang ditolak oleh ibu Milana dan yang membuat dia mundur teratur ketika mendengar bahwa ibu Milana bukan saja puteri Kaisar, akan tetapi ayah Milana adalah Pendekar Super Sakti! Dan sekarang, Pendekar Super Sakti bahkan telah menjodohkan puterinya itu dengan Gak Bun Beng, akan tetapi agaknya Bun Beng telah berubah, telah menjadi seorang pemuda berwatak kotor!
"Nona, apakah yang kau ceritakan kepadaku benar terjadi? Menurut penglihatanku, Bun Beng bukanlah seorang berwatak bejat..."
"Kalau aku tidak mengalami sendiri dibujuk rayu olehnya, kalau aku tidak melihat sendiri dia berjinah dengan Kwi Hong, aku sendiri tentu tidak percaya, Kek. Akan tetapi aku mengalami sendiri dan melihat sendiri..." Kembali dia terisak dan menutupi mukanya.
"Sudahlah, Nona. Kalau kelak bertemu dengannya, aku sendiri akan menegur dan menghajarnya. Biar pun dia lihai, dia adalah cucu keponakanku, dan biarlah aku mati dalam tangannya kalau dia tidak dapat disadarkan. Sekarang, Nona hendak pergi ke mana?"
"Aku hendak mencari ibu..."
"Beliau tidak lagi berada di kota raja, Nona. Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu ikut bersama ayahmu ke Pulau Es."
Milana menghela napas dan menghapus sisa air matanya, "Aku pun menduga demikian ketika Enci Kwi Hong muncul di Pulau Neraka. Akan tetapi... aku sendiri tidak ingin ke Pulau Es setelah apa yang terjadi semua itu, setelah ayah menjodohkan aku dengan orang yang demikian rendah. Aku girang bahwa ibu akhirnya telah bersatu dengan ayah. Aku... aku... agaknya tidak ada jalan lain bagiku, aku akan ke kota raja menghadap Kaisar..." Dia ragu-ragu.
"Nona Milana, biar pun Kaisar adalah kakekmu sendiri dan tentu kau akan diterima di istana, akan tetapi dapatkah engkau menyesuaikan diri dengan kehidupan di istana? Nona sudah biasa hidup bebas, mungkinkah Nona hidup terkurung dan terbatas di dalam istana?"
Milana menarik napas panjang. "Aku pun meragukan hal itu, Bhok-kongkong. Tentu aku tidak kerasan di sana..."
"Kalau begitu, mengapa Nona tidak tinggal saja bersama kami? Ketika aku berhasil menyelamatkan diri dari serbuan anak buah Koksu pemberontak itu, aku bertemu dengan sisa para anggota Thian-liong-pang, dan bertemu dengan sisa anggota Pek-eng-pang yang sudah kehilangan pimpinan. Maka kukumpulkan mereka, kusatukan dan karena aku tidak berani menggunakan nama Thian-liong-pang, juga tidak sudi memakai nama Pek-eng-pang, aku lalu mendirikan perkumpulan baru bernama Tiong-gi-pang untuk menolong mereka, dan untuk mencegah mereka terperosok ke dalam lembah kejahatan. Kami sedang memperbaiki sebuah kuil besar dan kuno di hutan sebelah, Nona. Tempat itu akan menjadi pusat Tiong-gi-pang, dan kalau Nona suka tinggal bersama kami, hatiku akan menjadi lega dan girang, juga kehadiran Nona sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang tentu akan mempengaruhi para anak buah Tiong-gi-pang dan mencegah mereka dari penyelewengan."
Maka demikianlah, mulai hari itu Milana tinggal bersama Kakek Sai-cu Lo-mo, bekas pembantu utama ibunya di Thian-liong-pang yang sekarang telah menjadi pangcu dari perkumpulan Tiong-gi-pang.....
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)