SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-20


"Cinta adalah penyakit!" Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat ke luar tanpa disadarinya.

"Apa? Cinta adalah penyakit?" Milana berseru keras.

Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat itu. "Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan lain-lain. Ketidak cocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke mana larinya cinta? Ketidak puasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, ke mana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya."

Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri. "Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena kau belum mengenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya."

"Hemm, di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf...!" Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.

"Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta..."

Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan hingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan..."

"Sssstt... ada orang..." Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata di sana muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya kereng dan menyeramkan.

Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,

"Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?"

Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab, "Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintah untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat berharap agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh."

"Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?"

"Srat-srat-sing-sing!" Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.

"Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayang secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andai kata kami tewas sekali pun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggota Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggota setia dari pada anggota yang murtad tidak menurut perintah Ketua."

"Hemm, jadi kalian hendak melawanku?" Milana membentak.

"Bukan melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami."

"Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri," kata Bun Beng.

"Tidak! Aku akan melindungimu dengan taruhan apa pun juga."

"Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!" bisik Bun Beng.

Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.

"Krekkk!" Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambil menjerit kaget.

Orang kedua menerjang, disusul orang ketiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.

Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!

"Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya takkan kuat melawanmu!"

Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh."

Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata, "Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?"

"Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau tinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka."

"Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja nanti!" Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.

"Berhenti!" Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khikang hingga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.

"Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?" Milana bertanya, sedikit pun tidak merasa takut.

Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata, "Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka."

"Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!"

Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata,

"Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu."

Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan. "Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?"

Milana tersenyum. "Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!"

Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biar pun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimana pun, tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andai kata bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.

"Maaf, Nona," akhirnya dia menjura, "Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan menghaturkan terima kasih kepadamu."

"Aku tidak butuh terima kasih Kongcu-mu yang jahat! Minggirlah!" Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya.

Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.

"Prokkk!"

Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.

Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas dari pada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.

"Ayaaa...!" Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.

Melihat ini Milana cepat-cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung!

Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biar pun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andai kata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sinkang sedemikian hebatnya itu.

"Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka," kata Bun Beng yang tak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu agar Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.

"Aku sedang menuju ke sana," jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"

Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.

"Nona, lepaskan pemuda itu!" Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah.

Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!

"Haiiiittt!" Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sinkang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.

"Brettt!" Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan.

Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu telah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek kedua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkatnya.

"Cuat-cuat-cuattt!" Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Milana yang menoleh dan melihat ini menjadi kaget, akan tetapi juga girang sekali. "Ibuku di sana...!" Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju ke atas menara.

Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal.

Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti!

Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.

Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-olah hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami?

Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan jika tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!

Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!

"Ibu...!" Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.

"Locianpwe..." Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.

"Milana! Apa yang kau lakukan ini?" suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung itu penuh teguran. "Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?"

"Ibu... aku... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati..."

"Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!"

"Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah..." Milana berkata penuh permohonan.

"Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia..."

"Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super..."

"Wuuutttt...!" Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.

"Ibu...!" Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.

"Anak setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau buat di Thian-liong-pang, mungkin aku masih dapat mengampunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!"

Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur cepat ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.

"Plak-plak-plak..." Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.

"Ibu... jangan...!" Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar.

Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.

"Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri dari padanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya ke mana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulia seperti Pendekar Super Sakti?"

"Anak setan, lancang mulut, keparat!" Wanita berkerudung itu membentak.

"Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apa lagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locianpwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?"

"Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!" Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.

"Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang lain, apa lagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Locianpwe lakukan!"

Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar, "Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat dari pada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!"

"Ibu! Jangan..., jangan...!" Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.

Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya. "Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?"

"Ibu...!"

"Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya."

"Ibu, harap jangan bunuh dia... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu... bersumpahlah, Twako..."

Bun Beng menarik napas panjang. "Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka."

"Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu."

Melihat sikap puterinya ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.

"Minggir kau...!" Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh.

"Wuuuutttt!"

Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.

"Dessss...!"

"Aihhhh, pukulan apa ini...!" Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang barusan saja tertangkis secara hebatnya dan memandang Bun Beng dari balik kerudungnya.

"Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang mukjizat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!" Dia menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga.

Apa lagi ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan.

Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut.

Akan tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah... Pendekar Super Sakti yang memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!

"Taihiap...! Ah, Taihiap telah menolong nyawaku...!" Bun Beng berkata, terharu, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.

"Bun Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan... ahhh, kau terluka hebat..."

Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. "Engkau terkena pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di atas sana?"

Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke atas.

"Kwi Hong, jangan lancang!" Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas menara!

Bun Beng kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berdebar tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?

Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata, "Di atas tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?"

Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. "Buka bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita," katanya dengan suara halus.

Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,

"Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?"

Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.

"Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?" Kwi Hong mencela dan membanting kakinya. "Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan terluka seperti ini!"

"Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu."

Bun Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi dia dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.

Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!

"Ahhh, engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?" Kwi Hong bertanya.

Bun Beng menjadi bingung. "Aku... aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Dari pada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!"

"Aihhh, pengecut!" Kwi Hong berteriak ngeri.

"Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!" kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. "Betapa pun juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu."

Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa adanya wanita di balik kerudung itu.

Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sinkang-nya yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sinkang seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es ini!

Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya bangun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,

"Aku telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau Neraka..."

"Ohhhh...!" Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. "Paman, bagaimana mungkin kita bisa mengambil ke sana?"

Suma Han menggelengkan kepala. "Tidak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat, biar pun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!"

"Aihhh...!" Kembali Kwi Hong berseru.

Akan tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang memandangnya. "Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biar pun Taihiap tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan."

Suma Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-sia. Akan tetapi, betapa pun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!

"Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh."

"Akan tetapi... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!"

"Coba sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik." Suma Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. "Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari perahu!"

Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka.

Biar pun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apa lagi kalau menghadapi kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana?

Betapa pun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan ketidak setujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan, "Hati-hatilah, Bun Beng...!"

"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kau berikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."

"Suma-taihiap, saya berjanji bahwa jika saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."

"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!"

Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun Beng mendayung perahunya ke tengah. Setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik yang akhirnya lenyap pula.

Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali.

Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolong dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri.

Betapa pun anehnya, betapa pun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci kakek muka kuning itu, biar pun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu. Betapa pun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.

Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka.

Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es?

Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di mana saja dari pada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya.

Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat di mana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.

Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biar pun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!

Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.

"Haiiii...! Orang muda, jangan ke sana... berbahaya...!" Beberapa orang nelayan dari perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng.

Akan tetapi pemuda ini malah tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan.

Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang amat berbahaya.

Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikit pun sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja.

Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah goa. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut goa yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh.

Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mukjizat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh.

Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!

Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki goa itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu!

Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang!

Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.

"Singgg...!" Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja.

Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan biar pun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah sehingga seperti suling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main!

Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!

Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan. "Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang kurang?" Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.

"Wuuuttt... singggg...!" Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!

"Ceppp!" Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.

"Sratttttt!" Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.

"Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sinkang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ketiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus ketiga belas!"

Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan goa dan menimbulkan suara gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.

Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu.....?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)