SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-08
"In-kong (Tuan Penolong)... harap sudi menemui kami...!" Mereka
berteriak-teriak, namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak
tebing. Kemudian terdengar suara dari atas, lirih saja namun amat jelas
terdengar oleh mereka.
"Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!"
Karena memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing, tanpa dilarang sekali pun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong mereka.
Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!
Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!
Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan mereka untuk menjaga diri!
"Demikianlah Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong kami. Sungguh pun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu." Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.
"Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya.
"Tentu saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu.
Bun Beng hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi ‘Sin-kauw-kun-hoat’ dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab ‘Sam-po-cin-keng’ yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Tetapi, melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.
"Dan tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?"
"Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami," jawab Ciu Toan. "Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi."
"Thian-liong-pang?" Bun Beng terkejut dan ia teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. "Kenapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?"
Ciu Toan menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa pun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggota Thian-liong-pang."
"Aneh sekali!" Bun Beng berkata.
"Memang Thian-liong-pang kini telah terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggota mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!"
"Sungguh luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.
"Betapa pun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau... engkau tentu... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"
Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?
"Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini."
Orang-orang itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!"
Bun Beng tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau."
"Hebat..., hebat...! Inkong tentu murid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.
"Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng menarik napas panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa sakit hati atas kematian suhu-nya yang amat mengerikan.
"Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"
"Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."
"Aihhh...! Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?" Orang-orang itu menjadi makin kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat. "Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang...." Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.
"Dua puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?"
Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja. "Kami... kami tadinya... bersisa dua puluh lima orang, akan tetapi sayang... enam orang telah meninggal dunia di sini..." Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram.
Biar pun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.
Bun Beng yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini dari pada tinggal di atas dan menjadi ‘seekor’ di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di goa dan di situ dia menyimpan sepasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.
Namun beberapa hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun Beng untuk mencari ‘akar obat-obatan’. Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapa pun juga," kata Ciu Toan.
"Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?"
Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga hari."
Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan belas orang itu membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Setelah pada hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu.
Hari masih pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar Siluman merupakan idam-idaman hatinya.
Ia kagum dan tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu. Jantungnya makin berdebar keras ketika ia melihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?
Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi. Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali.
Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu.
Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang dengan kedua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?
Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak diangkat pergi.
"Kenapa hanya sembilan keranjang dan yang sebuah kosong?!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk di atas punggung rajawali.
Sembilan belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.
"Maaf... kami... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena setiap tiga bulan diambil terus, kini hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang..."
"Bohong! Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. "Kalian berani menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan kekurangan ini?"
Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.
"Diam semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?"
Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring, "Aku, Ciu Toan yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!"
Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu, menunggu apa lagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek perutmu?"
"Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku, biarlah saat ini aku menerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!
"Ciu-twako...!" Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!
"Keparat! Setan...!" Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.
"Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya ini semua?" Bun Beng membanting-banting kakinya dengan marah.
"Sssttt... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua," jawab seorang di antara mereka dengan sikap takut-takut.
Biar pun marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa Bun Beng menurut karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengar penuturan delapan belas orang itu....
"Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu menolong...," kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka sekali.
"Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?"
Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama terjadinya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggota Pulau Neraka yang membutuhkan akar jinsom dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri."
Bun Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali. "Mengapa kalian tidak melawan?"
Orang itu menggeleng kepala. "Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya...."
Bun Beng menggeleng-geleng kepala. "Sungguh menjemukan kalau begitu, mengapa Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?"
"Pergi ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang itu penuh duka.
Bun Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabarannya.
"Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini.... pengecut? Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan dari pada nyawa! Lebih baik melawan penindas sampai mati dari pada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor harimau dari pada hidup sebagai seekor babi?"
Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram. Pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi."
Jawaban ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka yang dibencinya itu.
Diam-diam Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah goa kecil yang tidak dipakai, menutup goa dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.
Tiga bulan kemudian, ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.
Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan banyak mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayahnya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka.
Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat?
Jantung Bun Beng berdebar keras ketika menanti di dalam keranjang, khawatir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah datang! Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir. Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!
Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama dia diterbangkan dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia ‘terbang’ sendiri di atas tebing tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia ketahui bahwa rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Saking herannya, ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya saat menyaksikan pemandangan yang amat hebat.
Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka sedang bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan cakar dan paruh!
Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman! Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada murid perempuan pendekar itu, apa lagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!
"Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!" bentak anak perempuan itu.
"Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng terbanting ke bawah!" Anak laki-laki itu balas memaki.
"Mampuslah!"
Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.
"Tranggggg...!"
Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan langsung menikam dada!
"Celaka...!" Anak laki-laki itu berteriak.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!
Betapa pun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling awan!
Akan tetapi anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.
"Cringgg...!" sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.
Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnya menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda.
Agaknya melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.
"Trangg...! Aihhhh... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan.
Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan. Menyaksikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.
"Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi? Ayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kau kira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha-ha, mukamu sudah pucat! Betapa pun juga, wajahmu manis sekali. Jika kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik, lalu membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan...."
"Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati, Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek moyangmu, kalau engkau tidak begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu!"
Gadis cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.
"Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Nanti pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman."
"Keparat sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggota Thian-liong-pang yang sombong!"
"Heh-heh-heh, boleh kau terka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"
"Dia dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi sehingga ia lupa diri dan berteriak.
"Hahh...?" Kini anak laki-laki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki! "Kau... siapa...?"
Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya engkau adalah keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!"
Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.
"Bukkk!"
Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari Sam-po-cin-keng. Tenaga sinkang-nya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mukjizat. Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia sukar bernapas!
Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jeri, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jeri setelah rahasianya terbuka, maka ia menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan burung garuda dan anak perempuan yang menungganginya.
Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan cepat sekali.
"Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!" Bisik anak perempuan itu kepada garudanya.
Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan karena semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut kepadanya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di luar tahu gurunya.
Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk ‘melihat-lihat’.
Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung ini biar pun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia merasa lelah dan harus beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh.
Karena lelah kedua-duanya, baik garuda itu mau pun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.
Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.
"Diam engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi.
"Setan! Kau apakan burungku...?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.
"Inikah anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.
"Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian, anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.
"Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kau bawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong balas memaki dan kini biar pun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?
Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki sinkang yang jauh lebih kuat dari pada lawannya, di samping gerakan ginkang-nya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biar pun lawannya memegang pedang, namun setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala jurusan itu.
"Mundur kau!" Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong terpental ke belakang.
Kwi Hong marah sekali. "Engkau siluman!"
Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari ke mana pun juga!
"Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wanita itu bertanya, suaranya dingin sekali.
Kwi Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan. Tubuhnya ramping dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya.
Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putihnya kapur!
"Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal."
"Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu mengejek.
"Keng In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
"Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?"
Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk. "Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka."
"Aku tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani.
Wanita itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!
"Mau tidak mau harus ikut."
"Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kau lawan Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!"
"Anak, engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tetapi tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"
"Aku Giam Kwi Hong!"
Wanita itu mengerutkan kening. "Apa engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Gurumu?"
Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. "Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah kepadamu."
Kembali wanita itu tersenyum. "Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"
Kwi Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.
"Pulanglah engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu terbang ke arah timur.
Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.
Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apa lagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.
Kedua burung rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian besar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!
Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau dicat hitam? Begitu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah rumah besar seperti istana, tampak banyak orang berlarian datang menyambut.
Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini orang-orang yang lari berdatangan itu memiliki wajah yang beraneka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.
"Hi-hi-hik-hik! Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan panggung sandiwara dan kalian semua ikut bermain?"
Semua orang yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini. Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.
"Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?"
Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini mewakili suara hati semua orang.
"Dia? Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman..."
Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya, Kwi Hong memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa tanding, To-cu dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"
Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata mereka jelas tampak betapa mereka itu terkejut dan jeri. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.
"Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini beserta seluruh penghuninya!"
Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong, engkau anak kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku sengaja membawamu ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali. Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun boleh."
Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita muka putih itu. "Aku boleh pergi?"
Wanita itu tersenyum. "Silakan!"
"Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.
"Biarkan dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia tidak sampai celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!"
Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mereka. Mereka kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar dan mereka rata-rata merasa jeri terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya berwarna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.
Dengan hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, memasuki sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti berlari dan memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam, bukan main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong menggigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh ular, demikian pula di kiri.
Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah hutan lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak melihat ular seekor pun. Akan tetapi, hutan ini amat gelap dan tidak ada lorong bekas kaki manusia, maka ia masuk secara ngawur saja. Tiba-tiba terdengar suara mengaung yang makin lama makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinganya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya!
Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar dari hutan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari cepat dengan ribuan lebah terbang mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin tersesat makin dalam!
Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang berbisa. Jangankan dikeroyok begitu banyak, disengat oleh seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, "Mati aku sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya suara melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu.
Benar dugaannya, orang yang memegang suling itu agaknya sengaja menanti dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kiranya jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah yang bertentangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta heran hatinya ketika dalam waktu sebentar saja dia sudah keluar dari hutan!
Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa tentu kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa berterima kasih dan tidak mengerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula menculiknya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya dari bahaya maut. Ia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biar pun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.
Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan mendaki pegunungan kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagian yang paling tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan bawah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang menggetarkan batu karang yang diinjaknya.
Ketika ia memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-binatang yang bentuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter sampai tiga meter. Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi jalan di depannya dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.
"Ohhhh...!" Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihatnya daerah yang penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang buas.
Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.
Kwi Hong meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk melepaskan diri, namun sia-sia karena lilitan ‘tangan-tangan’ tanaman itu makin erat saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepaskan diri dari tanah dan mengeroyoknya!
"Iiiihhh...!" Ia menjerit ketika sehelai di antara ‘tangan-tangan’ itu merayap dan akan melilit lehernya.
Pada saat itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tanaman itu seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri, lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun jahat!
Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, hanya dapat menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia ambil.
Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki hutan-hutan yang penuh binatang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa mengerikan apa lagi yang berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-binatang cecak raksasa!
Kini dia berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti daerah aman karena tidak tampak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!
Betapa girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di daerah pasir itu. Bersih tidak ada bahaya. Biar pun dia sudah lelah sekali dan napasnya masih terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai tepi laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar matahari itu terasa hangat dan lunak.
"Aihhhh...!" Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut tingginya.
Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke atas, akan tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam kedua kakinya amblas ke dalam pasir sehingga setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya memandang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap!
Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras. Ia memutar tubuh atas dan terbelalak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing hutan sedang datang berlari, matanya merah, moncongnya menggereng-gereng dan binatang itu lari ke arah dia terbenam di pasir!
Tak dapat diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, sudah tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir, hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu melolong-lolong, meronta-ronta, namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang kepadanya dengan marah dan gerengannya makin hebat.
Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya makin dahsyat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya, matanya dan akhirnya yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat. Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap. Binatang itu telah ditelan pasir, tanpa meninggalkan bekas!
"Tolong...!" Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu.
Berdiri bulu kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang paling berbahaya dari pada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!
Karena panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara. "Wirrrrr!"
Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Majikan Pulau Neraka telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanannya dan sedang menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
"Ohhhh... ahhhh..." Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.
"Aku mengerti sekarang...." Kwi Hong berkata marah. "Kiranya engkau tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!"
"Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih hebat dari pada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang mulai dari sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali."
Kwi Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya lawan dengan penculikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapa pun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.
"Sungguh mengherankan. Jika Pulau Neraka ini begini berbahaya melebihi gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?" tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini.
"Engkau takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"
Kwi Hong mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"
"Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman..."
"Pendekar Super Sakti!" Kwi Hong memotong.
Wanita aneh itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku."
"Aku tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"
Sejenak wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata. "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar. Marilah!"
Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mereka telah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.
"Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"
"Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau ajak dia bermain-main dengan baik, tapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!" Wanita itu berkata.
Keng In membelalakkan matanya, memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, "Baik, Ibu."
Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh masakan di Pulau Es!
Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang baik, mendapat kamar di sebelah kiri kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mempertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In.
Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan empat orang tokoh muka kuning saja. Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apa lagi terhadap perintah Kwi Hong yang mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang diberikan Kwi Hong.
Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam ‘pangeran’. Betapa pun juga, ada beberapa orang di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.
"Semua orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?" Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.
"Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sinkang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedudukan mereka."
"Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?"
"Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggota yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sinkang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggota paling rendah yang belum berhasil memiliki sinkang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka dipanggil. Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya, jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah memiliki sinkang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"
"Hemmm.... dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"
Keng In mengerutkan alisnya. "Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh mempelajari sinkang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sinkang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini."
Kwi Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sinkang sambil minum racun itu, dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.....
"Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!"
Karena memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing, tanpa dilarang sekali pun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong mereka.
Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!
Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!
Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan mereka untuk menjaga diri!
"Demikianlah Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong kami. Sungguh pun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu." Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.
"Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya.
"Tentu saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu.
Bun Beng hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi ‘Sin-kauw-kun-hoat’ dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab ‘Sam-po-cin-keng’ yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Tetapi, melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.
"Dan tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?"
"Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami," jawab Ciu Toan. "Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi."
"Thian-liong-pang?" Bun Beng terkejut dan ia teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. "Kenapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?"
Ciu Toan menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa pun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggota Thian-liong-pang."
"Aneh sekali!" Bun Beng berkata.
"Memang Thian-liong-pang kini telah terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggota mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!"
"Sungguh luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.
"Betapa pun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau... engkau tentu... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"
Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?
"Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini."
Orang-orang itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!"
Bun Beng tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau."
"Hebat..., hebat...! Inkong tentu murid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.
"Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng menarik napas panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa sakit hati atas kematian suhu-nya yang amat mengerikan.
"Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"
"Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."
"Aihhh...! Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?" Orang-orang itu menjadi makin kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat. "Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang...." Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.
"Dua puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?"
Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja. "Kami... kami tadinya... bersisa dua puluh lima orang, akan tetapi sayang... enam orang telah meninggal dunia di sini..." Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram.
Biar pun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.
Bun Beng yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini dari pada tinggal di atas dan menjadi ‘seekor’ di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di goa dan di situ dia menyimpan sepasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.
Namun beberapa hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun Beng untuk mencari ‘akar obat-obatan’. Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapa pun juga," kata Ciu Toan.
"Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?"
Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga hari."
Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan belas orang itu membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Setelah pada hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu.
Hari masih pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar Siluman merupakan idam-idaman hatinya.
Ia kagum dan tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu. Jantungnya makin berdebar keras ketika ia melihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?
Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi. Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali.
Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu.
Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang dengan kedua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?
Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak diangkat pergi.
"Kenapa hanya sembilan keranjang dan yang sebuah kosong?!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk di atas punggung rajawali.
Sembilan belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.
"Maaf... kami... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena setiap tiga bulan diambil terus, kini hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang..."
"Bohong! Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. "Kalian berani menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan kekurangan ini?"
Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.
"Diam semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?"
Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring, "Aku, Ciu Toan yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!"
Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu, menunggu apa lagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek perutmu?"
"Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku, biarlah saat ini aku menerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!
"Ciu-twako...!" Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!
"Keparat! Setan...!" Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.
"Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya ini semua?" Bun Beng membanting-banting kakinya dengan marah.
"Sssttt... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua," jawab seorang di antara mereka dengan sikap takut-takut.
Biar pun marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa Bun Beng menurut karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengar penuturan delapan belas orang itu....
"Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu menolong...," kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka sekali.
"Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?"
Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama terjadinya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggota Pulau Neraka yang membutuhkan akar jinsom dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri."
Bun Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali. "Mengapa kalian tidak melawan?"
Orang itu menggeleng kepala. "Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya...."
Bun Beng menggeleng-geleng kepala. "Sungguh menjemukan kalau begitu, mengapa Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?"
"Pergi ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang itu penuh duka.
Bun Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabarannya.
"Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini.... pengecut? Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan dari pada nyawa! Lebih baik melawan penindas sampai mati dari pada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor harimau dari pada hidup sebagai seekor babi?"
Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram. Pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi."
Jawaban ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka yang dibencinya itu.
Diam-diam Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah goa kecil yang tidak dipakai, menutup goa dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.
Tiga bulan kemudian, ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.
Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan banyak mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayahnya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka.
Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat?
Jantung Bun Beng berdebar keras ketika menanti di dalam keranjang, khawatir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah datang! Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir. Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!
Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama dia diterbangkan dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia ‘terbang’ sendiri di atas tebing tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia ketahui bahwa rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Saking herannya, ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya saat menyaksikan pemandangan yang amat hebat.
Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka sedang bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan cakar dan paruh!
Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman! Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada murid perempuan pendekar itu, apa lagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!
"Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!" bentak anak perempuan itu.
"Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng terbanting ke bawah!" Anak laki-laki itu balas memaki.
"Mampuslah!"
Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.
"Tranggggg...!"
Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan langsung menikam dada!
"Celaka...!" Anak laki-laki itu berteriak.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!
Betapa pun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling awan!
Akan tetapi anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.
"Cringgg...!" sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.
Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnya menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda.
Agaknya melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.
"Trangg...! Aihhhh... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan.
Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan. Menyaksikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.
"Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi? Ayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kau kira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha-ha, mukamu sudah pucat! Betapa pun juga, wajahmu manis sekali. Jika kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik, lalu membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan...."
"Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati, Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek moyangmu, kalau engkau tidak begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu!"
Gadis cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.
"Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Nanti pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman."
"Keparat sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggota Thian-liong-pang yang sombong!"
"Heh-heh-heh, boleh kau terka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"
"Dia dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi sehingga ia lupa diri dan berteriak.
"Hahh...?" Kini anak laki-laki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki! "Kau... siapa...?"
Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya engkau adalah keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!"
Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.
"Bukkk!"
Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari Sam-po-cin-keng. Tenaga sinkang-nya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mukjizat. Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia sukar bernapas!
Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jeri, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jeri setelah rahasianya terbuka, maka ia menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan burung garuda dan anak perempuan yang menungganginya.
Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan cepat sekali.
"Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!" Bisik anak perempuan itu kepada garudanya.
Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan karena semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut kepadanya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di luar tahu gurunya.
Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk ‘melihat-lihat’.
Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung ini biar pun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia merasa lelah dan harus beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh.
Karena lelah kedua-duanya, baik garuda itu mau pun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.
Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.
"Diam engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi.
"Setan! Kau apakan burungku...?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.
"Inikah anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.
"Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian, anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.
"Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kau bawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong balas memaki dan kini biar pun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?
Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki sinkang yang jauh lebih kuat dari pada lawannya, di samping gerakan ginkang-nya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biar pun lawannya memegang pedang, namun setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala jurusan itu.
"Mundur kau!" Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong terpental ke belakang.
Kwi Hong marah sekali. "Engkau siluman!"
Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari ke mana pun juga!
"Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wanita itu bertanya, suaranya dingin sekali.
Kwi Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan. Tubuhnya ramping dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya.
Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putihnya kapur!
"Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal."
"Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu mengejek.
"Keng In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
"Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?"
Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk. "Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka."
"Aku tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani.
Wanita itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!
"Mau tidak mau harus ikut."
"Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kau lawan Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!"
"Anak, engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tetapi tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"
"Aku Giam Kwi Hong!"
Wanita itu mengerutkan kening. "Apa engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Gurumu?"
Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. "Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah kepadamu."
Kembali wanita itu tersenyum. "Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"
Kwi Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.
"Pulanglah engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu terbang ke arah timur.
Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.
Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apa lagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.
Kedua burung rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian besar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!
Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau dicat hitam? Begitu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah rumah besar seperti istana, tampak banyak orang berlarian datang menyambut.
Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini orang-orang yang lari berdatangan itu memiliki wajah yang beraneka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.
"Hi-hi-hik-hik! Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan panggung sandiwara dan kalian semua ikut bermain?"
Semua orang yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini. Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.
"Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?"
Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini mewakili suara hati semua orang.
"Dia? Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman..."
Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya, Kwi Hong memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa tanding, To-cu dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"
Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata mereka jelas tampak betapa mereka itu terkejut dan jeri. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.
"Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini beserta seluruh penghuninya!"
Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong, engkau anak kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku sengaja membawamu ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali. Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun boleh."
Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita muka putih itu. "Aku boleh pergi?"
Wanita itu tersenyum. "Silakan!"
"Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.
"Biarkan dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia tidak sampai celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!"
Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mereka. Mereka kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar dan mereka rata-rata merasa jeri terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya berwarna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.
Dengan hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, memasuki sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti berlari dan memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam, bukan main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong menggigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh ular, demikian pula di kiri.
Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah hutan lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak melihat ular seekor pun. Akan tetapi, hutan ini amat gelap dan tidak ada lorong bekas kaki manusia, maka ia masuk secara ngawur saja. Tiba-tiba terdengar suara mengaung yang makin lama makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinganya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya!
Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar dari hutan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari cepat dengan ribuan lebah terbang mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin tersesat makin dalam!
Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang berbisa. Jangankan dikeroyok begitu banyak, disengat oleh seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, "Mati aku sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya suara melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu.
Benar dugaannya, orang yang memegang suling itu agaknya sengaja menanti dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kiranya jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah yang bertentangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta heran hatinya ketika dalam waktu sebentar saja dia sudah keluar dari hutan!
Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa tentu kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa berterima kasih dan tidak mengerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula menculiknya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya dari bahaya maut. Ia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biar pun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.
Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan mendaki pegunungan kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagian yang paling tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan bawah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang menggetarkan batu karang yang diinjaknya.
Ketika ia memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-binatang yang bentuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter sampai tiga meter. Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi jalan di depannya dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.
"Ohhhh...!" Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihatnya daerah yang penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang buas.
Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.
Kwi Hong meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk melepaskan diri, namun sia-sia karena lilitan ‘tangan-tangan’ tanaman itu makin erat saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepaskan diri dari tanah dan mengeroyoknya!
"Iiiihhh...!" Ia menjerit ketika sehelai di antara ‘tangan-tangan’ itu merayap dan akan melilit lehernya.
Pada saat itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tanaman itu seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri, lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun jahat!
Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, hanya dapat menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia ambil.
Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki hutan-hutan yang penuh binatang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa mengerikan apa lagi yang berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-binatang cecak raksasa!
Kini dia berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti daerah aman karena tidak tampak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!
Betapa girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di daerah pasir itu. Bersih tidak ada bahaya. Biar pun dia sudah lelah sekali dan napasnya masih terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai tepi laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar matahari itu terasa hangat dan lunak.
"Aihhhh...!" Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut tingginya.
Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke atas, akan tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam kedua kakinya amblas ke dalam pasir sehingga setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya memandang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap!
Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras. Ia memutar tubuh atas dan terbelalak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing hutan sedang datang berlari, matanya merah, moncongnya menggereng-gereng dan binatang itu lari ke arah dia terbenam di pasir!
Tak dapat diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, sudah tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir, hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu melolong-lolong, meronta-ronta, namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang kepadanya dengan marah dan gerengannya makin hebat.
Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya makin dahsyat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya, matanya dan akhirnya yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat. Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap. Binatang itu telah ditelan pasir, tanpa meninggalkan bekas!
"Tolong...!" Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu.
Berdiri bulu kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang paling berbahaya dari pada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!
Karena panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara. "Wirrrrr!"
Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Majikan Pulau Neraka telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanannya dan sedang menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
"Ohhhh... ahhhh..." Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.
"Aku mengerti sekarang...." Kwi Hong berkata marah. "Kiranya engkau tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!"
"Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih hebat dari pada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang mulai dari sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali."
Kwi Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya lawan dengan penculikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapa pun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.
"Sungguh mengherankan. Jika Pulau Neraka ini begini berbahaya melebihi gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?" tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini.
"Engkau takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"
Kwi Hong mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"
"Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman..."
"Pendekar Super Sakti!" Kwi Hong memotong.
Wanita aneh itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku."
"Aku tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"
Sejenak wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata. "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar. Marilah!"
Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mereka telah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.
"Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"
"Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau ajak dia bermain-main dengan baik, tapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!" Wanita itu berkata.
Keng In membelalakkan matanya, memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, "Baik, Ibu."
Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh masakan di Pulau Es!
Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang baik, mendapat kamar di sebelah kiri kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mempertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In.
Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan empat orang tokoh muka kuning saja. Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apa lagi terhadap perintah Kwi Hong yang mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang diberikan Kwi Hong.
Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam ‘pangeran’. Betapa pun juga, ada beberapa orang di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.
"Semua orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?" Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.
"Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sinkang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedudukan mereka."
"Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?"
"Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggota yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sinkang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggota paling rendah yang belum berhasil memiliki sinkang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka dipanggil. Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya, jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah memiliki sinkang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"
"Hemmm.... dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"
Keng In mengerutkan alisnya. "Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh mempelajari sinkang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sinkang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini."
Kwi Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sinkang sambil minum racun itu, dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.....
Komentar
Posting Komentar