SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-05


"Suhuuuu...!" Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama suhu-nya sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit lagi. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhu-nya itu cepat sekali mencair, ‘dimakan’ benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat betapa mayat suhu-nya itu habis dan mencair sampai ke tulang-tulangnya, tidak ada bekasnya sedikit pun juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu.
Dua titik air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak biar pun kedukaan menyesak di dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa bencinya terhadap keempat orang itu. Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hendak membakar tubuh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama sekali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah yang membunuh suhu-nya!
Akan tetapi enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah mayat Kakek Siauw Lam lenyap, kemudian mereka bergegas mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang dijadikan medan pertandingan.
Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mulai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja sudah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang lebih merasa penasaran dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.
"Mundur!" Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang sebetulnya adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan suara, seperti seekor burung saja.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin dan tajam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar dari lengan baju amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan seorang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias!
Akan tetapi semua orang segera berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu.
Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ, bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung keluar suara yang merdu dan halus, akan tetapi amat nyaring dan begitu dingin membuat semua orang menggigil.
"Apakah kalian berdua ini utusan Pulau Es?"
Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia hampir berani memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga hanya pemuda, malah buntung sebelah kakinya, ia menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.
"Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini adalah utusan dari Pulau Es."
"Bagus! Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!"
Ucapan ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sinkang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sute-nya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.
"Dukk! Dukk!"
Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sute-nya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.
"Bagus! Kalian boleh juga!" kata wanita berkerudung itu.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Dua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung dengan mudah. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu dapat mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka!
Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya. Juga sute-nya mengimbangi serangan suheng-nya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.
"Aiiihhhh!”
Tubuh wanita berkerudung mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sinkang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.
"Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?"
Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jeri terhadap pukulan tenaga inti api dan pukulan sute-nya dengan tenaga inti es, maka ia berkata. "Apakah Pangcu yang terhormat jeri menghadapinya?"
"Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!"
Kedua orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Ada pun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.
"Gak Liat adalah Ayahku...!" teriaknya perlahan.
Karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.
"Pegang dia, jangan sampai dia lari!" kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biar pun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
"Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telingamu!"
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema, "Siapakah mencari aku?"
Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,
"Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu."
Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.
"Aku mencari dia... ah, di manakah dia kalau tidak di sini?" Kemudian dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. "Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini...!"
Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Ada pun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biar pun rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.
"Ke manakah perginya Siocia, To-cu?" Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.
"Dia pergi dari Pulau Es membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?"
"Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!" Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang.
Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam segumpal ujung rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin. "Engkau siapa...?" Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita.
Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api. "Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!"
Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan. "Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah berandalan itu!"
Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.
"Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!" Ia menggerakkan pisau belatinya.
"Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?" Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak.
Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap!
Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.
"Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!" kata Pendekar Siluman pada dua pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk, dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!
"Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. "Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari koksu kerajaan!"
Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya koksu itu dan betapa kuatnya tenaga sinkang yang ia pergunakan!
Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!
"Pendekar Siluman, mau lari ke mana engkau?" Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.
"Cet-cet-cet-cet...!" Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata rahasia.
Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnet dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
"Aku tidak sempat main-main dengan kalian!" terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar.
Akan tetapi, dengan pukulan sinkang Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan!
Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda tadi. Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda!
Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang!
Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
"Krekkk!" pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah.
Sebelum laki-laki anggota Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.
"Celaka...! Air pusaran maut!" Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya. Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!
Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini," katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.
"Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!" Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.
"Seperti juga Pendekar Siluman, saya tak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!" Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman.
Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan kedua orang itu bertanding silat! Jikalau kedua orang itu saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentu mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini, bukankah bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju. Jangan khawatir, pertandingan melawan panglima kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!" Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe Ti Kong adalah seorang jenderal perang. Biar pun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang tentara tentu saja dia selalu akan menaati perintah atasan. Maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali.
Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat dibencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya!
Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah!
Akan tetapi hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu. Biar pun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng, maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!
Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju menjadi penasaran.
Apa lagi melihat seorang anggota mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka marah sekali, namun yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apa lagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan perorangan. Andai kata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah atau siapa pun juga!
Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
"Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!" katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat, cepat, dan juga aneh sekali, berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.
"Cringgggg...!" Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.
Bun Beng menonton, namun pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan wanita berkerudung tadi yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya.
Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!
Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, yaitu Panglima Bhe Ti Kong, lagi terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek!
Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera mengerahkan ilmu ini secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
"Heiii...! Mau pergi ke mana...?" Panglima gendut terkejut.
Akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang sudah ikut membunuh suhu-nya membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhu-nya adalah empat orang yang lihai bukan main. Apa lagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian suhu-nya?
Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apa lagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhu-nya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng. Maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
"Manusia curang! Rasakan pembalasanku!" Bun Beng membentak sambil meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut.
Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhu-nya yang dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini.
Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya.
Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apa lagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda.
Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya. Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong.
Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini, maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biar pun hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
"Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!" Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.
"Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!" Ia meronta-ronta.
Dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai sekali. Biar pun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakkan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.
"Crottt...!"
Tangan Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulitnya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat ke luar! Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya!
Semua orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu terbelalak ngeri dan juga kagum, kecuali para anggota Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan. Wajah beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu.
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal. Akan tetapi mereka berasal dari Tibet, maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.
Koksu Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang kemudian menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat. "Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, konon memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan mereka menamakan dirinya keluarga dewa!"
"Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan katanya datang dari Pulau Es?" Thai Li Lama bertanya, masih seram mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.
"Entahlah, aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka."
"Mengapa namanya begitu seram?" Thian Tok Lama bertanya.
"Entahlah, hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana."
"Hemm, aneh. Kalau tak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?" Thian Tok Lama mencela.
"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi," kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka Biru itu biar pun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!
Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru sekarang muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh.
Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari sumbernya.
Dan di situ banyak tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apa lagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk.
Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Karena itu, betapa pun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana.
Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian-su, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan. Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.
Demikianlah, dengan bekal itu Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat.
Namun perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.
Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.
Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah. Karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding, lalu meloncat bangun. Tiba-tiba ia merasa pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.
"Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!" Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.
"Lepaskan aku!" Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.
"Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!" Panglima itu menghardik. "Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"
Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya.
Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapa pun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus dari pada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu.
Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan. Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.
Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suheng-nya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.
Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biar pun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu.
Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu. Selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.
Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggota Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Ada pun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jeri dan sungkan terlibat.
Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.
Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri....
Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya.
Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.
"Tukkk!"
Biar pun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan.
Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya!
Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.
"Aihhhh...!" Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan nyawa Bhe Ti Kong tertolong.
Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biar pun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
"Addd... duhhhh...!" Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih.
Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah. Karena tidak dapat memukul, dia telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali. Sesaat dia lupa hingga melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.
"Plakkk...!" Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting, namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.
"Heee! Lari ke mana kau, bocah setan?" Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang.
Dengan pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata, "Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!"
Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin, tetapi bibirnya tersenyum sedikit. Agaknya, betapa pun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan watak aslinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biar pun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang?
Wanita ini merupakan salah seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang, biar pun kedudukannya hanyalah sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih.
Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.
"Bocah, mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!" Sambil berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir.
Pada waktu itu panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap kembali. Namun gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gendut itu luput dan ia menubruk tanah. Oleh karena dia tadi sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih dulu.
"Ngekk!" Panglima itu meringis. Napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil memaki.
"Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap nanti!"
Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantuan.
"Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!"
Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut. Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini benar-benar kewalahan mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng.
Mulailah orang gendut ini melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar biasa sehingga biar pun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut.
Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin menggunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik terjatuh ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka dari pada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Maka meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.
"Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"
Mendengar ini semua anggota Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka lalu memandang penuh perhatian, bahkan wanita cantik Thian-liong-pang itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara terheran.
"Kau... kau she apa?"
"Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim..."
Pada saat itu panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu mengibaskan tangannya membentak, "Pergilah!"
Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan dun terbanting ke bawah.
“Brukkk!” Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada dan membentak.
"Nyonya... eh, Nona...." Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis. "Kau tidak boleh membelanya, dia adalah tawanan Koksu!"
"Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!" Wanita itu berkata, suaranya dingin menantang.
"Apa? Kau berani menentang Koksu?" Panglima gendut yang merasa malu karena terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.
"Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapa pun juga," wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan koksu maka mempergunakan alasan yang telah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.
Pada saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu, "Jangan sentuh!"
Kiranya kedua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah komandannya sebab adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka.
Wajah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu.
"Jangan ganggu jenazah Suheng kami!" Dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka berteriak sambil bergerak maju.
Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus membentak mereka mundur. Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.
"Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!" Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah, "Huhhh...?!"
Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang temannya sama sekali tak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.
"Gak Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggota termuda Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggota kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!" Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggota lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.
"Tidak...! Aku tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang!" Bun Beng berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.
"Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"
"Aku... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggota..."
"Engkau harus menjadi anggota kami, mau atau tidak!" Wanita itu membentak.
"Tidak... tidak... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!"
"Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil." Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkejut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang sangat hebat sehingga untuk melindungi jantung mereka terpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak memperebutkannya pula. Baiklah, bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?" Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!
Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan menghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apa lagi kalau sampai rombongan karajaan itu membantu lawan! Dari pada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat diperacaya sepenuhnya.
"Baik, kami setuju!" Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.
"Kami setuju!" kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. "Kami mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Sute-ku ini!" Seorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya dari pada pemimpin rombongan, meloncat keluar.
Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. "Aku adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggung jawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja, yaitu aku sendiri."
"Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!" Si Muka Hijau mencela.
Wanita itu tersenyum mengejek. "Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan untuk melawan kalian berdua sekaligus!"
Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali. Akan tetapi sebagai orang-orang berkepandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong itu.
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi pa-ra wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu."
Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.
Bun Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeliling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggota Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.
Pertempuran yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton dengan hati tegang, jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.
Dua orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mereka aneh sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (barisan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sute-nya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat membantu kawan.
Biar pun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas tinggi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong. Tetapi bukan tangan sembarangan, karena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang sangat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan bergantian.
Thian Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sute-nya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh.
Maka begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka hwesio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan.
Betapa pun juga, karena terlalu hati-hati tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat mau pun tenaga sinkang dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jeri terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia terdesak.
Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biar pun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur!
Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam bertelur.
"Kok-kok-kok-kok!"
Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.
"Aihhh!" Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas memukul.
Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan kesudahannya ternyata mambuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yang terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini sudah menggunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)