SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-14
Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pendekar Super Sakti yang berkaki tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mereka berpisah dengan hati hancur.
Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari suaminya untuk memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya. Dia amat mencinta Suma Han, bahkan telah berkorban dengan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi seorang buruan! Pukulan batin kedua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu kelak menyusulnya ke Mongol.
Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapa pun juga, wanita yang keras hati ini tetap tidak mau pergi mencari suaminya. Kalau memang suaminya tidak mencintainya, dengan bukti tidak pernah menyusulnya, biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan. Karena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia lalu membuat perkumpulan yang kelak dapat ia pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau Es, dan dipilihlah Perkumpulan Thian-liong-pang.
Puteri Nirahai memiliki watak dan sifat yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han yang dicintainya, bahkan ia telah mengorbankan nama, kedudukan dan kehormatannya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu. Sebesar itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyusulnya, bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri! Rasa sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal kepandaian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihannya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan merupakan sebuah perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena dia adalah murid keponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti.
Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan menantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sute-nya, maka kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti karena tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka. Terutama sekali Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah Ma Kiu dan sute-sute-nya yang merajalela di dunia kang-ouw.
Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera mendiang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya. Siangkoan Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara Hitam dan jatuh cinta kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi kesaktian kedua orang gurunya, akan tetapi juga mewarisi keganasan dan kegilaannya!
Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang di mana dia menjadi ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia. Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidupnya aneh dan penuh rahasia. Ilmu silat para anggota Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa dari Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu kepada para anak buah dan murid-muridnya.
Setelah Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan menderita batin karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan tahun terjadilah pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi kekacauan di dalam perkumpulan ini karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan di antara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua.
Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan pibu, mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai di antara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi di mana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan taruhan nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini sering kali terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh di antara saudara sendiri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan karena kursi itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama besar!
Ketika Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehingga orang yang berkepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok itu. Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon ketua masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton adu jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang bertaruh, bukan hanya bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang letaknya di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung. Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar yang dilingkungi pagar tembok bertombak itu pun merupakan hal yang berbahaya bagi mereka.
Para pembesar pemerintah Mancu pun tak ada yang berani mencampuri, dan mereka ini sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkumpulan itu tidak melakukan perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik dengan mereka. Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang dijajah.
Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang Thian-liong-pang. Akan tetapi pada waktu itu semua pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan di antara mereka ada yang ingin melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian mereka sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus orang lebih anggota Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi riang gembira karena para anggota itu sibuk saling bertaruh memilih jago masing-masing. Para pimpinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan tingkah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing karena tingkat kepandaian mereka sendiri masih merasa terlalu rendah untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Ada pun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kursi-kursi di tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama.
Pada waktu itu tampak lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing telah merasa yakin akan memperoleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti dalam pesta.
Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menyeramkan. Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya disambung dengan jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti kumis singa. Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biar pun kakek ini usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini menambah keangkerannya karena membuat mukanya lebih mirip muka singa. Sepasang matanya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk seperti seekor singa kekenyangan yang mengantuk!
Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari Ketua yang sekarang, namun karena dia seorang berjiwa perantau dan petualang, maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguh pun dalam hal kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aslinya, lebih dikenal julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Ber-muka Singa)!
Orang kedua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan pakaiannya seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang yang tidak waras pikirannya. Kelihatannya kakek gundul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak membadut di depannya. Namun jangan dianggap remeh kakek ini karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo. Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari suheng-nya karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin dan Kilat)!
Orang ketiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya melotot jarang berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pakaiannya seperti seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to Sin-seng (Bintang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wajahya tampan sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah bibirnya dan begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari bahan sutera halus dan laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek. Sayangnya, sinar matanya yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan salah seorang di antara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian-liong-pang menjadi nama besar dan tenar.
Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah), namanya Liauw It Ban. Kalau suheng-nya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang laki-laki gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang menjadi korbannya! Betapa pun juga, dia dan suheng-nya tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong-pang di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena itu namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.
Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian-liong-pang karena dia paling tidak patut menjadi anggota dewan pimpinan perkumpulan besar itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan para Pimpinan Thian-liong-pang karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-pai yang lihai.
Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali memetiknya. Terutama sekali kedua orang suheng-nya sendiri, Ma Chun dan Liauw It Ban yang pada waktu itu pun sering kali melayangkan sinar mata ke arahnya. Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh sumoi-nya yang penuh gairah. Liauw It Ban juga memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan tetapi ia tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan hati sumoi-nya yang sudah menjadi janda itu.
Tetapi Tang Wi Siang duduk dengan tenang, sikapnya dingin sekali, seperti sebongkah es membeku. Tapi di luar tahu lain orang, diam-diam ia menyapukan pandang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban, suheng-nya yang tampan. Dulu sebelum suaminya tewas, dia tidak mempedulikan suheng-nya yang tampan ini, bahkan sebelum menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suheng-nya. Akan tetapi sekarang, setelah setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya hanya beberapa tahun lamanya, diam-diam sering jantungnya berdebar kalau membayangkan suheng-nya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Thian-liong-pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi, memiliki keistimewaan masing-masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa di antara mereka yang paling lihai. Dan sekarang sudah dapat dibayangkan bahwa dalam pibu perebutan kedudukan ketua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju?
Tiba-tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan upacara, yaitu seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ketua. Semua anggota Thian-liong-pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua Thian-liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya setinggi pundaknya!
Ketua Thian-liong-pang ini tingginya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai sampai tergetar dibuatnya. Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan membayangkan tonjolan otot-otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke jari tangannya penuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil sehingga kelihatannya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya. Jenggot dan kumisnya dipotong pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat!
Inilah dia Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu Lam-kek Sian-ong! Tahun yang lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sute-nya.
Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku, Ketua ini mempersilakan saudara-saudara seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kursi gading, dan semua anak buah lalu duduk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggota duduk di atas lantai yang terbuat dari batu persegi yang lebar, keras dan berwarna hitam.
Seperti biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak tangga yang merupakan ruangan yang sengaja dikosongkan karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras sehingga sekali terbanting, tulang bisa patah, apa lagi kalau kepala yang terbanting, bisa pecah!
Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru, Thian-liong-pangcu yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat dengan kedua tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Setelah keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sudah dikenal baik oleh semua anggota.
"Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoi-ku sebagai anggota dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan Thian-liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak menjadi ketua baru tanpa ada tentangan dari siapa pun juga dan memiliki hak mutlak untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang. Luka atau mati dalam pibu tidak boleh mengakibatkan dendam dan kebencian di antara saudara seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ketua dan demi kepentingan dan nama besar Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan di antara para anggota biasa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan menyatakan pendapatnya."
Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan. Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang suheng-nya, yaitu Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang. Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang sute-nya dan seorang sumoi-nya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia mengerti bahwa kalau dua orang suheng-nya itu memasuki pibu, dia harus berhati-hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya menjadi ketua berarti harus selalu berada di Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau mengorbankan kesukaannya merantau dengan menjadi ketua. Ada pun Lui-hong Sin-ciang Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah mengikuti pibu pemilihan ketua. Orang ini lebih senang duduk termenung, atau bersemedhi atau diam-diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia tenggelam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai kadang-kadang matanya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil buyuten! Betapa pun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suheng-nya yang kedua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan Ji-suheng-nya ini.
Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat twa-suheng-nya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit berdiri dari kursi di ujung sebelah kanannya. Para anggota juga menjadi heran dan tegang karena maklum bahwa kalau yang tua-tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara-saudara seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bicara, kemudian ia berkata, "Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku lebih suka merantau di alam bebas dari pada harus terikat di atas kursi gading sebagai ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kukemukakan. Siapa pun yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian-liong-pang dengan baik, mencegah penyelewengan para anggota yang hanya akan merusak nama besar Thiang-liong-pang. Hentikan perbuatan-perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret Thian-liong-pang ke lembah kehinaan, sebab kita bukanlah anggota-anggota perkumpulan rendah, bukan segerombolan penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk melakukan perbuatan menjijikkan seperti yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang-wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hmmm... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menentangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!" Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik di antara para anggota yang sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan ucapan itu. Ada pun Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru saja menerima tamparan.
"Cocok sekali!" Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari kursinya. Suaranya tinggi nyaring, sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan lemah. "Jangan membikin malu nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su-couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!" Setelah berkata demikian, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang duduk kembali.
Biar pun ucapan kedua orang suheng-nya itu merupakan tamparan dan teguran tersembunyi yang ditujukan kepadanya, tetapi hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas bahwa kedua orang suheng-nya itu tidak mau memasuki pibu memperebutkan kursi ketua! Kini tinggal dua orang sute-nya dan seorang sumoi-nya, karena selain mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah kedua orang sute-nya dan sumoi-nya.
Hampir berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban bangkit berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil berkata,
"Aku hendak memasuki pibu!" kata Ma Chun.
"Dan aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!" kata Liauw It Ban.
Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Janda muda yang cantik jelita ini berkata tenang, "Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk menjadi ketua..."
"Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!" Tiba-tiba Liauw It Ban berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti.
Kedua pipi wanita itu berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu, apa lagi ketika ia melihat banyak mulut tersenyum-senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah lagi. "Terima kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah selama ini aku melatih diri memperdalam ilmu silat dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandaikan utuk menjunjung nama dan kehormatan Thian-liong-pang!"
Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk memaafkan sumoi-nya yang cantik itu dan tidak membunuhnya. Akan tetapi kedua orang sute-nya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau sekali ini mereka gagal, pada lain kesempatan tentu mereka itu akan mencoba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia segera bangkit berdiri dan berkata,
"Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mendengar, yang memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah Ma-sute dan Liauw-sute, sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain lagi yang akan memasuki pibu hari ini!"
"Ada!" Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! "Akulah yang akan memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua Thian-liong-pang!"
Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing mengandung racun!
"Engkau siapa?" Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan langkah tenang wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di bawah anak tangga kemudian berkata, "Pangcu, siapa aku bukanlah hal penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga, akulah calon Ketua baru dari Thian-liong-pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukkan Ketua Thian-liong-pang."
Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung itu. "Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau sebagai orang luar berani memasuki tempat ini tanpa ijin, kesalahan ini saja sudah patut dihukum dengan kematian. Kedua, pibu kedudukan Ketua Thian-liong-pang hanya dilakukan di antara anggota sendiri, tidak boleh dicampuri orang dari luar! Ayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi ampun."
Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang punggung yang mendengarnya terasa dingin. "Phang Kok Sek, biar pun engkau telah menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau lupa akan sejarah Thian-liong-pang dan riwayat tokoh-tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian-liong-pang, dan dianggap sebagai orang luar karena perbuatan-perbuatannya yang menentang Thian-liong-pang dan karena menjadi murid dari kedua Siang-ong Kutub Utara dan Selatan. Akan tetapi kemudian dia kembali dan merampas Thian-liong-pang menjadi ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggota dewan pimpinan Thian-liong-pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru kalian mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang pertapa dari Kun-lun-san yang sama sekali bukan anggota Thian-liong-pang tadinya?"
Keenam pimpinan Thian-liong-pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para pimpinan Thian-liong-pang?
"Siapakah engkau?" Kembali Phang Kok Sek bertanya.
"Aku adalah calon Thian-liong-pang-cu," wanita berkerudung menjawab.
Tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata setelah menatap sepasang mata di balik kerudung itu dengan tajam. "Toanio, siapa pun adanya engkau, tapi caramu masuk dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau seorang pemberani. Akan tetapi ketahuilah bahwa seorang yang ingin menjadi Ketua Thian-liong-pang bukanlah melalui pibu, melainkan merupakan perampas perkumpulan yang harus lebih dahulu mengalahkan seluruh pimpinan..."
"Memang aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang menentangku menjadi Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu menjawab seenaknya. "Nah, aku menyatakan diriku sebagai Ketua Thian-liong-pang yang baru! Siapa yang akan menentang? Boleh maju!"
Para anggota Thian-liong-pang memandang dengan hati tegang dan juga gembira karena mereka merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan mengakibatkan pertandingan yang amat menarik. Tadinya mereka sudah merasa kecewa ketika mendengar ucapan Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang karena maklum bahwa dua orang tua itu tidak memasuki pibu sehingga pertandingan yang akan terjadi di antara Ketua dan dua orang sute-nya dan seorang sumoi-nya tidak akan menarik hati.
Sementara itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan Thian-liong-pang menjadi marah dan diam-diam Phang Kok Sek memberi tanda dengan matanya kepada Cui-beng-kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi pula, maka biar pun mereka ditantang, mereka merasa malu untuk maju mengeroyok. Pula, Phang Kok Sek yang cerdik sengaja menyuruh sute-nya maju, selain untuk menyaksikan dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga andai kata terjadi sesuatu dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia kehilangan seorang di antara saingan-saingannya!
Akan tetapi betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika wanita itu mendahului Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si Pedang Pengejar Roh itu sambil berkata, "Nah, engkau sudah menerima perintah Suheng-mu untuk melawan aku. Majulah!"
Bukan main tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga isyarat Sang Ketua dengan matanya dapat ia tangkap! Liauw It Ban meloncat bangun dan ketika tangan kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat, pedangnya telah berada di tangan kanan. Ia tersenyum mengejek, melintangkan pedang depan dada dan menggunakan telunjuk kirinya menuding ke arah muka berkerudung itu.
"Perempuan sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau berani membuka mulut besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka kerudungmu agar dapat kulihat wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu, hemm... agaknya aku masih dapat mengampunimu asal engkau tahu bagaimana harus membalas budi, ha-ha-ha!"
Betapa kagetnya ketika laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tampan dan pesolek ini mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu namun mengandung ejekan, "Cui-beng-kiam Liauw It Ban, siapa tidak mengenal orang rendah seperti engkau ini? Engkau orang ke lima dari enam Pimpinan Thian-liong-pang, dan sudah cukup engkau mengotorkan Thian-liong-pang dengan perbuatan-perbuatan kotormu, memperkosa wanita-wanita baik-baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat cabul yang berhati keji dan mestinya engkau tidak patut menjadi tokoh Thian-liong-pang. Kedatanganku memang untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang dan sekaligus membersihkan Thian-liong-pang dari monyet-monyet kotor macam engkau!"
"Singggg...!" Tampak sinar kilat ketika pedang di tangan Liauw It Ban menyambar ke arah leher wanita berkerudung. Namun, dengan gerakan mudah sekali wanita itu mengelak, bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak percuma Liauw It Ban mendapat julukan Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) karena begitu pedangnya luput, sudah membalik lagi dengan serangan kedua yang merupakan sebuah tusukan ke arah dada wanita berkerudung itu.
Semua pimpinan Thian-liong-pang terbelalak kaget ketika menyaksikan gerakan wanita berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan dua buah jari tangannya, telunjuk dan ibu jari, menjepit ujung pedang yang menusuknya dengan mudah sekali dan... betapa pun Liauw It Ban menarik, pedangnya tidak dapat terlepas dari jepitan dua buah jari itu!
"Begini sajakah Pedang Pengejar Roh? Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya. Hi-hik!" Wanita berkerudung itu mengejek.
"Perempuan siluman!" Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyambar ke depan, menghantam ke arah muka wanita yang tertutup kerudung sutera itu.
"Plakk! Krekkk... aduuhhh!" Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika tangan kanan wanita itu menyambut pukulannya dengan telapak tangan, terus mencengkeram sehingga tulang-tulang jari tangan Liauw It Ban yang terkepal itu patah-patah dan remuk!
"Krak... ceppp! Augghhhh..."
Wanita itu tak berhenti sampai di situ saja. Tangan kirinya yang menjepit ujung pedang membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan sekali mengibaskan tangan kiri, ujung pedang itu meluncur dan amblas memasuki dada Liauw It Ban sampai tembus ke punggung. Liauw It Ban melepaskan pedang, mendekap dadanya, dan akhirnya roboh terjengkang, tewas di saat itu juga. Wanita berkerudung menendang dan mayat itu melayang ke atas anak tangga, ke arah Ketua Thian-liong-pang!
Phang Kok Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam sebuah pertandingan yang dapat membuka rahasia gerakan wanita itu dan yang kiranya dapat ia tandingi tentu ia akan merasa girang kehilangan seorang saingan. Akan tetapi kematian sute-nya itu demikian aneh, hanya dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama sekali tidak dapat mengukur sampai di mana tingginya kepandaian wanita itu, dan hal ini merupakan penghinaan bagi Thian-liong-pang yang ditakuti oleh semua tokoh kang-ouw. Biar pun dia belum dapat mengukur dan mengenal ilmu wanita berkerudung, namun ia tahu bahwa wanita itu amat sakti, kalau tidak tak mungkin sute-nya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu dapat tewas semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.
"Serbu...!"
Dua ratus orang anak buah Thian-liong-pang, dipimpin oleh komandan masing-masing serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan telinga, disusul berkelebatnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang mengurungnya dan... semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan setiap orang yang berada paling depan dari para pengurung, entah bagaimana caranya karena dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak terluka sama sekali.
"Para anggota Thian-liong-pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh kalian, melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa mudahnya! Aku akan menjadikan Thian-liong-pang sebuah perkumpulan terbesar dan terkuat di seluruh dunia, sekuat Pulau Es dengan penghuni-penghuninya!"
Mendengar ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman mereka, para anggota itu serentak mundur dan menjadi ragu-ragu. Hal ini menimbulkan kemarahan besar di hati para pimpinan.
"Perempuan rendah, berani engkau membunuh Sute-ku?" Twa-to Sin-seng Ma Chun berteriak dan tangan kirinya bergerak.
"Cuit-cuit-cuit... cap-cap-cappp!"
Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah tubuh wanita berkerudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan jepitan jari-jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengumpulkan tiga buah senjata rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara keras. Ketika ia membuka tangannya, tiga buah senjata rahasia bintang yang terbuat dari baja dan diberi racun itu telah hancur berkeping-keping dan dibuang ke atas lantai!
Twa-to Sin-seng Ma Chun marah sekali, lalu mencabut golok besarnya dan menerjang maju. Tang Wi Siang yang melihat Liauw It Ban, suheng yang menggerakkan gairahnya itu terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pedang dan membantu Ma Chun mengeroyok wanita itu.
Sinar golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung baju Si Wanita yang bergerak dengan mudah dan ringan seolah-olah tubuhnya berubah menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah terkekeh-kekeh dan masih dapat berkata-kata sambil mengelak ke sana ke mari.
"Twa-to Sin-ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik-baik. Engkau mata keranjang, sombong, kasar dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa..."
"Perempuan rendah! Kalau saja aku berhasil menangkapmu, aku bersumpah akan menelanjangimu dan memperkosamu di depan mata seluruh anggota Thian-liong-pang... aughhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan ketika semua orang memandang, tampak tanda tiga buah jari membiru di dahi Ma Chun yang sudah tewas itu!
"Engkau... manusia kejam...!" Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya menerjang dengan hebatnya.
Kalau dibandingkan dengan Ma Chun dan Liauw It Ban, tingkat kepandaian Tang Wi Siang dapat dikatakan sama. Namun setelah mempelajari ilmu pedang dari suaminya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu pedangnya dengan gerakan dasar dari Bu-tong-pai. Maka sekali ini dalam keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi-tubi.
"Tang Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu-tong-pai. Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wakilku dalam memimpin Thian-liong-pang!"
"Tutup mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!"
"Wanita bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi mengatakan bahwa engkau akan menguji kepandaian setiap Ketua Thian-liong-pang, nah, sekarang boleh menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik-baik, dalam tiga jurus aku akan mengalahkanmu!"
Biar pun pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu telah mengenal baik-baik keadaan Thian-liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini, bahkan mengenal semua nama dan julukan para pimpinan Thian-liong-pang berikut watak mereka. Dan kini menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah dia dianggap seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa? Rasa penasaran membuat dia marah dan merasa dianggap rendah dan hina, maka ia berteriak keras.
"Manusia yang bersembunyi di belakang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut mampus atau menjadi pelayanmu!"
"Bagus! Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!" Wanita aneh itu menjawab, akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya, menggunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung).
Jurus ini adalah jurus ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat indah dan berbahaya, menjadi aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan gerakan ilmu asli dari Thian-liong-pang, yaitu ketika pedang menyambar membacok ke arah muka lawan dilanjutkan dengan gerakan membabat leher dari kanan ke kiri dengan gerakan melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti yang disebut Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang digerakkan dengan tenaga sinkang dan dapat menggetarkan isi dada menghancurkan jantung dan paru-paru!
"Siuuuttt... wirr-wirrr-wirrrr...!"
Wi Siang hanya melihat berkelebatnya bayangan wanita berkerudung itu ke kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia melanjutkan serangannya secara beruntun, yaitu dengan jurus Sian-li-touw-so (Sang Dewi Menenun) dan terakhir dengan jurus Sian-li-sia-kwi (Sang Dewi Memanah Setan). Mula-mula pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar mengurung tubuh wanita berkerudung dan menyerangnya dari arah yang mengelilingi lawan itu.
Wi Siang maklum bahwa lawannya memiliki ginkang yang luar biasa, dapat bergerak cepat seperti terbang, maka ia berusaha mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti yang telah diduganya, wanita itu tiba-tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari lingkaran sinar pedang. Saat ini sudah dinanti-nanti oleh Wi Siang, maka ia lalu menyerang dengan jurus ketiga. Jurus terakhir jurus Sian-li-sia-kwi ini hebat sekali, dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah bayangan lawan yang mencelat ke atas.
Wi Siang amat cerdik. Dia dibatasi hanya sampai tiga jurus. Kalau dalam tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti dia dianggap menang! Inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan untuk menggunakan jurus Sian-li-sia-kwi dalam jurus terakhir karena selagi mencelat di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah, bagaimana wanita itu dapat merobohkannya?
Betapa kaget, heran dan juga girangnya ketika ia melihat lawannya itu agaknya berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah meluncur turun dan menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang melihat pedangnya tepat mengenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia tertawa girang penuh kemenangan.
Tiba-tiba suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemudian sebelum ia dapat memulihkan kekagetan hatinya, tahu-tahu tangan wanita berkerudung telah menotok pundaknya dengan tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa biar pun seluruh anggota dan pimpinan Thian-liong-pang maju mengeroyok sekali pun, mereka tidak akan dapat mengalahkan wanita ini.
"Bangkitlah, Wi Siang!" Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan tangan.
Tiba-tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat bangun, melainkan bangkit berlutut di depan wanita itu sambil berkata, "Saya menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!"
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya benda-benda yang mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang sudah tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan senjata rahasia berbentuk bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian-liong-Pang dan tentu saja dalam mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek merupakan seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang menyambar seperti berlomba menuju ke sasaran masing-masing yaitu tujuh belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita berkerudung.
Namun wanita berkerudung itu memiliki kecepatan yang amat hebat. Betapa pun cepat datangnya senjata-senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih cepat lagi. Hanya tampak tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah lenyap. Ketika orang memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit-langit ruangan itu bagai kelelawar besar bergantungan pada pohon.
Phang Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera melenyapkan wanita berkerudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke arah tubuh lawan yang masih menempel di langit-langit.
"Braakkk!"
Hebat bukan main pukulan itu. Pukulan Hwi-tok-ciang selain amat dahsyat juga mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit-langit ruangan itu jebol dilanda hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi, bagaikan seekor capung ringannya, tubuh wanita berkerudung sudah mengelak dan melayang turun. Ketika tubuhnya lewat dekat tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim sebuah tendangan ke arah dada Phang Kok Sek.
Tingkat kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian dua orang sute-nya yang tewas dan seorang sumoi-nya yang telah dikalahkan lawan. Tendangan itu cepat dan tidak terduga-duga, dilepas selagi tubuh mereka berada di tengah udara. Akan tetapi dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, Phang Kok Sek berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung bajunya saja yang robek kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan betapa lihai wanita itu dan Phang Kok Sek sudah meloncat ke bawah dengan muka berubah.
"Ji-wi Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma-sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang anak buah, apakah kalian masih tinggal diam saja?" Sambil menegur kedua orang suheng-nya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu sebatang tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang tempat duduknya.
Karena wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang-terangan hendak merampas Thian-liong-pang, semenjak tadi memang Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menganggapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan kedudukan dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang-ouw, mereka masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok seorang wanita.
Kini menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar-benar amat luar biasa dan mendengar teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah bangkit dan meloncat ke depan. Mereka tidak memegang senjata dan memang kedua orang kakek ini lebih mengandalkan kepada kaki tangannya dari pada senjata. Biar pun bertangan kosong, namun kepandaian mereka hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih berbahaya dari pada segala macam senjata yang tajam runcing.
Sai-cu Lo-mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung, memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya, lalu berkata, "Nona, engkau masih begini muda telah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang aneh sekali. Bukalah kerudungmu, perkenalkan dirimu dan jelaskan apa sebabnya engkau mengacau di Thian-liong-pang dan membunuh orang-orang yang sama sekali tidak ada permusuhan denganmu!"
Sepasang mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar-sinar dan biar pun mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Mata itu memandang kepada Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang bergantian, kemudian berkata,
"Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian berdualah yang patut menjadi Ketua dan Pimpinan Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa kalian tidak pernah mau menjadi Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa enggan menjadi Ketua dari perkumpulan yang makin rusak oleh sepak terjang anak buahnya! Thian-liong-pang makin bobrok dan kalian tidak mau nama kalian kelak terseret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa pengecut! Betapa pun juga, aku suka kalian membantuku kelak, maka aku tidak akan membunuh kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup kalau kalian ketahui bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin Thian-liong-pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, lebih besar dan lebih kuat dari pada para penghuni Pulau Es. Ada pun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang tidak segan-segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi ketua ini, dia tidak berguna dan akan kulenyapkan..."
"Siluman betina!" Phang Kok Sek sudah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu.
"Takkk!" Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok Seng merasa tangannya bergetar hebat.
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menjadi merah mukanya mendengar ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban untuk menentang wanita ini, bukan sekali-kali untuk membantu demi keselamatan pribadi Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian-liong-pang dan sebagai tokoh-tokoh Thian-liong-pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.
"Wussss... ciattt!"
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah sekali seperti seorang sastrawan yang menjadi botak karena terlalu banyak berpikir dan menjadi buyuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu menyerang telah memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu membuat kedua tangannya seolah-olah berubah menjadi baja tajam yang membelah udara serta mengeluarkan suara mengerikan. Melihat kelihaian kakek gundul ini, diam-diam wanita berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menjadi pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Biar pun keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang Thian-liong-pang, namun kita tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Nirahai. Nirahai, puteri Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apa lagi setelah digembleng oleh mendiang Nenek Maya, tingkat kepandaiannya sudah hebat sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa-apa dan dengan mudah ia dapat mengelak ke kiri di mana dia tahu Sai-cu Lo-mo sudah siap dengan serangannya yang ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.
"Wirrr-wirrr-wirrr... plak-plak-plak!"
Nirahai makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai-cu Lo-mo dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada kedua tangan Chie Kang dan dia maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu karang yang keras! Akan tetapi, Sai-cu Lo-mo lebih kaget lagi karena tiga kali ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari-jari tangan wanita itu dengan kibasan yang membuat dia merasa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa dia telah bertemu dengan lawan yang jauh lebih kuat dari pada dia dan para sute-nya!
"Syuuutt... serrr-serrr-serrr!"
Tombak panjang menyambar dari belakang, menusuk lambung Nirahai disusul meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok Sek menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suheng-nya yang lihai, menyerang dari belakang, bukan hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi (senjata rahasia).
Nirahai menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu tiga buah senjata rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyambar dan berhasil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah pemiliknya!
Sebagai seorang ahli melepas senjata rahasia Sin-seng-ci tentu saja Phang Kok Sek dapat menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya. Gerakannya ini cepat dan indah sekali sehingga tiga batang Sin-seng-ci menyambar lewat di bawah tubuhnya.
Akan tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya meloncat, Nirahai mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang memegang gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar teriakan mengerikan ketika gagang tombak itu menerobos dan menusuk perut Phang Kok Sek sampai tembus ke punggungnya.
Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak bersama tubuh Ketua Thian-liong-pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan otomatis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri yang dilakukan Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang.
Dalam melakukan tangkisan ini, Nirahai sudah mengerahkan tenaga pada telapak tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua orang itu berseru kaget karena tangan mereka melekat pada telapak tangan yang berkulit halus itu, tak dapat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita berkerudung ini sengaja menantang mereka mengadu sinkang, maka kedua kakek itu dengan kedua kaki terpentang lebar cepat mengerahkan sinkang melalui tangan mereka untuk merobohkan lawan.
Terjadilah adu tenaga sinkang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua tangannya terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua lawan, kakinya terpentang sedikit dan tubuhnya tegak. Semua orang menonton dengan hati tegang, mengira bahwa wanita berkerudung itu tentu akan terhimpit di tengah-tengah oleh dua kekuatan raksasa yang amat dahsyat.....
Komentar
Posting Komentar