SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-06


Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apa lagi dia sendiri pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang.
Ketika suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapa pun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi sekarang keadaannya menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.
Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!
Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh. Thai Li Lama di samping suheng-nya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja ia amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.
Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biar pun mengaku sebagai tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga puluh tahun lebih! Pula ia hanyalah seorang wanita, sampai di mana kehebatannya? Karena memandang rendah, pada gebrakan-gebrakan awal Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis. Akan tetapi betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.
"Omitohud...!" Ia berseru.
Cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Tetapi wanita itu telah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.
Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki ginkang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh!
Maka ia lalu mendengus pendek. Mulailah ia memasang kuda-kuda dan mengerahkan sinkang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek yang maklum akan kelihaian lawan ini tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.
"Tasss!" Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan.
"Tass! Tasss!" Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri.
Tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnya sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus bergulingan!
Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan ginkang yang amat cepat sehingga membingungkan lawan.
Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh berbahaya dan biar pun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut.
Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras. "Mundurrrr...!"
Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang menonton, malah banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga rahasia yang mendorong mereka mundur. Apa lagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu.
Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur, seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.
"Pendeta siluman!"
Akan tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya, maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.
"Engkau sudah lelah sekali...! Kedua kakimu sukar digerakkan...!"
Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kaki dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.
"Pendeta curang... kau menggunakan ilmu siluman...!"
Yang berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini semenjak tadi menonton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak ‘mundur’ dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama!
Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!
Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.
"Byurrr!"
Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napasnya.
Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.
"Celaka... benar-benar celaka...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya. "Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!"
Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu. Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, mendadak saja marah-marah.
"Teruskan pibu! Aku masih belum kalah!" Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin.
"Kami pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!" Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi koksu menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata. "Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!"
Sekarang semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu:
Aku...! Aku...! Aku...!
Pujaanku! Milikku! Hakku!
Keluargaku, sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia yang merugikan aku
Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku...! Aku...! Aku...!

Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menyanyikan kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri Bun Beng. Orang itu adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana, namun kedua kakinya telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang, matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.
"Im-yang Seng-cu...!" Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu.
Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat hebat. Karena kesukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguh pun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ketua Hoa-san-pai sendiri!
"Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?"
Karena sikapnya tetap menghormat, bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biar pun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi marah. Apa lagi koksu pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.
"Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"
"Tidak salah, Koksu. Orang-orang memang menyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguh pun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!"
Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang, "Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula maksud kedatanganmu?"
Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar. "Sudah begitu jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kau tangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?"
"Hemm, Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!" Koksu itu membantah.
"Kami pun datang sebagai utusan!" teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.
Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini tertawa bergelak, "Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negaramu, bukan?"
"Tentu saja!"
"Nah, apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tidak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi."
"Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang suci di dunia ini!" Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.
"Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!"
"Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?" Karena kakek aneh ini tidak menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang yang buta tentang filsafat.
"Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarganya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!" Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.
Aku sudah bosan!
Aku sudah muak!
Terbelenggu dalam sangkar darah daging!
Setiap saat aku dipaksa
menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis, suka-duka,
marah-sesal, suka-duka...
bebaskan aku dari semua ini...!

"Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!" Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut.
Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri. "Engkau tidak boleh menyama-ratakan semua manusia, Im-yang Seng-cu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan kebersihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya."
Im-yang Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu. "Maaf, tentu yang kau maksudkan itu adalah agamamu, bukan?"
"Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha," Jawab hwesio itu.
"Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang menyalah-gunakan sehingga pelajaran kebaikan sering kali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan. Maaf, Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menutup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang yang merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah sebodoh-bodohnya orang, karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya paling kuat sesungguhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlomba mengejar kemenangan dalam apa pun juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah, yang hidup dianggap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan bahwa yang menang akan lebih bahagia dari pada yang kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung manusia akan berpikir dulu sebelum memperebutkan kemenangan!"
Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang mendengarkan.
"Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong sekali!" Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. "Kabarnya engkau adalah seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kauw yang dianut oleh para tosu Hoa-san-pai?" Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang dianggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbulkan perpecahan atau memanaskan keadaan!
"Dia bukan orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pendek. Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.
Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. "Aihh, kiranya Suheng Lok Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute..."
"Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali tidak ada hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai seorang murid Hoa-san-pai!"
Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar. Tahu rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan tetapi Im-yang Seng-cu tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika menjawab,
"Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi... hemm... alangkah sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati...!"
Jawaban itu membuat Lok Seng Cu bungkam, karena memang orang yang dianggap murtad ini tidak pernah menyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap sepak terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan pengakuan Im-yang Seng-cu sendiri.
Karena ‘pembakarannya’ tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia ‘menangkap’ Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan mengeluarkan ucapan yang menyinggung sehingga dapat dijadikan alasan untuk menyerangnya. "Im-yang Seng-cu, apa pula artinya perkataanmu bahwa manusia kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia sendiri?"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"
"Seorang manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar kesusilaan, melanggar kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti itu!" Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsafat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu tadi.
Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Bagus sekali, Ciangkun. Memang tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Sekali lagi aku katakan bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga semua manusia, aku pun dihinggapi penyakit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi, Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau pakaian dimaksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena kebiasaan, karena sesungguhnya kalau tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka apa hubungannya dengan kesusilaan dan kesopanan?"
"Wah, orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak tahu malu dan tidak sopan!" Seorang membantah dan karena semua orang berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan itu tadi.
Im-yang Seng-cu tertawa, "Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu. Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?"
"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih memberontak!"
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. "Memang sesungguhnyalah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!" Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang.
Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. "Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan memperebutkan permainan." Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring, "Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biar pun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Pemerintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng.
Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa ‘ditelanjangi’ oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau itu.
Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk merantau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis.
Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu!
Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam. Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang jatuh dari langit!
Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi. Ada pun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biar pun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.
Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis. Untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.
********************
Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan terdengar bunyi kelepak sayap disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh... kenapa selama hidupku aku harus selalu menderita kehilangan...?"
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biar pun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
"Pek-eng...," katanya lirih, berbisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, "siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan..."
"Nguk-nguk..." Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta...! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang dari pada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!"
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es ini di samping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua makhluk yang sama-sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apa lagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka mau pun duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
"Suma Han, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata.
Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapa pun juga. Betapa pun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng-cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.
"Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki sehingga demikian perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!"
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas panjang.
"Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya." Suaranya tetap tenang.
Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya tak ada seujung rambut pun rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini, mau pun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.
"Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh pun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai..."
Suma Han memejamkan mata, dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar, "Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi..."
Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
"Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!"
Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata, "Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?"
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini. Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san) yaitu murid pertama Im-yang Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu?
Ada pun tentang pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikandung di hati orang yang benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan-siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa mala petaka...!
"Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan Lulu!" Kembali Suma Han berkata, sungguh pun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!" Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, bersiap mendengarkan penuturan kakek itu.....
Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya. Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.
Im-yang Seng-cu yang sering kali mengunjungi muridnya dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini amat mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
"Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga dari pada darahnya, jangan dibuang-buang!" Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
"Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik mau pun buruk, secara gagah pula!"
"Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apa pun juga, akan tetapi ini... ahhh, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"
"Apa...?" Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. "Dan puteramu?"
"Dibawanya pergi."
"Kenapa tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan membujuknya pulang?" Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.
Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. "Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya."
"Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?"
"Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu, bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi... dia... ahhh, kasihan Lulu... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han..."
"Suma Han? Dia kakaknya!"
"Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan baru menyesal. Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita..."
"Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?" Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.
"Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu."
"Mau ke mana dia?"
"Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han."
"Si Pemuda Keparat Suma Han!" Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
"Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini... juga Lulu tidak bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi..."
"Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!"
"Suhu!" Wan Sin Kiat membujuk suhu-nya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut berita yang didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu berperang seperti orang gila yang tidak mengenal mundur lagi sehingga diam-diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biar pun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.
Im-yang Seng-cu bangkit berdiri. "Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!"
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang Seng-cu, melainkan hanya memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih, "Hemm... kalau begitu... dia agaknya..." Ucapan ini diulang beberapa kali.
Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama, "Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng."
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang. "Aihhh... tentu dia...!"
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.
"Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik-baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!"
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang Seng-cu, "Ha-ha-ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!"
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apa lagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.
"Koksu berpendapat bahwa karena Taihiaplah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak."
Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri. "Benar, tak salah lagi, tentu dia..."
"Orang ini terlalu sombong!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. "Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?"
Setelah membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
"Plakk! Auggghhhhh...!" tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma Han.
Pendekar Super Sakti masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.
Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sinkang itu seperti ‘menembus’ tubuh Suma Han lewat begitu saja dan....
"Kraaakkkk!" sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang!
Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sinkang melawan serangan mereka, bahkan andai kata mengalahkan sinkang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat dari pada uap hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju dan menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
"Buk! Bukk!" Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!" Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.
Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biar pun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang ‘terpukul’ oleh hawa sinkang yang melindungi tubuh Suma Han.
Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Tetapi yang mereka hadapi kini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat dari pada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jeri. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang Seng-cu yang mengejek mereka.
"Im-yang Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pinceng!"
Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li Lama yang juga amat marah terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.
"Ayaaaa...!" Biar pun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. "Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!"
Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apa lagi dikeroyok dua.
"Plakk... krekkkk!" Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama segera mengejarnya dengan pukulan maut.
Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.
"Bressss!" Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama.
Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat.
Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mukjizat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biar pun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut milik Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sinkang-nya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sinkang, Im-yang Seng-cu jelas kalah setingkat oleh lawannya.
Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biar pun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan garuda putih itu mulai mencampuri pekik kemarahannya dengan suara tanda gentar.
Sementara itu Suma Han masih terus berdiri bersandar di tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak, "Tentu dia... wahai... Lulu... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu...? Lulu... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu... akan tetapi... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa...? Mengapa...?"
Biar pun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, tetapi bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biar pun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Dia adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang, siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri perlahan-lahan dan mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan kuat.
Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang hendak dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk kemenangan pihaknya. Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Sekarang pun, ketika ia berindap-indap menghampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangannya, satu-satunya yang memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.
Setelah tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang. Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senjatanya juga berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusukkan tombak runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!
"Wirrrr...!" Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han.
Akan tetapi, pada waktu itu ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es ini, sudah ‘mendarah daging’ sehingga boleh dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki kepekaan yang tidak lumrah. Perasaan di bawah sadarnya seolah-olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun, bahkan biar pun dia sedang tidur nyenyak sekali pun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang mengancam dari luar.
Pada saat itu pikirannya sedang melayang-layang, seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa Im-yang Seng-cu dan garuda tunggangannya didesak hebat oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu mengguncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!
"Suuuuutttt!"
Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba orang yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im-yang Seng-cu, kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-tahu tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka berdiri dengan wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam berpengaruh.
Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk tulang dan biar pun kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sinkang, tetap saja mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sinkang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahulah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)