SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-23


Kwee Sui pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut rayuan cinta kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum pernah sedikit pun mau menghargai sikap manisnya. Kadang-kadang timbul iri hatinya karena mengira bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan betapa sikap Kwi Hong juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda itu, hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali.
Kwee Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan tidak tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan lain adalah Thian Tok Lama yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati Pulau Es di pagi hari itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa diketahui oleh seorang pun penjaga Pulau Es!
Para penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau, akan tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka menyangka ada orang dari kapal yang dapat ‘berjalan’ di atas air seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di bawah kakinya. Apa lagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap.
Melihat seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ, Thian Tok Lama merasa girang sekali. Ia memang ingin menangkap seorang penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di belakang leher Kwee Sui. Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi karena kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan suara!
Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan meluncur dengan ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air!
Kwee Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang dari kapal-kapal itu, tentu seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi. Kalau yang datang itu adalah musuh dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau Es, pikirnya. Apa lagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini menawannya.
Setelah tiba di atas salah satu di antara lima kapal yang mengepung Pulau Es, Thian Tok Lama membawa Kwee Sui langsung kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang berpakaian indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan pengawal di kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan bersenjata lengkap, hatinya menjadi gentar.
Biar pun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada pengalaman bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah menjadi ketakutan. Kalau sebuah kapal saja sudah mempunyai pasukan yang lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu begitu tinggi, apa lagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau Es akan hancur!
Koksu menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan... pemuda ini merasa betapa totokan di tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super Sakti. Tahulah dia bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian lebih tinggi lagi dari pada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan betapa di pantai barat itu sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu.
"Berlututlah engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung Kwee Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini banyak membaca tentang sejarah dan kesusastraan, diam-diam dia ingin sekali menggunakan kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi seorang berpangkat yang dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia hersikap hormat sekali.
"Harap Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa sehingga dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa yang teratur baik.
"Ha-ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun, botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui jendela di ruangan kapal itu. "Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau seperti siluman-siluman sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh, orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan pulau."
"Eh, kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga.
"Hamba memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat ditotoknya, juga andai kata hamba tahu bahwa Losuhu adalah utusan Taijin, bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm, engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan utusanku?"
"Setelah mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan, hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."
Bhong Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm, demikiankah sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan kemudian, sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman berada di pulau?"
"Tidak, Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."
Wajah Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti, tentu mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu akan dapat membantunya dengan baik.
"Siapa yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di sana dan berapa banyak penghuninya?"
"Selain Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu sebelum menjadi penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li."
"Ah-ah! Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.
"Benar, Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa pasukan ke Pulau Es?"
Bhong Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui dan Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu memperlihatkan sikap memberontak. "Kami hendak menangkap Pendekar Siluman dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."
"Ahhhh...!" Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan, kemudian bertanya, hati-hati.
"Maaf, Taijin. Akan tetapi... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau Es?"
"Tak perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh! Bagaimana pendapatmu?"
"Taijin, hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau. Kalau sampai mereka melawan... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga kedua Paman Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang saudara seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona Kwi Hong... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia telah memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."
"Sepasang Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru, yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi mempercayai hamba. Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha, orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."
"Hamba percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es..."
"Hemmm, apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba... hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu... harap dia jangan dilukai apa lagi dibunuh... jika menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba... hamba akan berterima kasih sekali dan selamanya akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."
Koksu itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati pemuda itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat menguntungkan terlaksananya tugasnya karena andai kata tidak ada persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau membantunya demikian mudah.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah, kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kwee Sui sambil membentak.
"Manusia she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina dari pada anjing, setelah segala kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau Es, sekarang pada kesempatan pertama hendak mengkhianatinya! Bedebah!"
Para pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju, akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan dan jangan serang dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui, "Kwee-sicu, siapakah dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa saingannya itu berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang, pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki kapal dengan jalan berenang karena memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.
"Taijin, dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba karena dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman. Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila kepada seorang wanita, telah melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya. "Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada kerajaan. Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi dirampas oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri Ki Lok dan berkata, "Ki Lok, engkau memang sudah bosan hidup. Telah lama ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena di pulau, tidak ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"
"Hemm, manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani bicara besar! Apa kau kira aku takut menghadapi macammu dan para majikan barumu?"
"Tutup mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.
"Tranggggg...!"
Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang dimiliki Ki Lok, namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi, menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok.
Karena Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya lebih lihai dari pada Ki Lok. Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali ginkang-nya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar biasa, membuatnya selalu tenang dan biar pun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di tangan lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang besar maka dia dapat melindungi tubuhnya dengan baik.
Bhong Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat kenyataan bahwa Kwee Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaian para panglimanya, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya. Boleh juga, pikirnya. Pemuda ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat dengan kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi pemuda itu! Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh kawannya sendiri, kawan sepulau!
Pertandingan berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh Kwee Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi nona itu yang diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia sekarang berusaha membunuhnya adalah karena melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar pedang Kwee Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki Lok mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.
"Crat-crat!"
Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda ini terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya tarlempar keluar kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi besar itu tenggelam dan lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang berwarna merah oleh darahnya.
Sejenak Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di depan koksu itu.
"Bagus! Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"
"Perkenankan hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan. Akan hamba coba untuk membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka tidak mau, terserah kalau Taijin hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan membunuh Nona Kwi Hong andai kata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar jangan sampai mereka sembunyikan atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi."
"Baik, Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih dulu."
"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan aman."
"Baik!"
Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biar pun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti, dia bergidik.
Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan kepadanya, hemm... sudah pasti dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak! Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik dari pada ‘mati kering’ di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.
Setelah mendapatkan perahunya, Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong, bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu benar-benar musuh yang berniat buruk.
"Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai aku menyuruh Ki Lok pergi menyusulmu. Di mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya.
"Celaka sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.
"Eh, ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng. "Lekas ceritakan!"
"Lok-te telah tewas mereka bunuh...!"
"Apa...?!" Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang. "Bagaimana terjadinya?" Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.
Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.
"Teecu dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat merayap naik dan selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung Sik Lun mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.
"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.
"Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."
"Pengecut!" Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"
"Oh, tidak... tidak... mana teecu berani? Teecu cuma menyampaikan hasil penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa teecu!"
Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada Kwi Hong sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam. "Bagaimana pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua orang kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.
"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu.
"Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong penuh semangat.
Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman dari pada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas pejuang, cepat berkata, "Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan, ada pun Paman Yap memimpin sisa anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, dari mana pun datangnya. Kebetulan kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau sampai titik darah terakhir!"
Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,
"Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Saat ini kita menghadapi musuh yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."
Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus, "Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat saja, kita akan hancurkan mereka semua!"
"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apa lagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri sekali pun!" Kwee Sui berkata penuh semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian Taihiap."
Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.
"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan mukjizat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."
"Terima kasih... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah, mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau tidak!
Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi, Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai sibuk bekerja memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih.
"Haiiii...!" Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.
"Kwee-kongcu... apa yang sedang kau lakukan itu?" Salah seorang di antara mereka menegur.
Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam. Dua orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam!
Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.
"Li-mo-kiam... hebat...!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali, kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.
Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau itu.
Terjadilah perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biar pun jumlah penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sinkang.
Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sinkang dengan menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih kuat dari pada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang.
Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat saling membantu karena mereka menghadapi musuh masing-masing yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau Tan-siucai.
"Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan pemerintah?"
"Selamanya Pulau Es tak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!" jawab kakek Yap Sun dengan suara kereng.
"Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau melawan."
"Orang muda, engkau berpakaian seperti sastrawan, namun memimpin pasukan! Terang bahwa engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!" Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sastrawan itu.
Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.
"Bagus!" Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam!
Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain jurusan. Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian di mana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.
Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang kedua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh ginkang dan ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mukjizat dari ilmu hitam.
Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat itu. Untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.
Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai dari pada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Im-kang sekuatnya memukul ke pusar.
"Desss!" Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.
"Heh-heh-heh!" Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot!
Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sinkang-nya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling!
Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es. Di antara mereka banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan.
Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apa lagi ketika Kwee Sui berseru.
"Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja, tentu diampuni!"
Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es dingin.
Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biar pun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang amat berat, apa lagi tentu saja pasukan yang dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat!
Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang berlapis perak ini.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona? Pantas... pantas... banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik..."
"Keparat, tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali, segera pedangnya menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.
"Hehhh...!"
Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jeri terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat dipandang ringan, sungguh pun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan kelihatan lemah.
Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pecut kuda yang berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk kuda, apa lagi di waktu dia menyiksa lawan.
Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.
"Tar-tar-tar!" Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong.
"Haiiiittt!" Kwi Hong melengking nyaring.
Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!
"Hehhhh!" Ia mengerahkan sinkang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.
Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa mengirimkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian.
Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama sekali sinkang-nya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa!
Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu!
Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah dari pada melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biar pun koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apa lagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat dengan hati-hati sekali.
Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mukjizat itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini. Akan tetapi dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak Bun Beng.
Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris!
Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.
"Tolongggg...!"
Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata.
"Sahabat, siapa pun adanya engkau... tolonglah... tolonglah cari Taihiap..."
"Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"
"Taihiap... To-cu Pulau Es... katakan... ahhhh, katakan... Pulau Es... diserbu pasukan pemerintah... Koksu Negara... dan si pengkhianat Kwee Sui... pulau kami terancam... aaahhhh..." Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapan tadi.
Bun Beng merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, kemudian mengangkat muka memandang ke pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun!
Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur cepat sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya.
Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau. Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar saja dia telah berada di tengah pulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau.
Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian Tok Lama.
"Sui-ko, bantu aku...!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum.
Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki. "Engkau pengkhianat hina!"
Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.
"Desss!"
Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong, membuat gadis itu langsung roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.
"Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam...?"
"Sudah di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.
"Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."
Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas kapal besar.
Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang telah mengejar sampai ke situ. Tampak Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum mampu merobohkan kakek itu.
"Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.
Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir, menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga terbabat buntung! Pedang mukjizat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!
Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhu-nya, "Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh juga."
"Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat wanita itu lihai juga."
Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tangan kosong.
Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju. "Eh, manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"
Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang dipergunakan Tan Ki.
"Tranggg!" Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan kanannya tergetar.
"Wah, lihai juga...!" serunya.
"Hemmm...!" Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir.
Maharya memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong!
"Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun Beng.
"Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget.
Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.
"Plakkkk!"
Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Maharya.
"Aeeehhhh...!" Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya melayang!
"Serbu...!" Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju.
Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu, sungguh pun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.
"Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"
Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)