SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-03
Para tawanan ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan
wanita-wanitanya, terutama sekali Phoa Ciok Lin, adalah wanita-wanita
yang memiliki wajah cantik dan pandang mata gagah pula. Melihat bahwa
mereka yang bukan murid In-kok-san tertawan bersama murid-murid
In-kok-san yang kesemuanya pejuang-pejuang gagah perkasa, tentulah
orang-orang ini pun bukan penjahat-penjahat dan tergolong pejuang yang
gagah pula.
"Jadi kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"
Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil artinya.
"Katakanlah, kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah pimpinanku ataukah ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"
Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir, menjawab, "Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?"
Empat puluh orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan beberapa orang anak murid In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu.
Pada saat itu laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jeri dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.
Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh berdasarkan warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah.
Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mukjizat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat, "Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"
"Benar." jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"
"Ahhh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"
Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!"
Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!
"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han bertanya, sikapnya dingin.
"Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik."
"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!"
Biar pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding. Dia masih tetap berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, dengan ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapa pun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat!
Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan, kemudian dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka hingga kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tak menghendaki terjadinya hal ini, karena itu dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mukjizat yang tersembunyi di dalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang matanya.
"Singgg...!" Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar getar itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar." Walau pun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kau seranglah, aku telah siap!" kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mukjizatnya melalui mata.
Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang hanya sebuah!
Ada pun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biar pun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.
"To-cu sambut pedang hamba!"
Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis. Pemuda buntung ini hanya memandang dengan mata seperti mengeluarkan kilat.
"Hayaaaa...!" tiba-tiba Si Muka Hijau memekik.
Matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor ‘ular’ dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya memandang ‘ular’ yang jatuh ke atas lantai perahu.
Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu siluman...!" Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa ‘ular’ tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata,
"Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"
Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biar pun kakinya masih tetap satu! Melihat ini mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut.
"Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua. Biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak sanggup melawannya." kata Si Muka Hijau.
"Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"
Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung.
Perahu kecil itu didayung cepat sekali. Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang sambil memegang tambang dan... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!
Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Tetapi ia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara dingin.
"Siapa yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!"
Sedetik pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas suci-nya. Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,
"Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?"
Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu. “Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman,” pikirnya.
"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"
"Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."
Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"
"Engkau... iblis siluman... keji!" Lo Hoat memaki.
"Pergilah atau harus kulempar keluar?"
"Manusia rendah, coba kau lempar kalau..." Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan... tubuh itu terlempar ke luar dari perahu dan jatuh tercebur ke air!
"Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.
"Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan berlutut di depanmu?" seorang di antara mereka membantah. "Kami adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"
"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepadaku atau... keluar dari perahu ini!"
"Lebih baik mati!" Dua orang itu meloncat ke luar dari perahu dan kembali air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air.
Mereka yang berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.
"Pasangkan layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu. "Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda terbang!"
Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar seperti di neraka!
Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biar pun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apa lagi nama Pulau Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang.
Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu. Mereka teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar.
Demikianlah tiga puluh orang gagah itu kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat.
Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam ilmu silat Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai!
Namun Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersemedhi di dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.
Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di dunia kang-ouw.
********************
"Suhu...! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan.
Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.
"Muridku, apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana."
Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Terima kasih, Suhu. Terima kasih!"
Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya. "Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."
Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun.
"Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm... mungkin kepandaian yang kumiliki sekali pun sama sekali tidak ada artinya."
Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu.
Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.
"Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."
Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, "Belajarlah yang rajin, kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."
Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biar pun kini suhunya itu menemaninya.
"Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"
Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andai kata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tiada, dan keraguan ini lebih menyiksa dari pada mendengar kenyataannya."
Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."
Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya, "Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan musuh besarnya?"
"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?"
"Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."
Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab tenang, "Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."
"Oohhh...!" Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. "Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?"
"Namanya... Gak Liat."
Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua huruf besar-besar. "Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak..."
"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?" Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.
"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu..." Suara ini agak keluar tersendat oleh keharuan.
Kakek itu memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas dari pada duka nestapa dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut apa?"
Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
"Terima kasih, Suhu. Apa lagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?"
Gurunya tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini memang penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh... Suhumu ini bukan apa-apa."
"Suhu terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!"
"Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati, tapi bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat dalam hidup, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sulit membayangkan untuk mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai-nya mereka itu."
Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya. Dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!
Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan berdua gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai!
Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!
"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.
Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata, "Kami dari Pek-lian Kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apa lagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu."
Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian Kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu setelah Pek-lian Kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super Sakti), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata, "Kami berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa."
Wajah tiga orang pengemis itu berubah. Mereka kaget dan pucat. "Ke... ke sana...! Aih, Locianpwe. Di antara kami dan para nelayan, siapakah yang berani pergi ke sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan jika saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe."
Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghormat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai yang agak menyendiri dan jauh dari tempat ramai, tiga orang kakek jembel itu berhenti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.
"Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe."
Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.
"Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, terutama jika dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidak puasan si pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!"
Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tiang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!
Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali, apa lagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.
Bun Beng benar-benar merasa gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun. Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menuding ke depan sambil berkata.
"Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?"
"Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap menunggu-nunggu." Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang sebab ia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu perpecahan dapat meledak di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.
Ketika kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.
Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti berbunyi:
Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga
datang ke muara memperebutkan mustika.
yang merasa dirinya bukan harimau atau naga
pergilah jangan mencari jalan ke neraka!
Kakek Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini menggunakan tongkatnya dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi:
Harimau dan naga memperebutkan mustika, biarlah!
Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa
hanya ingin menonton menggunakan mata sendiri
siapa yang ambil peduli?
Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!
Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula, suaranya lantang:
Burung terbang dapat dipanah
ikan berenang dapat dijala
binatang lari dapat dijebak!
Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti
yang menunggang angin dan mega
Maaf, maaf, maaf!
Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.
"Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?"
Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!"
"Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua mereka pun merupakan seorang di antara mereka yang dianggap naga harimau!"
Bun Beng mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biar pun kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Biksu Khong Hu Cu yang ditujukan kepada Biksu Lo Cu setelah kedua Biksu itu saling berjumpa dan bercengkerama."
Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru,
"Suhu...! Di atas tebing itu... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!"
"Ssst, kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita pinggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!" Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.
Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.
"Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"
"Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri."
"Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan mereka kepada teecu."
"Yang mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka."
"Pulau Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?"
"Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, walau pun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah ada yang berhasil. Ada pun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!"
"Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah, tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!"
Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?"
"Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka yang hanya merupakan anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!"
"Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila! Kini setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hmm, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apa lagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya luar biasa sekali."
Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.
"Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini. Hemm... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran, keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya." Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersemedhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.....
********************
Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap.
Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan.
Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya. Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Ada pun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!
"Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada mereka sehingga membahayakan pusaka yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka. Kalau mereka membangkang, apa sukarnya menangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?" tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen.
Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek botak yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si penanya, kemudian mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi krak-krok-krok! "Tahukah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?"
Kelima orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi, "Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap bermusuh terhadap pemerintah. Jikalau sekarang kita mempergunakan kekuasaan minta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, mereka itu bukan hanya sekedar tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"
Jenderal Bhe Ti Kong ini sejak kecil adalah orang peperangan, maka sikapnya jujur dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal bulus.
Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapatmu itu keliru dan meleset!"
Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menunduk, dan suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang benar, saya mohon penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan siasat Koksu!"
"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan kepulauan ini sebagai petunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku jelas menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Dari pada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?"
Lima orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu penasaran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka."
Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima... heh-heh, berenam dengan aku maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan sekali, ha-ha!"
Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali jika dia yang nanti terpilih menjadi datuk nomor satu!
Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersemedhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, Kakek Siauw Lam sadar dari semedhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini biar pun memiliki ginkang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.
"Kita sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka.
Legalah hati kakek Siauw Lam. Bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.
"Heiii! Apa ini? Lepaskan...!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, "Suhu...!"
"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak berniat jahat mengapa membelenggu kita?" Bun Beng membantah, terheran-heran.
Kini kedua tangan guru dan murid itu telah dibelenggu ke belakang dan mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.
"Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak, ha-ha!"
Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biar pun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di tempat semula," kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada Kakek Siauw Lam.
"Baik, Pangcu," jawab anak buahnya, namun orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ.
Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.
Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggalkan itu yang datar, akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain di sekeliling pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar.
Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, padahal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah jelas sekali di seberang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.....
"Jadi kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"
Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil artinya.
"Katakanlah, kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah pimpinanku ataukah ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"
Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir, menjawab, "Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?"
Empat puluh orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan beberapa orang anak murid In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu.
Pada saat itu laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jeri dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.
Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh berdasarkan warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah.
Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mukjizat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat, "Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"
"Benar." jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"
"Ahhh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"
Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!"
Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!
"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han bertanya, sikapnya dingin.
"Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik."
"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!"
Biar pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding. Dia masih tetap berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, dengan ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapa pun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat!
Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan, kemudian dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka hingga kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tak menghendaki terjadinya hal ini, karena itu dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mukjizat yang tersembunyi di dalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang matanya.
"Singgg...!" Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar getar itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar." Walau pun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kau seranglah, aku telah siap!" kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mukjizatnya melalui mata.
Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang hanya sebuah!
Ada pun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biar pun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.
"To-cu sambut pedang hamba!"
Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis. Pemuda buntung ini hanya memandang dengan mata seperti mengeluarkan kilat.
"Hayaaaa...!" tiba-tiba Si Muka Hijau memekik.
Matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor ‘ular’ dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya memandang ‘ular’ yang jatuh ke atas lantai perahu.
Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu siluman...!" Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa ‘ular’ tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata,
"Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"
Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biar pun kakinya masih tetap satu! Melihat ini mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut.
"Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua. Biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak sanggup melawannya." kata Si Muka Hijau.
"Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"
Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung.
Perahu kecil itu didayung cepat sekali. Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang sambil memegang tambang dan... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!
Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Tetapi ia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara dingin.
"Siapa yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!"
Sedetik pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas suci-nya. Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,
"Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?"
Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu. “Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman,” pikirnya.
"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"
"Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."
Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"
"Engkau... iblis siluman... keji!" Lo Hoat memaki.
"Pergilah atau harus kulempar keluar?"
"Manusia rendah, coba kau lempar kalau..." Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan... tubuh itu terlempar ke luar dari perahu dan jatuh tercebur ke air!
"Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.
"Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan berlutut di depanmu?" seorang di antara mereka membantah. "Kami adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"
"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepadaku atau... keluar dari perahu ini!"
"Lebih baik mati!" Dua orang itu meloncat ke luar dari perahu dan kembali air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air.
Mereka yang berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.
"Pasangkan layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu. "Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda terbang!"
Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar seperti di neraka!
Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biar pun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apa lagi nama Pulau Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang.
Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu. Mereka teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar.
Demikianlah tiga puluh orang gagah itu kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat.
Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam ilmu silat Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai!
Namun Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersemedhi di dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.
Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di dunia kang-ouw.
********************
"Suhu...! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan.
Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.
"Muridku, apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana."
Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Terima kasih, Suhu. Terima kasih!"
Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya. "Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."
Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun.
"Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm... mungkin kepandaian yang kumiliki sekali pun sama sekali tidak ada artinya."
Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu.
Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.
"Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."
Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, "Belajarlah yang rajin, kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."
Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biar pun kini suhunya itu menemaninya.
"Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"
Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andai kata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tiada, dan keraguan ini lebih menyiksa dari pada mendengar kenyataannya."
Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."
Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya, "Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan musuh besarnya?"
"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?"
"Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."
Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab tenang, "Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."
"Oohhh...!" Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. "Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?"
"Namanya... Gak Liat."
Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua huruf besar-besar. "Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak..."
"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?" Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.
"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu..." Suara ini agak keluar tersendat oleh keharuan.
Kakek itu memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas dari pada duka nestapa dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut apa?"
Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
"Terima kasih, Suhu. Apa lagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?"
Gurunya tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini memang penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh... Suhumu ini bukan apa-apa."
"Suhu terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!"
"Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati, tapi bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat dalam hidup, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sulit membayangkan untuk mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai-nya mereka itu."
Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya. Dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!
Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan berdua gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai!
Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!
"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.
Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata, "Kami dari Pek-lian Kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apa lagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu."
Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian Kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu setelah Pek-lian Kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super Sakti), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata, "Kami berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa."
Wajah tiga orang pengemis itu berubah. Mereka kaget dan pucat. "Ke... ke sana...! Aih, Locianpwe. Di antara kami dan para nelayan, siapakah yang berani pergi ke sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan jika saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe."
Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghormat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai yang agak menyendiri dan jauh dari tempat ramai, tiga orang kakek jembel itu berhenti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.
"Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe."
Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.
"Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, terutama jika dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidak puasan si pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!"
Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tiang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!
Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali, apa lagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.
Bun Beng benar-benar merasa gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun. Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menuding ke depan sambil berkata.
"Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?"
"Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap menunggu-nunggu." Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang sebab ia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu perpecahan dapat meledak di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.
Ketika kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.
Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti berbunyi:
Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga
datang ke muara memperebutkan mustika.
yang merasa dirinya bukan harimau atau naga
pergilah jangan mencari jalan ke neraka!
Kakek Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini menggunakan tongkatnya dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi:
Harimau dan naga memperebutkan mustika, biarlah!
Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa
hanya ingin menonton menggunakan mata sendiri
siapa yang ambil peduli?
Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!
Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula, suaranya lantang:
Burung terbang dapat dipanah
ikan berenang dapat dijala
binatang lari dapat dijebak!
Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti
yang menunggang angin dan mega
Maaf, maaf, maaf!
Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.
"Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?"
Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!"
"Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua mereka pun merupakan seorang di antara mereka yang dianggap naga harimau!"
Bun Beng mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biar pun kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Biksu Khong Hu Cu yang ditujukan kepada Biksu Lo Cu setelah kedua Biksu itu saling berjumpa dan bercengkerama."
Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru,
"Suhu...! Di atas tebing itu... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!"
"Ssst, kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita pinggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!" Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.
Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.
"Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"
"Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri."
"Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan mereka kepada teecu."
"Yang mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka."
"Pulau Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?"
"Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, walau pun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah ada yang berhasil. Ada pun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!"
"Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah, tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!"
Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?"
"Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka yang hanya merupakan anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!"
"Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila! Kini setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hmm, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apa lagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya luar biasa sekali."
Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.
"Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini. Hemm... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran, keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya." Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersemedhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.....
********************
Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap.
Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan.
Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya. Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Ada pun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!
"Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada mereka sehingga membahayakan pusaka yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka. Kalau mereka membangkang, apa sukarnya menangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?" tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen.
Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek botak yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si penanya, kemudian mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi krak-krok-krok! "Tahukah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?"
Kelima orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi, "Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap bermusuh terhadap pemerintah. Jikalau sekarang kita mempergunakan kekuasaan minta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, mereka itu bukan hanya sekedar tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"
Jenderal Bhe Ti Kong ini sejak kecil adalah orang peperangan, maka sikapnya jujur dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal bulus.
Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapatmu itu keliru dan meleset!"
Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menunduk, dan suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang benar, saya mohon penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan siasat Koksu!"
"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan kepulauan ini sebagai petunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku jelas menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Dari pada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?"
Lima orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu penasaran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka."
Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima... heh-heh, berenam dengan aku maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan sekali, ha-ha!"
Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali jika dia yang nanti terpilih menjadi datuk nomor satu!
Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersemedhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, Kakek Siauw Lam sadar dari semedhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini biar pun memiliki ginkang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.
"Kita sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka.
Legalah hati kakek Siauw Lam. Bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.
"Heiii! Apa ini? Lepaskan...!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, "Suhu...!"
"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak berniat jahat mengapa membelenggu kita?" Bun Beng membantah, terheran-heran.
Kini kedua tangan guru dan murid itu telah dibelenggu ke belakang dan mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.
"Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak, ha-ha!"
Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biar pun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di tempat semula," kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada Kakek Siauw Lam.
"Baik, Pangcu," jawab anak buahnya, namun orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ.
Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.
Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggalkan itu yang datar, akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain di sekeliling pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar.
Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, padahal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah jelas sekali di seberang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.....
Komentar
Posting Komentar