SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-21
Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan
tidak ada jalan keluar baginya, berarti bahwa agaknya dia harus tinggal
di situ sampai kematian merenggutnya. Dari pada termenung memikirkan
nasib, sebagai seorang penggemar ilmu silat tentu saja kitab itu
merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan. Mulailah ia
membaca bagian pertama, bagian berlatih sinkang.
Dia sudah banyak melatih sinkang dengan cara semedhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara semedhi dan melatih sinkang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguh pun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya.
Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersemedhi, ia berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya amis seperti darah.
Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi memakannya. Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhu-nya mengenai manusia, di antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu,
"Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan oleh nafsunya. Penggunaan panca indrianya sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud dari makan? Apakah manfaat dan kegunaannya?"
"Agar perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu," jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
"Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya dari pada makan. Maka timbullah bermacam pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi perut, melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhu-nya itu, dan ia mengingat akan wejangan selanjutnya.
"Seperti juga dengan mulut, manusia menyalah gunakan mata, telinga, hidung dan semua panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya dari pada semua anggota yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh nafsu ingin nikmat, ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap bagi nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi jernih dan dapat menangkap arti dari pada ucapan suhu-nya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau lagi dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang dimakannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya?
Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang dipukuli dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan tetapi, biar pun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap. Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan aneh, lututnya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhu-nya lagi, dan dia tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuhan air. Di banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Yang jelas, jamur itu mengenyangkan perutnya.
Makin giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya cepat sekali sembuh, tenaganya pulih.
Pada hari ketiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan semedhi seperti yang diajarkan di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han sendiri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup paling lama setengah tahun saja!
Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhu-nya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya. Betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga saling membunuh! Andai kata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi ‘obat’ yang menghilangkan ancaman maut oleh racun yang berada dalam darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih kembali dengan cepat.
Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak.
Dengan tekun Bun Beng melatih sinkang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang-nya meningkat secara luar biasa sekali, beberapa kali lipat lebih kuat dari pada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sinkang menurut petunjuk kitab itu, dia kini mampu melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat melakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali.
Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas. Ketika batu itu meluncur ke arah tubuhnya, ia mengikuti gerakan batu itu, serta mengerahkan sinkang ke ujung tangan yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu ditambah sinkang-nya sendiri menghantam dari samping, membuat batu itu pecah berantakan!
Setelah selesai melatih sinkang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi Sam-po-cin-keng!
Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ketiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ketiga belas ini, dia dapat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng jadi tercengang dan termenung setelah selesai melatih jurus ketiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai dari pada dia itu tidak mampu?
Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sinkang-nya sudah amat tinggi, hampir menandingi sinkang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ketiga belas itu! Ada pun Bun Beng sendiri, biar pun tidak mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap, namun dia telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangannya.
Dengan girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kesehatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terdengar suara nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin!
Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu. Tak mungkin dia selamanya akan tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur lain karena selain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur merah yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain.
Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk bersandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas! Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya.
Akan tetapi makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu birahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan, bergulingan ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu. Terbayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhhh... gila! Aku sudah gila...!" Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu birahinya makan memuncak.
Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum pernah dia alami. Dia merasa tersiksa sekali, tetapi juga diam-diam merasa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andai kata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas dari pada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan goa, membiarkan air terjun menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mukjizat.
Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapa pun juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibatnya justru menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biar pun membuat dia tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?
Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok, tidak berani makan banyak sehingga andai kata jamur itu beracun pula, pengaruh racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti digarami!
Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdengar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, lalu memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang," pikirnya dan ia cepat membuka matanya.
Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang sekarang menjadi berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini? Tempat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi amat berbeda, menjadi seperti... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara mega-mega di angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar menakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan. Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biar pun kepalanya ditutupi kerudung, namun kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau...? Gak Bun Beng...?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga kemarahan.
Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat seperti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa akan kemarahannya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya? Saya terbang... heh-heh, saya... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini, senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini... heh-heh..."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu, mengerutkan alisnya. Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila!
Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusastraan kuno yang penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani.
Memang wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang berwatak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti.
Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Tetapi ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah tahun. Ha-ha... sudah habis kitab itu saya pelajari...!"
"Apa...? Kau...!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah pundak Bun Beng.
"Wuuutttt... heeeiiihhh!"
Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali, tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu.
"Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!" Bun Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihatan menyenangkan hati!
Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar biasa, lebih hebat dari pada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mempengaruhi sistem syaraf di dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu.
Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda dari pada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita oleh semua manusia. Namun dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang lain dari pada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?"
Nirahai yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya, memandang tajam penuh keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit dari pada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apa lagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu?
"Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?" Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ketiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ketiga belas dan ke empat belas."
"Apa...?!" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahhh, siapa mau percaya omonganmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak punya."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut..."
"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama jurus ketiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!"
Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ketiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ketiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat...! Luar biasa...!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak mengelak mau pun menangkis.
"Cussss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!
Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ketiga belas. Pemuda itu bisa memainkannya, masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum.
Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia tetap nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus kedua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia sadar. Tanpa disengaja oleh Nirahai, totokan itu telah membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia.
Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia. Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik.
Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia terangsang birahi hebat, dan jamur biru... ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehingga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang, ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia masih ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang. Satu-satunya masalah yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang bertapa... bisu!
Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan biasa.
Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,
"Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa...?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.
"Mereka berjumlah lima orang dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang berwarna terang. Agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai ‘tamu’ kemudian sebagai tawanan.
Ketika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah ‘Sang Ketua’ dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata,
"Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liong-pangcu."
Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para tamu itu.
Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"
Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali. Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat rendah!
Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek, segera berkata, "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah muda kedua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat diculik."
Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu.
Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa ‘Sang Ketua’ yang tiba-tiba menjadi ‘pendiam’ itu memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring. "Andai kata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apa lagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, kami akan menandingi!"
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata, "Aahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi ‘Ketua’ Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata, "Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu."
Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk meghadapinya."
Seingat Bun Beng, orang paling lihai di dalam perkumpulan itu sesudah Ketua Thian-liong-pang, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang.
Ia mengharapkan agar kedua orang ‘pembantunya’ itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan, karena kalau dua orang itu kalah, apa lagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan. Sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-liong-pang itu dapat ‘membereskan’ kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apa lagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia!
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo. Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebukan kepada Si Muka Merah ini!" Dia melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"
"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"
Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apa lagi bersama suheng-nya saat itu menjadi utusan Majikannya. Tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah awal yang keliru dan merugikan dalam menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata,
"Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biar pun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau. "Engkau lebih tua dari pada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"
"Apa? Biar pun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.
"Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak.
Tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar dan kedua tangannya bergerak perlahan. Tadinya kedua tangan dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini.
Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sinkang yang mukjizat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sinkang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa).
Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang kakek itu sedang saling mencari sasaran.
"Haiiiitttt...ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sinkang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan ternyata mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sinkang yang terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sinkang-nya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sinkang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya.
Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan dengan kehebatan ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!"
Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima kali dan kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak hampir sepuluh meter!
Chi Song menjadi penasaran sekali. Ia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.
"Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa.
Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya. Betapa pun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah sehingga biar pun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.
"Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahhh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat. Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan To-cu kami!"
Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini dari pada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song!
Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.
"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri? Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, maka dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang. Begitu tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Dukkk...!"
Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari ‘Ketua’ Thian-liong-pang.
"Ehhhh..., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan mata terbelalak.
Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya. "Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat melakukannya!"
Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!
"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk! Aduhhhh...!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"
Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang ‘ketua’ di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sinkang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sinkang dari kedua tangan lawan itu.
Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!
Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga sinkang dan... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sinkang-nya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.
Adu tenaga sinkang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para anggota Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata,
"Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia, barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcu-nya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri.
Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan sinkang-nya. Tidak tertampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua!
Melihat ini, para anggota Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai dari pada biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.....
Dia sudah banyak melatih sinkang dengan cara semedhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara semedhi dan melatih sinkang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguh pun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya.
Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersemedhi, ia berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya amis seperti darah.
Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi memakannya. Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhu-nya mengenai manusia, di antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu,
"Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan oleh nafsunya. Penggunaan panca indrianya sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud dari makan? Apakah manfaat dan kegunaannya?"
"Agar perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu," jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
"Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya dari pada makan. Maka timbullah bermacam pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi perut, melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhu-nya itu, dan ia mengingat akan wejangan selanjutnya.
"Seperti juga dengan mulut, manusia menyalah gunakan mata, telinga, hidung dan semua panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya dari pada semua anggota yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh nafsu ingin nikmat, ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap bagi nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi jernih dan dapat menangkap arti dari pada ucapan suhu-nya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau lagi dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang dimakannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya?
Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang dipukuli dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan tetapi, biar pun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap. Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan aneh, lututnya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhu-nya lagi, dan dia tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuhan air. Di banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Yang jelas, jamur itu mengenyangkan perutnya.
Makin giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya cepat sekali sembuh, tenaganya pulih.
Pada hari ketiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan semedhi seperti yang diajarkan di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han sendiri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup paling lama setengah tahun saja!
Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhu-nya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya. Betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga saling membunuh! Andai kata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi ‘obat’ yang menghilangkan ancaman maut oleh racun yang berada dalam darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih kembali dengan cepat.
Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak.
Dengan tekun Bun Beng melatih sinkang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang-nya meningkat secara luar biasa sekali, beberapa kali lipat lebih kuat dari pada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sinkang menurut petunjuk kitab itu, dia kini mampu melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat melakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali.
Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas. Ketika batu itu meluncur ke arah tubuhnya, ia mengikuti gerakan batu itu, serta mengerahkan sinkang ke ujung tangan yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu ditambah sinkang-nya sendiri menghantam dari samping, membuat batu itu pecah berantakan!
Setelah selesai melatih sinkang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi Sam-po-cin-keng!
Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ketiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ketiga belas ini, dia dapat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng jadi tercengang dan termenung setelah selesai melatih jurus ketiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai dari pada dia itu tidak mampu?
Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sinkang-nya sudah amat tinggi, hampir menandingi sinkang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ketiga belas itu! Ada pun Bun Beng sendiri, biar pun tidak mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap, namun dia telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangannya.
Dengan girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kesehatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terdengar suara nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin!
Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu. Tak mungkin dia selamanya akan tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur lain karena selain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur merah yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain.
Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk bersandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas! Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya.
Akan tetapi makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu birahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan, bergulingan ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu. Terbayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhhh... gila! Aku sudah gila...!" Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu birahinya makan memuncak.
Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum pernah dia alami. Dia merasa tersiksa sekali, tetapi juga diam-diam merasa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andai kata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas dari pada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan goa, membiarkan air terjun menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mukjizat.
Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapa pun juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibatnya justru menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biar pun membuat dia tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?
Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok, tidak berani makan banyak sehingga andai kata jamur itu beracun pula, pengaruh racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti digarami!
Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdengar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, lalu memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang," pikirnya dan ia cepat membuka matanya.
Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang sekarang menjadi berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini? Tempat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi amat berbeda, menjadi seperti... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara mega-mega di angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar menakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan. Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biar pun kepalanya ditutupi kerudung, namun kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau...? Gak Bun Beng...?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga kemarahan.
Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat seperti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa akan kemarahannya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya? Saya terbang... heh-heh, saya... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini, senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini... heh-heh..."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu, mengerutkan alisnya. Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila!
Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusastraan kuno yang penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani.
Memang wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang berwatak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti.
Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Tetapi ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah tahun. Ha-ha... sudah habis kitab itu saya pelajari...!"
"Apa...? Kau...!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah pundak Bun Beng.
"Wuuutttt... heeeiiihhh!"
Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali, tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu.
"Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!" Bun Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihatan menyenangkan hati!
Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar biasa, lebih hebat dari pada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mempengaruhi sistem syaraf di dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu.
Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda dari pada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita oleh semua manusia. Namun dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang lain dari pada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?"
Nirahai yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya, memandang tajam penuh keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit dari pada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apa lagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu?
"Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?" Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ketiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ketiga belas dan ke empat belas."
"Apa...?!" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahhh, siapa mau percaya omonganmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak punya."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut..."
"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama jurus ketiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!"
Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ketiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ketiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat...! Luar biasa...!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak mengelak mau pun menangkis.
"Cussss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!
Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ketiga belas. Pemuda itu bisa memainkannya, masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum.
Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia tetap nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus kedua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia sadar. Tanpa disengaja oleh Nirahai, totokan itu telah membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia.
Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia. Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik.
Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia terangsang birahi hebat, dan jamur biru... ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehingga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang, ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia masih ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang. Satu-satunya masalah yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang bertapa... bisu!
Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan biasa.
Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,
"Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa...?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.
"Mereka berjumlah lima orang dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang berwarna terang. Agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai ‘tamu’ kemudian sebagai tawanan.
Ketika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah ‘Sang Ketua’ dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata,
"Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liong-pangcu."
Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para tamu itu.
Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"
Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali. Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat rendah!
Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek, segera berkata, "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah muda kedua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat diculik."
Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu.
Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa ‘Sang Ketua’ yang tiba-tiba menjadi ‘pendiam’ itu memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring. "Andai kata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apa lagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, kami akan menandingi!"
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata, "Aahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi ‘Ketua’ Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata, "Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu."
Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk meghadapinya."
Seingat Bun Beng, orang paling lihai di dalam perkumpulan itu sesudah Ketua Thian-liong-pang, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang.
Ia mengharapkan agar kedua orang ‘pembantunya’ itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan, karena kalau dua orang itu kalah, apa lagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan. Sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-liong-pang itu dapat ‘membereskan’ kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apa lagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia!
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo. Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebukan kepada Si Muka Merah ini!" Dia melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"
"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"
Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apa lagi bersama suheng-nya saat itu menjadi utusan Majikannya. Tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah awal yang keliru dan merugikan dalam menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata,
"Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biar pun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau. "Engkau lebih tua dari pada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"
"Apa? Biar pun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.
"Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak.
Tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar dan kedua tangannya bergerak perlahan. Tadinya kedua tangan dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini.
Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sinkang yang mukjizat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sinkang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa).
Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang kakek itu sedang saling mencari sasaran.
"Haiiiitttt...ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sinkang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan ternyata mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sinkang yang terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sinkang-nya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sinkang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya.
Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan dengan kehebatan ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!"
Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima kali dan kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak hampir sepuluh meter!
Chi Song menjadi penasaran sekali. Ia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.
"Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa.
Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya. Betapa pun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah sehingga biar pun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.
"Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahhh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat. Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan To-cu kami!"
Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini dari pada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song!
Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.
"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri? Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, maka dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang. Begitu tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Dukkk...!"
Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari ‘Ketua’ Thian-liong-pang.
"Ehhhh..., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan mata terbelalak.
Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya. "Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat melakukannya!"
Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!
"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk! Aduhhhh...!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"
Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang ‘ketua’ di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sinkang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sinkang dari kedua tangan lawan itu.
Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!
Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga sinkang dan... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sinkang-nya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.
Adu tenaga sinkang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para anggota Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata,
"Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia, barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcu-nya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri.
Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan sinkang-nya. Tidak tertampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua!
Melihat ini, para anggota Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai dari pada biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.....
Komentar
Posting Komentar