SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-26


Dia pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para prajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para prajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok Lama, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.
"Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!" katanya kepada Bhong Ji Kun.
"Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!" jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La-ma.
"Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!" Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
"Kalian jangan ikut!" Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. "Apakah kalian tidak percaya kepadaku?!"
Bhong Ji Kun berkata ke bawah, "Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!" Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.
Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. "Bhong-koksu lihat siapa aku!"
Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, "Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang."
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. "Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!"
Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,
"Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!"
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. "Wi Siang, hentikan pertempuran!"
Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang sedang bertanding, dan seketika kedua belah pihak masing-masing mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang tahu bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk. Ada pun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata,
"Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!"
Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.
"Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!" kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek." Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. "Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu."
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai dari pada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya tinggal Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.
Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang senja, tampak seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersemedhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit.
Hari telah menjadi sore ketika mendadak dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.
"Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bawa aku turun ke sana." Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali.
Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tiang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!
Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia, setelah menjadi mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini?
Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu.
Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apa lagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, makhluk yang merasa diri paling suci itu?"
Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.....
********************
Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat goa itu merupakan tempat persembunyian yang baik.
Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.
Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.
Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak.
Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.
Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu.
"Braaaakkkk...!" Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.
"Haiiiihhhh...!" Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti.
Biar pun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekali pun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah... mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga, ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?
"Iihhh... hiihh... hiiihhhh...!" Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.
"Heh-heh-heh-heh!" Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!
Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah makhluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biar pun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur, membuat mata itu seperti berwarna putih semua.
Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.
Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia!
Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang dibumi hanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah.
Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger! Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sute-nya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!
Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu dengan Kwi Hong.
"Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!" Cui-beng Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biar pun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa.
Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka tanpa sengaja saya berani mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu..."
"Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!" Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa.
Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.
"Locianpwe," jawabnya dengan suara dingin, "saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Locianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mungkin saya mau mengakui Locianpwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!" Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.
"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!"
Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mukjizat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mukjizat itu menyedot dan menahannya dari belakang!
Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sinkang-nya dan dia memaksa diri melangkah ke depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!
"Heh-heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!"
Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga dahsyat yang menariknya. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya.
Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapa pun juga, melihat betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,
"Kiranya engkau iblis yang jahat!" Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.
"Cieeettt... bukkk...!" Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.
"Ihhh, dingin...! Eh, apakah kau dari Pulau Es?" tanyanya.
Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.
"Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!"
Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai sehingga dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, namun biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!
"Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Telah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai di mana kehebatannya!" setelah berkata demikian kakek itu menyerang!
Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong. Kaki tangannya bergerak kacau, akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapa pun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh.
"Heh-heh-heh-heh! Tidak seberapa!" Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar.
Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan biar pun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan ilmu silat yang ia pelajari dari pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang asli karena ilmu mukjizat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah.
Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirubah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.
"Hebat... hebat... eh, ilmu apakah ini?" Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, "Eh, panas... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!"
"Plak! Plak!"
Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mukjizat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!
"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang.
Untung bahwa dara ini memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!
"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?"
Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biar pun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!
Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sinkang-nya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh sangat girang karena dapat mempermainkan dara itu.
Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke depan di antara keponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan ‘terputuslah’ tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai terluka.
Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan terlihat tenang-tenang saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!
Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebelah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.
"Kau... kau... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es...?" Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar!
Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab, hanya sedang meneliti kakek di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!
"Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!"
Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat,
"Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?"
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, "Aku sudah memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka telah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"
"Locianpwe dari Pulau Neraka?" Suma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali. "Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?"
"Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Sute-ku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"
Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. "Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"
"Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Sute-ku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!"
"Nanti dulu, Locianpwe! Setelah kini Pulau Neraka dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?" Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.
"Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau kalahkan aku!"
Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh tetapi ganas dan dahsyat sekali ke depan. Suma Han lantas mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu, debu mengebul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.
"Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!" Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya.
Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya.
Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andai kata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.
"Desssss!" Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.
"Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.
"Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biar pun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus saling gempur sendiri?"
"Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang juga!" Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han.
Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan dahsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.
"Brakkkkkk!" Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.
"Bukan main," Suma Han diam-diam memuji. "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi."
Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.
"Bukkk!" Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia!
Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sinkang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.
Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.
"Trakkk!"
Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pukulan mau pun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan lengan tangannya yang biar pun hanya tulang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.
Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini?
Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat.
Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya, kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian terkekeh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila.
"Aihhhh!" Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal terhadap kekuatan mukjizat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan membentak,
"Cui-beng Koai-ong, robohlah!" dengan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata, mau pun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mukjizat yang amat berpengaruh.
"Heh-heh-heh, nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?" jawab kakek itu dan menyerang terus.
Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mukjizat dalam dirinya tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia telah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu sihir.
Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan saling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung.
"Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!" Tiba-tiba kakek itu berkata dan... dia melempar tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.
"Desss!" Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil menyeringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang!
Suma Han menjadi girang karena maklum bahwa dia menemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya mendorong ke atas.
"Wusss... bukkk!" Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah mempergunakan daya tahan bumi!
Dan kakek itu tertawa girang, tetap terlentang. "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!"
Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik sekali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu membuat bingung lawan sehingga dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah terlentang, tentu saja tubuh bagian belakang terlindung tanah, juga sukar menyerang dari kanan kiri. Satu-satunya tempat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini.
Namun Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil ‘tiduran’ seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan turun berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, bagaikan tombak besar dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!
Dua ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sakti yang pernah dilawannya.
"Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba sekarang kau terima ini!" Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu menyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh.
Suma Han maklum bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sinkang, keras lawan keras. Apa lagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satu-nya untuk menentukan kemenangan hanyalah mengadu tenaga sinkang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es.
Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangan menerima dorongan kakek itu.
"Jieeetttt!"
Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk, saling mengerahkan sinkang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka. Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan siapa kalah kuat tentu akan binasa!
Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nyawa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Super Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sinkang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar dan mata mereka saling pandang tanpa berkedip.
Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang dengan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sinkang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.
Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang mendatangkan hawa yang mukjizat itu, tahulah dia bahwa pedang itu merupakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, membarengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran.
Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang sedangkan tangan kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong.
Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sambil melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!
"Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!"
Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sinkang kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi begitu ia memutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupakan perisai bagi tubuhnya, kakek itu tidak berani menyerangnya.
Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bahwa kakek itu pun terluka.
Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata, "Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!"
Biar pun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulungan sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiarkan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.
"Crakkk!" Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!
Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan.
"Bresss!" Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang.
Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdirinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.
"Trangggg... aihhhh!" Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera Pulau Neraka.
"Kau...? Keparat...!" Dia membentak.
Tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya meninggalkan pantai itu.
"Tunggu, jahanam...!" Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.
"Kwi Hong, jangan kejar...!" Suma Han berseru.
Dara itu berhenti, menengok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya. "Aihhh, Paman...!" Ia meloncat menghampiri.
Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya. "Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannya pun hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya... coba ambilkan tongkatku..."
Kwi Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya. "Mari kita menemui bibimu Phoa Ciok Lin...," katanya menuding dan dari utara tampak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak membantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh kekhawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun.
"Rajawali Pulau Neraka...," katanya tersenyum duka. "Beterbangan bingung kehilangan tempat, lalu dapat kutundukkan... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian... aku perlu mengaso..."
Dengan perawatan penuh perhatian dan sangat teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersemedhi. Dia sering kali tampak termenung memikirkan perkembangan hidupnya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah.
Di dalam perjalanannya dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasukan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ.
Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang dapat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudian dia menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke Cui-lai-san, di mana diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan Thian-liong-pang.
Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya.
Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar kekuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.
Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya terancam oleh kakek yang amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah lukanya, akan tetapi kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak tahu ke mana perginya dan tak seorang pun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas panjang.
"Biarlah, ia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir, dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak bencana. Mudah-mudahan saja tidak demikianlah."
"Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji memiliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pedang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan."
"Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di tangan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di tangan anak itu..."
Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!
"Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?"
Suma Han mengangguk "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka..."
"Aihhhh...!" Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang. "Putera... Lulu...?"
Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil adalah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ketika terculik di Pulau Neraka.
"Lalu... bagaimana baiknya, Taihiap?"
"Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku juga harus menghajar mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu dan Nirahai... dan aku akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini," kata Suma Han dengan suara tegas.
Ciok Lin menghela napas panjang lagi. "Mudah-mudahan kau berhasil, Taihiap. Terutama sekali... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan mereka...," terdengar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan.
Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya.
"Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung dalam hatimu, dan aku merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andai kata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka..."
Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata, "Taihiap, saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai... dan saya bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup bahagia bersama mereka."
Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan berterima kasih. "Engkau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin," katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih seperti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang merupakan cinta kasih murni, cinta yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta berbahagia.
Phoa Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biar pun semenjak tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apa lagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)