SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-10


Lulu menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan kebahagiaannya terbawa pergi bersama orang yang dicintanya itu?
"Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?" Tiba-tiba seorang di antara empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini telah siuman dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi dari tempat itu.
Lulu memandang mereka. "Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita mengalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku! Musuhku...!"
Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini melempar diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.
"Koko... ahhhh, Han-koko... engkau masih lemah seperti dulu...! Kalau engkau tidak mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu... kau tunggu saja...!"
********************
Mengapa Lulu tiba-tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san).
Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Suma Han dengan ratap tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa pergi oleh kakak angkatnya itu. Semenjak itu, dia hidup menderita kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat.
Dia suka kepada Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan dengan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia melahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat, tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan makin berat penderitaan batinnya yang menjerit-jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu. Suaminya juga maklum dan merasa akan keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa anaknya pergi meninggalkan suaminya.
Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan tetapi Lulu sekarang tidak seperti dahulu ketika masih kanak-kanak bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat melakukan perjalanan cepat.
Betapa pun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan mengira-ngira saja, sambil mengingat-ingat perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan!
Pada suatu pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah kuburan yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang kakek bongkok yang lihai bertanding melawan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai sorban. Ia teringat akan penuturan suci-nya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa berpihak kepada kakek bongkok.
Setelah menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu mencabut pedangnya dan meloncat ke gelanggang pertempuran sambil berseru, "Apakah Locianpwe yang bernama Gu Toan?"
Kakek bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoi-nya, murid Subo Maya."
"Ahhh... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari sini. Bawa pusaka-pusaka itu."
Lulu tertegun dan bingung. "Pusaka apa...?"
"Dessss!" Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya menyemburkan darah segar.
Melihat ini Lulu menerjang dengan pedangnya, namun orang India itu mendorongkan tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!
"Jangan bantu aku! Lekas kau buka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua pusaka dan bawa pergi. Cepat...!" Kakek Gu Toan kembali berkata dan menerjang orang India itu dengan nekat.
Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya tidak dimengerti oleh kakek India itu yang menjadi marah dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang-panjang.
Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting dari pada nyawa kakek bongkok itu, apa lagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu cepat meloncat dan meneliti batu nisan kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah-tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan tenaga sinkang dia mendorong batu besar yang berada di situ. Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat bangun, ia melihat Si Bongkok kembali terhuyung-huyung terkena pukulan lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.
"Lekas pergi! Lekas lari... pusaka itu menjadi milikmu...!"
Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan keselamatan anak di gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia mendapatkan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu-ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim-kong-sin-hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah kitab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas pusaka milik mendiang Suling Emas!
Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya dia memiliki sinkang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu cepat dapat dikuasainya.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala macam kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es. Tempat itu sunyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari batang pohon.
Biar pun dia memiliki tenaga yang hebat, namun sebagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu meluncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini, lebih baik mati saja!
Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ketidak mampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat dari pada ketika dia melakukan perjalanan darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang-ambingkan perahu hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu Lulu hanya dapat menangis, mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum menghendaki dia mati, biar pun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap selamat!
Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpalan es yang kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan badai, dia benar-benar tidak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.
Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu dan betapa kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan di atas perahu sambil mengeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu menyambar ke bawah, agaknya hendak menerkam Keng In yang berada di atas papan perahu.
"Prakkk!" Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan terbang ke atas sambil memekik marah.
"Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau berani!" Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki-maki.
Dia menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pedang, siap menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas perahu kecil.
Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya. Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pandai sekali bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.
"Crakkkk... aihhh!" Lulu menjerit dan meloncat ke belakang.
Kuku jari kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil terbang berputaran, burung itu memekik-mekik kesakitan dan juga saking marahnya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.
Biar pun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik. Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung itu menyambar turun, Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas mengayun dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat, Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat sehingga leher burung itu tercekik!
"Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!" Lulu membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, sedangkan tangan kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung.
Burung itu meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala burung itu dengan telapak tangan kiri. Setelah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan cekikannya dan kembali membentak.
"Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!"
Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa dia telah bertemu makhluk yang lebih kuat, maka sambil mengeluh panjang ia tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara. Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini dari pada naik perahu kecil yang selalu dilanda ombak!
"Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang telah bersahabat. Tolonglah terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?"
Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka biar pun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!
Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Biar pun para penghuninya memiliki ilmu kepandaian yang lihai, namun merupakan keturunan orang-orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama sedangkan lima orang lain menjadi pembantu-pembantunya.
Karena hidup terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang-orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat dari pada kulit-kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang turun-temurun mempelajari huruf-huruf sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan ratusan tahun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.
Ketika Lulu melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, "Tiauw-ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau keliru memilih tempat!"
Akan tetapi rajawali yang tidak mengerti kata-kata ini, tetap saja terbang merendah dan tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas pulau, juga dia melihat bangunan-bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi keterangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu kalau-kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini pun amat berbahaya!
"Turunlah! Turun ke tempat orang-orang itu!" Lulu menepuk-nepuk leher rajawali dan burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya. Anaknya mulai menangis.
"Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang..." Lulu menghibur dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.
Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah terbang rendah, ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan kuning! Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun dengan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.
Orang-orang yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian. Enam orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya kaku dan aneh, akan tetapi Lulu masih dapat menangkap artinya.
"Toanio siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?"
Kini Lulu yang terbelalak keheranan. "Orang buangan dari Pulau Es? Apa maksudmu? Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?"
"Kami tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?"
"Aku mau mencari sahabatku di sana!"
"Sahabatnya di Pulau Es!" Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini memandang Lulu dengan geram.
Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa sebabnya. Melihat mereka sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,
"Kalian siapakah? Dan pulau apakah ini?"
Kakek itu menjawab, "Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pulau Es. Pulau ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu, pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!"
Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biar pun dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang lain! Sekarang setelah ia melarikan diri dari suaminya. Mengingat akan watak kakak angkatnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apa lagi karena sekarang dia telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.
"Bagus!" tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. "Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!"
Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, "Engkau katakan tadi bahwa engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?"
"Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai dan beradab, tidak seperti sekarang ini!"
"Perempuan muda, bicaramu takabur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biar pun engkau datang secara aneh menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm... agaknya melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!"
Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar kata-kata itu, naik darahnya. "Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?"
Kakek bermuka kuning itu tertawa. "Aku!"
"Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku cukup berharga menjadi ketua di sini?"
Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu mengelus jenggotnya dan berkata, "Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi pemimpin."
"Bagus! Kalau begitu, kau tunggu sebentar!" Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya.
Keng In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena lapar, maka dia lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui karena Sang Ibu yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.
Setelah menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu meloncat bangun dan menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,
"Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?"
"Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata, biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau bersenjata pun, aku sanggup menghadapimu dengan tangan kosong!" Setelah berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan rantingnya di atas tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.
"Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan seranglah!" Biar pun Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik dan diam-diam dia waspada karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.
"Perempuan muda, jaga seranganku!" Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya menyambar.
"Wuuuutttttt!"
Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sinkang yang hebat. Namun dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping kakinya menendang ke arah lambung lawan.
"Plakkk!"
Kakek itu menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap pukulannya.
Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk mengukur tenaga dan biar pun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bahwa sinkang-nya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga kakek ini. Maka dia pun kini melawan dengan pengerahan tenaga, bahkan dia mulai mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas.
Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu silat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih hebat dari pada kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat, kakek itu berseru kaget dan terdesak hebat.
Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar biasa sekali, dan kuatnya bukan main sehingga angin pukulannya saja membuat dia tergetar. Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan pedang. Ilmu ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya bukan main!
Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah ‘coretan’ tak tersangka-sangka dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal lengan.
"Cusss!"
"Aduhhhhh...!" Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar darah. Baju kulit harimau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh jari tangan Lulu!
"Toanio, tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum kalah! Hadapi rantingku ini!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya lalu menerjang maju.
"Cuittt... tar-tar-tar...!" Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengancam kepala Lulu dari empat penjuru!
Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan menderita luka berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya. Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas ranting!
Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah meledak lagi berubah lemas menyambarnya seperti lecutan cambuk. Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Untung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.
Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi bengong dan terbelalak kagum. Biar pun wanita itu terdesak, namun jelas tampak oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi tingkatnya dari pada kakek yang menjadi ketua mereka!
Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi penasaran dan marah karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan ini, dia berseru. "Tahan senjata!"
Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Karena dia menyerang terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya memburu dan hampir putus, mukanya sebentar merah sebentar pucat, membuat muka yang berwarna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.
"Apakah engkau menyerah kalah?" kakek itu menegur.
Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu berdiri lagi menghadapi lawannya. "Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena kalau aku menggunakan senjataku ini, engkau pasti akan kalah."
"Senjata... kipas...?" Kakek itu hanya mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selamanya, juga mendengar pun belum, maka mereka memandang terheran-heran.
"Benar, inilah senjataku saat ini!"
"Toanio, engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang, kipas hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk menyilirkan badan dan menuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan kau pergunakan sebagai senjata?"
"Lopek, engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang tidak semestinya, hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin sederhana senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusakaku ini. Ingat, Kwan Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!"
Kakek itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia menerjang maju. Jantung Lulu tergetar hebat oleh suara lengkingan itu, maka tahulah dia bahwa kakek itu mempergunakan khikang untuk mempengaruhinya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang dimiliki binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa atau harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan kakinya lemas tak mampu lari lagi.
Lulu juga mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek itu dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting yang kadang-kadang menjadi pecut kadang-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan ilmu sakti Lo-hai-san-hoat, kipasnya dapat dikembangkan dan dikebutkan menghalau ujung ranting, kemudian disusul dengan totokan-totokan mengunakan ujung gagang kipas.
Kakek yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dialah yang terdesak karena rantingnya kalau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan kipas sehingga gerakannya kacau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, sedangkan kalau dibikin kaku, tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya panas dan perih.
Dengan gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin mempercepat kemenangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat menggerakkan kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting itu terjepit dan tidak dapat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya menggunakan tangan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya melayang ke depan dibarengi langkah kakinya, langsung mengirim pukulan ke arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena kakek itu mengerahkan sinkang-nya!
"Hemmm!" Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya menerima kepalan lawan sambil mengerahkan sinkang yang dilatih di Pulau Es dan yang ini telah mencapai tingkat tinggi.
"Desssss!"
Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan napas memperkuat Im-kang. Mendadak kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya, terhuyung ke belakang dan....
"Uaaakkk!" dia muntah darah dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Keadaan menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda itu! Yang terdengar hanya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang di depan dada, tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, sikapnya gagah dan menyeramkan.
"Masih adakah yang tidak mau menerima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?" Suaranya dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga menggetarkan jantung semua orang.
Para penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima orang kakek bermuka kuning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima orang kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh pingsan. Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan memandang kepada Lulu, kemudian ia berlutut dan berkata,
"Mulai saat ini, Toanio adalah pemimpin kami!"
Mendengar ini, lima orang kakek muka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.
"Toanio...!"
"To-cu...!"
Lulu tersenyum. "Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku menjadi ketua. Aku berjanji akan memimpin kalian dan menurunkan ilmu sehingga tidak saja kalian akan memperoleh kemajuan, juga akan menjadi penghuni Pulau Neraka yang akan menggemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan untuk aku dan anakku."
Demikianlah, mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru, menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan pembantu-pembantunya yang pandai untuk keluar pulau dan mencari bahan pakaian untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia-manusia beradab.
Dia menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat kitab dia simpan sebagai kepandaian pribadinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sinkang dengan minum racun-racun tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah mencapai tingkat tertinggi, dalam beberapa tahun saja wajahnya berwarna putih kapur! Juga dia mendidik Keng In dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan sehingga dapat dipergunakan untuk binatang tunggangannya.
Kemajuan yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengutus pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan yang menakutkan.
Ketika puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat untuk keperluan penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya seorang anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia selalu menunda.
Dari penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah menjadi majikan Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya, banyak pula terdapat wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau Es seolah-olah merupakan sebuah kerajaan kecil. Mendengar ini, makin sakit rasa hati Lulu karena dia menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya. Bukankah sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup bahagia di Pulau Es? Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!
Ketika ia memancing Suma Han sehingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke Pulau Neraka, mengalahkan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, tetapi pria itu tidak memperlihatkan kejantanan, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan seperti juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!
Herankah kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, kemudian mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagiaannya? Apa lagi ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan Nirahai, suci-nya. Dia akan memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai. Sekarang dia tidak takut terhadap suci-nya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapa pun juga! Rasa kemarahan yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur pulas dengan bantal masih basah air mata!
********************
"Siuuuutttt... byurrrr!"
"Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?" Seorang gadis cilik yang berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.
"Hemmm, yang manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Haiii, Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!" kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.
Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Ada pun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.
Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak dekat, Milana berseru, "Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!"
"Hmmm, agaknya dia sudah mati...!" Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi.
Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika keranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya. Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!
"Brukkkk!"
Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening, bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan matanya.
"Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam sebuah keranjang?"
Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah. Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.
"Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan terima kasihku."
Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apa lagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.
"Ajaib...! Ajaib...! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar dipercaya!"
Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
"Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya jatuh ke sini."
Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini masih kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, "Hemm, engkau tentu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh istirahat di bagian belakang kapal."
Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.
Bun Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi. Akan tetapi, bagi Bun Beng yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak-kanak bahkan mengandung makna dalam seperti sajak dalam kitab-kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa menggerakkan tubuhnya yang masih terlentang.
Betapa ajaib alam dunia
segala sesuatu bergerak sewajarnya
menuju ke arah titik sempurna
matahari memindahkan air samudra
memenuhi segala kebutuhan di darat
dibantu hembusan angin yang kuat
setelah melaksanakan tugas mulia
air kembali ke asalnya
semua itu digerakkan oleh cinta
apa akan jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?

Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata-kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya.
"Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?"
Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.
"Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?" Bun Beng melompat berdiri dan bertanya.
Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
"Apa kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"
"Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?"
"Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biar pun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku."
Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sinkang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki-laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.
"Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!" Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai dari pada anak itu!
Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya. "Bagian manakah yang kau katakan ngawur?"
"Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?"
Mata itu bersinar lembut ketika menjawab, "Gak Bun Beng, ketika aku diajar menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan makhluk, baik yang bergerak mau pun yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat dari pada Tuhan yang menguasai seluruh alam!"
Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.
"Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!"
Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangkan perasaan kasihan! "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidur pun, semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buah pun akan jatuh sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?"
Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
"Eh... oh... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?" Ia berhenti sebentar lalu menengok ke arah bilik perahu besar. "Tentu... laki-laki yang berpakaian mewah tadi, ya?"
Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. "Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar sering kali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu... Ibu selalu mengucurkan air mata kalau menyanyikan lagu itu."
Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula. "Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?"
"Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasihnya."
"Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam..."
"Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?"
Bun Beng terdesak. "Baiklah... baiklah..., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti," Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang!
Anak perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapa pun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku."
"Engkau takut dimarahi?"
"Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku."
Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia menelan ludah, "Engkau... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang."
Anak perempuan itu tersenyum. "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!"
Cinta kasih menguasai alam semesta
suci murni dan penuh mesra
namun mengapa hatiku merana...
jiwaku dahaga akan cinta...?
aihhh... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta... cintaku...
mengapa engkau begitu tega...?

Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini terisak-isak.
"Engkau... engkau menangis...?" tanyanya, suaranya serak.
Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk, "Aku... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu."
Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata, "Ahhh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?"
Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk. "Aihhh... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku, Ibu selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan di mana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah."
"Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?"
"Namaku Milana."
"Bagus sekali!"
"Apakah yang bagus?"
"Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"
Milana menggeleng kepala, "Ibu melarang aku menganggap diri keturunan bangsawan, biar pun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran-pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng."
"Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula."
"Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa..."
"Milana...!"
Mereka terkejut dan menengok. "Paman memanggilku." Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.
Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya. "Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman."
"Apakah yang terjadi, Paman?" Milana bertanya.
"Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak datang. Cepat sembunyi!" Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat ke luar.
"Mau apakah bajak-bajak laut itu?" Di dalam bilik Milana bertanya kepada Bun Beng.
"Hm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita."
Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
"Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?"
Bun Beng tersenyum pahit. "Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada makhluk di dunia ini yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia."
"Ohhh...! Akan tetapi... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."
"Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana dari pada mati sebagai tikus-tikus terjepit di tempat ini!"
"Aku... aku tidak pernah bertempur!"
"Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?"
Milana menggeleng kepala. "Aku... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!"
"Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"
"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh."
Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. "Wah-wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?"
"Kata Ibu untuk menjaga diri dari mara bahaya."
"Nah, sekarang mara bahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"
"Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!"
"Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita."
"Kau... kau berani membunuh orang?"
"Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?"
"Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?"
Bun Beng tertawa. "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!" Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencingnya senjata-senjata yang beradu.
Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka atau tewas.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)