SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-24


"Sing-singg-singgg...!" Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk menyerang.
Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mukjizat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.
"Orang muda, engkau kini merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba Maharya membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau Es.
Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia telah mengerahkan sinkang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang sehingga bacokan itu luput.
"Dar! Dar! Blengggg...!"
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asap hitam bergulung-gulung. Beberapa orang prajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantam tanah, meledak dan mengeluarkan asap hitam.
Bun Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan prajurit pemerintah. Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, ada yang lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini.
Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat menghampiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu anak buah Pulau Es.
"Phoa-toanio...! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana adanya Kwi Hong?"
"Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."
"Kwee Sui...?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.
"Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau... Gak Bun Beng, bukan?"
"Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!" Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.
Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggota pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak tampak sama sekali.
Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang prajurit. Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan serius.
"Bocah itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus. Bagai mana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah demikian hebat?"
"Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."
"Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu," jawab Maharya.
"Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang biasa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang Pulau Neraka."
"Akan tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka itu selalu bertentangan dengan Pulau Es?"
Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak, dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali ia meloncat dan membuat perhitungan.
Bhong Ji Kun dulu sudah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain. Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, jika dia meloncat dan menerjang kedua orang yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menolong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal.
"Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama dua orang Lama turun ke pulau melakukan penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orang yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."
"Kebakaran...!" terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apa lagi ketika mendengar suara dari atas.
"Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"
Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali layar dekat tiang besar, tampaklah tubuh seorang wanita yang bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kaki sedangkan kepalanya tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan, apa lagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!
Baik Maharya mau pun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran ginkang luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu?
Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi perubahan besar sekali.
********************
Putera Lulu bernama Wan Keng In telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu.
Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu sering kali keluar dari Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biar pun berkali-kali Lulu memarahinya namun anak yang amat manja itu selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu menepuk pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,
"Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin mendapatkan pusaka ini?"
Lulu mengerutkan alisnya, lalu memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru. Pedang apakah yang kau banggakan itu?"
"Lihat, Ibu!"
"Singggg...!"
"Aihhhh...!" Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut, dan ada hawa yang menyeramkan langsung keluar dari sinar pedang itu. "Itu... itu... seperti Sepasang Pedang Iblis!"
"Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan, sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"
"Siang-mo-kiam...!" Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan menangis.
"Han-koko...! Ah, Han-koko... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu... Sepasang Pedang Iblis...!"
Keng In menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan hati Ibu pula!"
"Keng In...!"
"Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa pula Ibu sering kali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia? Betapa pun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu sudah banyak membikin Ibu menderita, oleh karena itu, pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng In... kau... kau tidak mengerti... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apa lagi engkau. Kau kira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"
Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab, "Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."
"Singggg... cuit...!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya.
Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,
"Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"
Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku..., dari mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?"
Keng In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!"
Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biar pun hanya ada angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu terkejut bukan main. Ginkang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan adanya sinkang yang mengandung hawa beracun jahat!
"Keng In! Dari mana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"
Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"
Keng In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ketiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan kedua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."
"Hehh...? Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu? "Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"
"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."
"Dan yang kedua?"
"Menurut Suhu, orang kedua itu adalah sute-nya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu menjadi makin penasaran. "Di mana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."
"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"
"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apa lagi terhadap manusia lain, kecuali... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!" Lulu menjadi pucat wajahnya.
Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apa lagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat dari pada Nirahai!
Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!
Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han.
Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu. Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut, melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada tali layar dengan tubuh berjungkir kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya.
"Wanita iblis...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.
Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di atas itu.
"Wiirrr... singggg...!"
Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup! Juga suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada lawan.
Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul secara aneh itu.
"Toanio, siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil siasat halus. "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami dari pemerintah?"
Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Akan tetapi karena keadaannya seperti itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.
"Aku siapa tidak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi pemiliknya!"
"Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak marah.
Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal senjata rahasianya.
"Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
"Tak mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"
"Mengapa tidak? Jika kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula Pulau Neraka!"
Mendengar ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka adalah wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"
Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atas tiba-tiba melayang turun seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat orang, tombak mereka patah-patah!
"Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata aneh bulan sabit yang bergagang pendek.
"Siuuuuttt... singgg!"
Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang, lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara!
Semua prajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu, maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar itu. Sebagian para prajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal.
Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan Koksu dan senjata bulan sabit milik kakek India, maka ia selalu menghindar dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak prajurit dengan pukulan dan tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat, menghantamkan tangan kirinya dengan pengerahan sinkang yang diterima Lulu dengan ilmu sakti Toat-beng-bian-kun.
"Cessss!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah pelipis kanan lawan.
Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di kapal kedua yang datang mendekat.
"Dar-darrrrr...!" Dua buah senjata rahasia yang dilepasnya mengenai bilik kapal kedua sehingga menimbulkan kebakaran.
Kapal kedua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung, dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat yang amat lihai.
Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan). Tetapi setiap coretan merupakan gerak tangkisan mau pun serangan yang mengandung tenaga sinkang mukjizat. Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam bahaya hebat.
Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu, karena andai kata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan mereka bertiga.
Selagi pertandingan kacau-balau untuk mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun terjadi hal lain yang mendatangkan kegemparan baru.
Para prajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang banyaknya itu tenang-tenang saja sungguh pun di geladak terjadi keributan, apa lagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapa pun lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja.
"Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, kepalamu yang lebih dulu akan kuhancurkan!" Kwi Hong memaki-maki.
"Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa kau kira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah, itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku, menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam engkau!"
Kwee Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"
"Anjing, pengkhianat hina!"
Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya, membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik dengan jalan halus mau pun dengan kekerasan. Selosin orang prajurit yang berjaga juga mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja. Sebentar saja di antara mereka telah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan enaknya.
Melihat para penjaganya melenggut dan tertidur, Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke belakang. Namun selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!
"Sssttttt...!" Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu diam.
Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia merangkak masuk.
Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu. Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud untuk menolong gadis itu.
Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan seorang prajurit atau panglima. Segera dia dapat menduga, agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau Es.
Dia meloncat dan pada saat itu, karena lupa menutup kembali penutup papan, penutup itu menutup kembali, menimbulkan suara keras. Para penjaga terbangun gelagapan, dan ketika mereka melihat seorang pemuda tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan.
Kwee Sui juga melompat bangun. Siapa kau...?" bentaknya. "Tangkap dia!"
Dua orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja. Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang prajurit itu roboh tanpa dapat berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh Bun Beng berkelebatan dan langsung terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya empat orang prajurit terdepan.
"Keparat!" Kwee Sui memaki dan....
"Singgg...!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para prajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget, "Li-mo-kiam!"
"Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru.
Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang prajurit dan menerjang maju ke arah Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biar pun dia tahu bahwa pemuda itu yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apa lagi dia memegang sebatang pedang mukjizat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring.
Bun Beng cepat mengelak. Walau pun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa menyeramkan.
Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jeri, Kwee Sui tertawa dan merasa bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia tersandung mayat seorang prajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membantu berhasilnya siasat Bun Beng, dia sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.
"Ceppp... auggghhh...!"
Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus ke punggung!
Bun Beng cepat-cepat meloncat bangun. Sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguh pun nyawanya telah melayang.
Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan dari pada ketika Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya, kemudian melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan segera dia... menubruk Bun Beng sambil menangis!
Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa betapa air mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada.
"Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau kami... ahhh... bagaimana nasib mereka...?" Kwi Hong terisak.
Tiba-tiba dia tersadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan hal ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas dada Bun Beng, melompat ke belakang kemudian memandang Bun Beng dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
"Kenapa... kenapa kau memelukku...?"
"Ehhh...!"
"Kenapa kau membelai rambutku?"
"Ohhh...!"
"Gak Bun Beng, kau... hendak kurang ajar padaku, ya?"
Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo jawab!"
"Ehhh... ohhh... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau... kau menangis dan aku... aku merasa bingung, ikut berduka dan terharu... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"
Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia menjadi marah-marah tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh. "Ohhhh...," lalu menangis lagi.
"Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas kapal-kapal ini."
"Yang menolong anak buah Pulau Es? Siapa...?"
"Nanti kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri melalui penutup papan ruangan itu ke bawah.
Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, harap kau maafkan kelakuanku tadi..."
Mereka turun ke ruangan bawah, kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka. Agaknya mereka itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran.
Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat, dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke Pulau Neraka.
Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk anak-anak.
"Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan pedang Li-mo-kiam berkilauan di tangan kanan.
"Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka dipimpin oleh orang-orang pandai."
"Apa kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau Es, dan terutama dengan dia sendiri.
"Hong-ji, jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan, biar pun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita? Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."
"Lari...? Dan Istana...?"
"Kita bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.
"Memang itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."
Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah sepuluh buah perahu kecil.
Pada keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tiada kesempatan menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan. Perahu-perahu itu memasuki sekumpulan es terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil jalan berbelak-belok, jalan yang hanya diketahui oleh Ciok Lin.
Lima buah kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka karena kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukit-bukit es dan tidak mungkin memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu, kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar habis!
Dengan marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan, kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa harta benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan.
Sementara itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi sebelah utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam dan goa-goa yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu pun hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti.
Setelah mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau Es.
"Engkau hendak pergi ke manakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya.
"Aku hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yahg dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan tetapi juga karena penyerbuan mereka ke Pulau Es."
Kwi Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan tetapi dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil berkata, "Kau terimalah kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang amat berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti dan..."
"Tidak usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu padamu, bagaimana dapat kuterima kembali? Ataukah... engkau tidak suka menerima pemberianku?"
"Tidak sama sekali, akan tetapi..."
"Sudahlah. Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku, tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Kwi Hong."
Kwi Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, Kwi Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata turun ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan pemuda itu? Apakah benar seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng? Dia merasa suka, kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan, merasa berat ditinggalkan. Inikah cinta?
"Hong-ji, dia adalah seorang pemuda yang amat baik."
Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata dari pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah sekali.
"Apa... apa maksudmu, Bibi...?"
Wanita itu menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas mendapatkan cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa... dia pun mencintamu, Hong-ji"
"Bibi...!"
"Jangan marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji." Kembali dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun. "Cinta dapat membuat orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang mau mengorbankan apa saja, sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat orang menjadi kejam, menjadi mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat orang menjadi tahan derita..."
Kwi Hong terharu memandang wanita itu. "Ahh, seperti engkau sendiri, Bibi. Bukankah engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan nyawamu?"
Phoa Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang, merenung ke arah lautan. Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak perlu kusembunyikan. Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak? Salahku sendiri, orang yang tak tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan kepada diriku sendiri, Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu. Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita dari pada aku, gara-gara dua orang wanita yang dicintanya... hemmm... cinta dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang gagal. Semoga engkau kelak tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji..."
"Bibi...!" Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling peluk dan menangis, bukan hanya karena urusan cinta, melainkan menangisi Pulau Es yang hancur berantakan.....
********************
Penyerangan ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es membuat semua orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka. Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat yang mereka duga.
Kemudian Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya berhasil menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka. Dia lalu berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggota pasukan, berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan para nelayan di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan tetapi apa yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau Neraka telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu, seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu, kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa.
Memang Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia memerintahkan anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada lagi, atau lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya telah lari dan semua orang menduga bahwa larinya tentu ke daratan di mana mereka dapat bersembunyi dengan mudah.
Mendengar ini Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahun-tahun dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk kelak sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus mengakui di dalam hatinya bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es dibakar.
Watak wanita yang kecewa dalam cinta benar-benar sangat aneh. Dia sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan suaminya. Sekarang mendengar tempat suaminya diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan sakit hati! Apa lagi ketika ia mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar sendiri, mengertilah dia apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya, maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi, hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. Tentu ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang dicari-cari!
Ketika mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran lagi. Tadinya Thian-liong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan yang menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau itu telah dihancurkan pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan Thian-liong-pang? Sekaranglah saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi dunia kang-ouw.
Setelah berunding dengan para pembantunya, maka Thian-liong-pang lalu membuat pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua golongan putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa yang patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang patut disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih tempat di kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus seperti gurun pasir dan jauh dari kota mau pun dusun.
Beberapa hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang tingginya dua puluh meter. Kemudian lima puluh orang anggota Thian-liong-pang pilihan berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh Thian-liong-pang pula. Ada pun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke tempat itu sehari sebelumnya. Keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.
Seperti diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Namun sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan dihancurkannya Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal itu kepada ibunya.
Semenjak pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan orang hwesio, dan Kun-lun-pai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran bersih.
Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam, dan Hui-houw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang, dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka itu sudah mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jeri dan hanya datang untuk melihat-lihat. Semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi mengadakan pertemuan macam ini, apa lagi pertemuan besar ini. Ada pun pihak golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa macamnya Ketua Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian seperti iblis, yang melampaui kehebatan para datuk golongan hitam mau pun putih!
Karena tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda, tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua mereka dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara mereka itu kini memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah baru. Akan tetapi ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih menyanggul rambutnya atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada para anggota Thian-liong-pang dan para anggota perkumpulan kaum sesat. Tentu saja peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para hwesio yang semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!
Kedatangan rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik pihak tuan rumah mau pun para tamu, tidak menduga sama sekali bahwa pertemuan orang dunia persilatan ini tidak luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai rombongan orang kang-ouw.
Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya yang seribu orang banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya. Bhong Ji Kun bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw, apa lagi partai-partai besar yang oleh pemerintah bahkan diharapkan kerja sama mereka. Pemerintah yang telah berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan semua kerusuhan, tidak akan memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan menindas orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu Thian-liong-pang yang merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau mengganggu tamu-tamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka.
Kalau sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul di situ, barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk menyerbu dan menangkapi mereka dengan dalih memberontak. Dengan menangkapi para penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka menyerahkan pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk maksud inilah Bhong Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya.
Akan tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu ini telah mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun marah bukan main karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang setia dan dapat diandalkan, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li Lama.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)