SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-01


Akan tetapi, pada sore hari itu keadaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan. Begitu cepat gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh lebih dari pada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di punggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka.

Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang Kang-thouw-Kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.

"Twako, tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-locianpwe?" Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar di dagunya, bertanya kepada orang tertua di antara mereka yang matanya besar sebelah.

"Tidak salah lagi," jawab orang tertua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima puluh tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. "Satu-satunya kuil tua di tepi Sungai Fen-ho di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?"

"Lebih baik kita serbu saja ke dalam!" kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.

Twako-nya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, bersiap untuk menyerbu. Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata, "Kau masuk dari pintu belakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!" Mereka berpencar, gerakan mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu memberi isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat jurusan.

Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja. Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka menangkis.

"Cring-cring-tranggg...!"

Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Mereka roboh dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di antara alis mereka. Tubuh mereka berkelojotan, mulut mereka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya tubuh mereka berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak mengucur keluar dari dahi!

Dari belakang dan depan kuil berlompatan keluar dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang makan, pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka membunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!

"Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!" kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak dibungkus kulit tipis saja. Ia bertolak pinggang memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti terbang cepatnya.

Kakek ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil juga melompat cepat dan ia membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur memejamkan mata. "Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bukankah Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak lawan pandai." katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan mereka.

"Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat. Kini tibalah saatnya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?"

Si Mata Sipit mengangguk-angguk. "Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu kita merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapa pun juga. Yang menentangnya berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat di dunia untuk masa kini."

"Awas, Sute...!" Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru, dan keduanya cepat mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan tetapi yang menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang menyambar ke arah leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena sungguh amat berbahaya sekali untuk menyambut hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu.

Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari senjata rahasia bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepatnya dan dari samping enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka.

Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biar pun dua orang anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Mereka segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit memaki.

"Keparat curang, siapa engkau?"

Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil tersenyum mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya diikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar. Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulitnya, dari mukanya sampai kulit lengannya berwarna jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!

"Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang sombong sekali, dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Ha-ha-ha!" Laki-laki berkulit ungu itu tertawa keras.

"Gentong kosong berbunyi nyaring, orang yang bodoh bermulut besar. Apa anehnya?" Wanita berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan memandang kepada dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata merendahkan.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita itu. Kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih membayangkan rasa kaget dan heran.

"Ji-wi... Ji-wi... dari Pulau Neraka...?"

Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang. Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan menjura, "Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal sebagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!"

Dia lalu mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya terdengar suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang Thian-liong-pang memandang dengan mata terbelalak karena kulit belasan orang ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua!

Si Muka Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya muncul pula serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga menanti perintah bertanding.

Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi, "Ha-ha-ha, kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat perintah agar tidak memancing pertempuran dengan pihak lain, apa lagi dengan pihak Thian-liong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di dalam kuil."

"Nanti dulu, sobat!" Si Muka Tengkorak berkata. "Kami pun menerima tugas dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apa lagi dengan pihak Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menyatukan semua partai persilatan."

"Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan buktinya? Kami melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) membunuh lima orang ini," Si Muka Ungu mencela.

Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. "Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang hina, tidak masuk hitungan. Apa lagi mereka itu merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan."

"Sudahlah!" Si Wanita bermuka jambon mencela. "Kami tidak peduli akan semua urusan kalian. Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan tugas!" Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.

"Ehh, ehh, nanti dulu, Toanio!" Kini Si Mata Sipit maju menghalang. "Terang bahwa Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya dalam urusan ini di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu."

"Bagus! Jikalau demikian, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat membereskan pertentangan ini!" Wanita bermuka jambon itu membentak lantang. Suheng-nya juga memandang marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah mencabut pedang.

"Srat-srat-sratttt!"

"Sing-sing-sing!" Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan golok.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat tangan memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudian Si Muka Tengkorak menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.

"Harap Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita semua sebagai utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam pertempuran."

"Hemm, maksudmu bagaimana?" tanya wanita bermuka jambon menantang.

"Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan secara orang-orang gagah."

"Maksudmu sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?" tantang Si Wanita.

"Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil kepada yang menang. Setuju?"

"Akur! Majulah!" Si Wanita menantang.

Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka Tengkorak memandang ke sekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh dan setengah bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. "Tempat ini kurang lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!" katanya dan ia menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenaknya ia mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.

"Benar, harus disingkirkan pohon-pohon ini!" kata Si Mata Sipit. Dia pun menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suheng-nya. Sebentar saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!

Para anggauta Thian-liong-pang bersorak memberi semangat sedangkan para anak buah yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandang tarbelalak, kagum akan kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi laki-laki bermuka ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.

"Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!" kata Si Wanita muka jambon dan kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suheng-nya juga melakukan ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!

"Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!" kata Si Mata Sipit.

Seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan hebat. Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya dari pada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!

Wanita muka jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih cepat sehingga pertandingan itu amat seru. Di lain pihak, pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.

Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu Thian-liong-pang berpusat di Yen-an, di kaki Lu-liang-san sebelah barat. Thian-liong-pang menjadi sebuah partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga).

Akan tetapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali ke jalan lurus. Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat mereka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat sekali.

Ada pun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang tingkat lima! Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya berwarna hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya!

Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Nama Pulau Neraka disejajarkan dalam rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mendengar ‘dongeng’ dari ketua mereka, tentang warna-warna aneh kulit para penghuni Pulau Neraka, maka tadi mereka dapat menduga tepat!

Pertandingan masih terus berlangsung dengan hebatnya. Pada saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu, tak seorang pun di antara mereka ingat akan anak yang mereka jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang menyebabkan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?

Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup seorang diri di dalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini.

Tadinya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri di tempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, mencari makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia hanya makan daun-daun muda ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu binatang itu dapat ia bunuh dengan sambitan batu karena anak ini pandai menyambit, dan tenaganya mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti.

Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, lalu mempelajari ilmu-ilmu aneh ini secara mengawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila. Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali karena tekanan jiwanya ketika dia dahulu dicemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak. Nama wanita ini adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!

Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mencari Gak Liat dan berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya itu.

Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar kuil. Dia melihat kamatian Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingan antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka.

Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang di luar itu memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu mengapa dan juga di dalam hatinya dia tidak berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertandingan dengan hati amat tertarik.

Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam, akan tetapi pertandingan antara dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang roboh dan masih bertanding terus, biar pun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.

"Omitohud...! Mengapa kalian bertanding mati-matian di sini? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang hwesio yang tinggi kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa.

Akan tetapi empat orang yang tengah bertanding tidak mempedulikannya dan hwesio ini menarik napas panjang. "Aaahhh, jalan damai banyak sekali, mengapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan untuk mengadu nyawa?"

Setelah berkata demikian, hwesio ini kemudian melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan ke kanan kiri dan... empat orang yang sedang bertanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.

"Maaf, maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan ini. Ada urusan dapat didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?"

"Losuhu siapakah?" Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat karena dia maklum bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat lihai.

"Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding dengan mereka?" Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua orang tokoh Pulau Neraka yang biar pun cuaca mulai gelap masih tampak warna mereka yang menyolok mengingatkan dia akan ‘dongeng’ tentang penghuni Pulau Neraka!

Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, "Kiranya Losuhu adalah seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utusan Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun utusan-utusan dari Pulau Neraka."

Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai, bersama dengan turunnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang kabarnya tidak lagi mau berurusan dengan dunia ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar ramai!

"Mengapa Cu-wi bertempur?"

"Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan dalam pibu (adu kepandaian) yang adil."

"Omitohud! Betapa anehnya dunia ini...!" Hwesio tua itu berkata.

Dia adalah Siauw Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa!

"Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya sampai di tempat ini untuk mengambil puteranya yang ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan biarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si." Setelah berkata demikian, hwesio itu dengan tenang melangkah menuju ke kuil.

"Tahan...!" Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang.

Berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari tempat persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil. Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agaknya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi rombongan Thian-liong-pang itu sibuk melempar-lemparkan benda hitam di seputar kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah di seputar kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah asap kemerahan yang berbau harum bercampur amis!

Sementara itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil, ketika menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah, mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya paling lihai di antara orang-orang aneh yang berada di luar kuil. Lebih-lebih lagi ketika ia mendengar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bahwa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.

"Berhenti...!" Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke arah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu masih jauh, akan tetapi angin dorongan tangannya membuat anak itu terjengkang dan jatuh terlentang kembali ke dalam kuil. "Anak, jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu beracun!" teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.

Siauw Lam Hwesio mengeluh, "Omitohud, alangkah kejinya!"

Ia kini dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang yang berduri runcing sekali dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling kuil, menghalang jalan masuk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah mengandung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kematian! Ada pun benda cair yang dapat ‘membakar’ tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh racun-racun yang lihai!

"Omitohud...! Kalian ternyata mengandung niat yang tidak baik dan berkeras hendak menghalangi pinceng mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm..., baiklah, kita sama melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!" Setelah berkata demikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa biar pun sikapnya tenang namun ia sudah mengambil keputusan untuk merintangi siapa saja memasuki kuil!

Sementara itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada di sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama maklum bahwa pihak lain tentu akan merintangi mereka mengambil anak yang berada di dalam kuil! Kalau saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, tentu terjadi pertempuran di antara mereka, memperebutkan anak tadi! Akan tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka tak ada yang bergerak mendahului. Sambil membuat api unggun mereka berbisik-bisik mengatur dan mencari siasat!

Api unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin bertiup sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang keadaannya amat menyeramkan hati mereka. Laki-laki itu masih muda, berwajah tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri di situ, bersandar pada tongkat bututnya dan yang amat mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, akan tetapi rambut yang tebal panjang itu berwarna putih semua!

Orang-orang kedua rombongan ini adalah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak pernah terjun ke dunia ramai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki buntung itu. Padahal pemuda ini jauh lebih terkenal dari pada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan sebutan Pendekar Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan ilmu sihirnya yang mengerikan!

Para pembaca cerita ‘Pendekar Super Sakti’ tentu telah tahu betapa di dalam hidupnya yang kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali tekanan batin dan yang terakhir sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan serta kekecewaannya dalam hidup membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini ia datang untuk memenuhi permintaan mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan melepaskan napas terakhir. Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di kuil tua ini!

Di dalam bagian terakhir cerita ‘Pendekar Super Sakti’ telah diceritakan betapa Suma Han ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan Hoa-san Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ramai untuk merantau dan berusaha melupakan segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak melupakan pesan Bhok Kim, maka ia lalu menuju ke tempat yang dikatakan oleh Bhok Kim dalam pesan terakhirnya.

Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan orang berada di tempat itu dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal hwesio tua kurus kering yang duduk bersila di depan kuil. Ia mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik angkatnya ia mengunjungi kuil Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang dan pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini duduk bersila di tempat itu! Sejenak pendekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke arah kuil dan keningnya berkerut ketika ia melihat senjata-senjata rahasia dan kepulan-kepulan asap kemerahan yang dapat ia lihat di bawah sinar api unggun kedua rombongan.

Ia lalu menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berkata, "Maaf, kalau saya tidak salah mengenal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-si?"

Hwesio tua itu bersila sambil semedhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan ke arah kuil pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu ada suara orang menegur di depannya, padahal dia sama sekali tidak mendengar gerakan orang datang, apa lagi sampai mendekatinya!

Hal ini saja dapat dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang lalu. Dan memang tidak mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan karena Pendekar Super Sakti ini bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!

Mula-mula Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu ketika pendekar itu mengunjungi Siauw-lim-si, pemuda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata penuh takjub.

"Omitohud...! Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu berada di sini pula? Dan kaki kiri Sicu...? Ah, syukurlah... sungguh pinceng ikut merasa bahagia melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!"

Ucapan hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi, maka semua orang kedua rombongan mendengar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan tidak patut. Memang, bagi yang tidak mengerti tentu saja amat tidak pantas mendengar orang merasa bahagia melihat orang terbuntung kakinya!

Suma Han, pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa buntungnya kaki kirinya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Maka ia pun segera menekuk lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila di depan hwesio itu sambil bertanya,

"Locianpwe! Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?"

Hwesio itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. "Lupakah Sicu akan pesan mendiang Kian Ti Hosiang?"

"Aahhhhh...! Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal sekali...!"

"Omitohud...! Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas dari pada kesengsaraan, mengapa disesalkan? Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu beliau memberi nasihat kepada Sicu agar membuntungi kaki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak dapat menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu takkan dapat berusia panjang...! Maka, pinceng sekarang ikut merasa bahagia melihat betapa Sicu telah diselamatkan dari pada ancaman bahaya maut."

Suma Han mengangguk-angguk dan memuji. "Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang! Betapa tajam penglihatannya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang, bolehkah saya bertanya mengapa Locianpwe berada di sini? Dan siapa pula kedua rombongan itu? Dan keadaan di sekeliling kuil itu? Apa yang telah terjadi, Locianpwe?"

Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Ruwet sekali, Sicu...! Putera seorang murid Siauw-lim-pai berada di dalam kuil dan sudah menjadi tugas pinceng untuk merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata rombongan-rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula dengan niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah ketua-ketua mereka. Entah mengapa mereka hendak pula mengambil anak itu. Mereka lalu mengurung kuil dengan racun dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah masing-masing mengambil anak itu. Susahnya, pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena pinceng tidak ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan dengan Thian-liong-pang mau pun Pulau Neraka." Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa yang terjadi.

Suma Han mendengarkan penuh keheranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak terdengar oleh orang-orang di kedua rombongan, "Locianpwe, terus terang saja, kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang Bhok-toanio."

Hwesio itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekar itu. Ia bergidik. Pandang mata pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti mata manusia! "Mengapa, Sicu?" tanyanya lirih.

"Saya datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir." Suma Han lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak berhasil meninggalkan pesan kepada kedua orang suheng-nya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem Sian.

Siauw Lam Hwesio mengangguk-angguk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu. "Mereka terlalu dipengaruhi perasaan, tidak ingat lagi akan peri kemanusiaan. Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau begitu, baiklah, biar anak itu ikut bersama Sicu."

"Tidak, Locianpwe. Setelah Locianpwe berada di sini, sudah sepatutnya kalau putera Bhok-toanio itu ikut bersama Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatang kara, miskin papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya akan menderita dan terlantar bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar mendapat didikan yang baik dan kelak bisa menjadi seorang manusia yang berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak itu kepada saya hanya karena terpaksa dan di sana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe atau lebih tepat Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu."

Hwesio tua itu mengangguk-angguk. "Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali mendapat didikan yang benar agar tidak menjadi seorang sesat seperti... darah keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu tanpa menanam permusuhan dengan mereka?" Hwesio itu memandang ke arah dua rombongan.

Ucapan terakhir hwesio tentang darah keturunan sesat itu menikam ulu hati Suma Han. Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempunyai darah keturunan sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal sebagai orang-orang jahat!

Dia kini menoleh ke arah dua rombongan, melihat betapa pemimpin kedua rombongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap di dekat api unggun masing-masing, sedangkan anak buah mereka membuat api unggun sendiri dalam jarak yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.

"Harap Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundurkan mereka."

"Sicu, ingat. Pinceng tidak menghendaki kekerasan, apa lagi pertumpahan darah. Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan pertumpahan darah dan pembunuhan!"

Suma Han tersenyum, mengangguk. "Saya mengerti, Locianpwe. Harap Lo-cianpwe menyerahkan hal ini kepada saya." Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam.

Dua orang Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan pemuda berkaki tunggal yang pergi terpincang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak berkata lirih. "Sebaiknya dia pergi. Aku sudah khawatir kalau-kalau dia membantu Si Hwesio."

"Hemm, bocah berkaki buntung seperti itu bisa apakah? Andai kata membantu Si Hwesio Siauw-lim-pai, seorang di antara anak buah kita tentu bisa membinasakannya!" kata Si Mata Sipit.

"Ahh, Sute. Jangan memandang rendah dia. Tidakkah kau melihat sinar matanya tadi? Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti siluman saja. Ngeri aku melihatnya!"

"Ah, Suheng! Andai kata dia siluman sekali pun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia berani muncul, kutebas batang lehernya dengan pedang ini!" Si Mata Sipit mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika menghadapi dua orang Pulau Neraka. "Dia tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan Pangcu, hanya orang-orang partai besar saja yang harus kita indahkan dan jaga jangan sampai kita bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi kaki tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?"

Tiba-tiba terdengar suara lirih di depan mereka, "Ha-ha-ha, aku memang siluman. Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap seorang siluman? Bocah itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau kalian masih banyak ribut, kutelan kalian hidup-hidup!"

Dua orang itu terbelalak kaget. Suara itu datang dari dalam api unggun! Mereka menatap api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal, bergulung ke atas dan... asap tebal itu membentuk tubuh seorang raksasa! Makin lama makin jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang raksasa yang besarnya tiga empat kali ukuran manusia biasa, raksasa yang wajahnya persis pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat butut di tangannya, rambutnya riap-riapan putih dan kini ‘raksasa’ itu mengulur tangan kanan hendak menangkap mereka!

"Huuuuhhh...! Sii... siluman...!" Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan ancamannya, bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.

"Siluman... siluman raksasa...!" Si Muka Tengkorak juga melompat bangun.

Mukanya sendiri seperti tengkorak, seperti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa ngeri di hati orang yang melihatnya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak, kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit diturut oleh anak buahnya yang juga melihat ‘siluman raksasa’ itu!

Keributan ini terdengar oleh rombongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada siluman! Karena mereka tidak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan rombongan Thian-liong-pang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti sekumpulan anak-anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam tempat sunyi itu.

"Hi-hik, sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Sekarang, di tempat sunyi ini mereka ketakutan dan lari karena melihat siluman?" Wanita bermuka jambon tertawa.

"Huh! Siluman? Kita dari Pulau Neraka sudah lama dianggap manusia-manusia siluman maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka melarikan diri sehingga pekerjaan kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus dapat membawa lari anak itu dari sini!" kata laki-laki muka ungu sambil menaruh lagi ranting kayu kering untuk membesarkan api unggun.

"Tapi... bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?" Sumoinya membantah.

"Apa sukarnya? Kita boleh menggunakan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita berjumlah banyak. Kita atur begini..." Dia kini bicara bisik-bisik. "Biarlah besok kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama anak buah kita menyerbu ke kuil, membawa lari bocah itu!"

"Akan tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?"

"Kalau dia terlalu lihai, engkau membantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu ke dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat dirampas, kita tinggalkan dia. Apa sukarnya?"

"Akan tetapi... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya sekali."

"Hemm, mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita membersihkan senjata-senjata rahasia yang tersebar di depan kuil. Besok setelah matahari terbit, kita bergerak serentak dan pasti berhasil."

"Aihh, Suheng lupa akan bocah buntung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?"

"Biarkan dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau takut, Sumoi?"

"Aku? Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah buntung seperti dia itu?" Wanita muka jambon itu bangkit berdiri, mendekati api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata lagi, "untuk membuktikan bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani muncul, akan kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya untuk hiasan dinding di kamarku..."

Tiba-tiba ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegang ranting membesarkan api, mulutnya terbuka lebar. Juga suheng-nya sudah meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Ternyata di atas api unggun telah berdiri pemuda buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini tertegun, terdengar ‘raksasa’ itu berkata, suaranya besar dan parau.

"Engkau akan menebas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-oleh? Untuk hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!" Raksasa itu menjambak rambutnya sendiri, membetot dan... kepala raksasa itu copot dan kini tergantung di tangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan kepala itu kepada wanita bermuka jambon!

"Cel... celaka... ib... iblisssss...!" Wanita itu melompat ke belakang, menahan air kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suheng-nya sudah mendahuluinya lari terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak buah mereka juga lari sambil berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang raksasa yang memegangi kepalanya yang copot!

Siauw Lam Hwesio hanya melihat betapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan diri, padahal dia hanya melihat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih, Hwesio tua ini sudah memiliki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar membuat ia tidak mengerti, kagum dan menarik napas panjang lalu berbisik, "Omitohud...! Dia itu manusia ataukah siluman...?"

Akan tetapi diam-diam ia merasa bersyukur bahwa kedua rombongan itu telah pergi sehingga besok akan memudahkan baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak berani memasuki kuil malam itu karena masih ada bahaya racun mengancam. Besok setelah matahari bersinar, baru ia akan mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri dari pada bahaya racun yang mengancam. Dia tidak melihat Suma Han muncul lagi, maka diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu melanjutkan semedhinya sambil memasang perhatian kalau-kalau ada musuh yang berniat buruk memasuki kuil malam itu.

Akan tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun pagi telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerahan dan cuaca sudah mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan tetapi, suara di sebelah belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan cemas hati hwesio ini ketika melihat bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu ternyata masih berada di situ, biar pun kini dalam jarak yang agak jauh dan ternyata kedua rombongan itu kini menjadi satu! Agaknya, keduanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk menghadapi rintangan menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan melihat hwesio tua telah bangkit berdiri, mereka pun berindap-indap mulai mendekati kuil!

Melihat ini, Siauw Lam Hwesio berkata, "Apakah kalian masih belum mau pergi dan membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?"

Si Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, "Tidak bisa! Kami tidak boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!"

Laki-laki bermuka ungu juga berkata, "Losuhu, biar pun engkau dibantu siluman, kami tidak takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita bicara tentang anak yang kita perebutkan!"

"Hemm, pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi hendaknya kalian ingat bahwa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi menghalangi, berarti bahwa Cu-wi yang mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja menimbulkan pertentangan!"

"Ha-ha-ha, Siauw Lam Hwesio. Setelah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bicara tentang permusuhan antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi di antara kita! Siauw Lam Hwesio, aku menantangmu bertanding, apakah engkau berani?"

"Omitohud! Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam kalian lari pontang-panting karena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu sendiri. Dan selamanya pinceng tidak pernah mengadakan pibu dengan siapa juga. Sekarang pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama partai mau pun perorangan. Pinceng hendak mengambil anak itu!"

"Eh, hwesio penakut! Aku menantangmu, apakah kau tidak berani? Apakah keberanianmu hanya mengandalkan Pendekar Siluman? Di mana dia sekarang? Seekor siluman akan lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan ilmu hitammu sendiri?" Wanita muka jambon mengejek.

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kuil. "Siapa mencari Pendekar Siluman? Aku berada di sini!" Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han, terpincang-pincang sambil memondong seorang anak laki-laki yang memandang kepadanya dengan wajah berseri.

Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang yang memandang terbelalak karena senjata-senjata rahasia itu masih bertebaran di situ dan asap kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba Suma Han menggerakkan kaki tunggalnya dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan tetapi dua orang tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw Lam Hwesio, melihat betapa pemuda buntung itu mencelat ke atas tinggi sekali, berjungkir balik lima kali di udara melewati asap kemerahan dan meluncur turun di dekat mereka tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Hebat...! Menyenangkan sekali...!" Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang diajak mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas, bahkan bertepuk-tepuk tangan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma Han menurunkannya ke atas tanah.

"Siapa mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah wahai kalian orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung jawabku sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku menganggap anak ini sudah seharusnya ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di antara kalian yang tidak menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan tetapi akulah yang bertanggung jawab!" Suma Han lalu mendorong tubuh anak itu yang mencelat ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan memondongnya.

"Tidak! Aku lebih suka ikut denganmu, Paman Buntung!" bocah itu berkata.

"Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna. Jangan membantah lagi!" Di dalam suara Suma Han terkandung wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. "Locianpwe, harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan lagi dengan mereka ini. Sayalah yang bertanggung jawab dalam urusan ini!"

"Omitohud...! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu," Siauw Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.

Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu sudah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan pemiliknya, mendadak tubuh pendekar itu melayang turun dari atas, kemudian hinggap di tempatnya semula berdiri. Kiranya tubuh pendekar butung itu tadi mencelat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum pahit sambil bersandar pada tongkat bututnya!

"Serbu...!" bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.

"Tangkap!" pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya.

Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan patah-patah.

Empat orang pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang mereka. Kini Suma Han mendorongkan kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan wajah mereka berubah, gentar dan heran.

"Siapakah engkau, hai pemuda yang luar biasa?" Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang bertanya.

"Namaku Suma Han!" jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak merasa bangga akan namanya.

"Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami laporkan kepada ketua kami!" tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu.

Suma Han memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,

"Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Ada pun partaiku? Tidak ada partai, tempatku adalah Pulau Es!"

Di luar sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu langsung mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya. "Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es!"

Tentu saja Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. "Sudahlah, harap kalian jangan bersikap sungkan. Di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja di masa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!"

Setelah berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh kekaguman, apa lagi kalau mereka teringat akan peristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman dari pada Pendekar Super Sakti.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)