SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-33
Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik
tiga kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari
samping dan menyilaukan matanya.
"Tarr-tarrr!"
Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.
"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah. "Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.
"Singggg...! Tarrr... brettt!"
"Hayaaaa...!" Bhong Ji Kun berseru kaget.
Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis secara sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek luar dari Pendekar Sakti Suling Emas! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang dara remaja!
Suara bercuit yang datang dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis.
"Tranggg!"
Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke arah kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh, keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana.
Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!"
Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sinkang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.
"Dessss!"
Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana. Tentu saja Milana yang tentu tidak memperbolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!" Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.
"Brettt... auhhhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak luka dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jeri, bahkan tangannya kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.
"Awas jarum!" teriak Maharya.
Untung dia berseru keras, sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka.
Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biar pun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sinkang-nya tak dapat ia kerahkan.
"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya.
Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana. "Bangkitlah dan duduk di punggungku!"
Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya.
"Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!" katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau peroleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!
"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini sangat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.
Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah Tocu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau lancang mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikit pun tidak kelihatan gentar biar pun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Mau apa kau mencariku?!" Maharya membentak, agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah kau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak akan mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu.
"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya, tetapi akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku kini datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andai kata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya.
Dia bukanlah seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin ia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang prajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para prajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan.
Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biar pun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, sekarang melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka jadi memandang rendah. Apa lagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!"
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya.
Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya dari pada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biar pun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jeri karena maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang.
Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biar pun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah!
Juga sepasang kakinya ‘ada kemajuan’ seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat dari pada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biar pun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun!
Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi, dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana!
Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu!
Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat. Mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sinkang-nya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur...!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!"
Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dari pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.
"Singggggg...!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas...!" Milana berseru kaget.
Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan...!"
Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tertangguh adalah Maharya, kedua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulan Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biar pun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara berkokok seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam kedua dan ketiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, ‘dipaksa’ kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapa pun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkan mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi.
Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan... ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biar pun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biar pun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andai kata tidak berhasil sekali pun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.
"Paman... beritahukan kepada Ibu... mereka tadi... berunding untuk membunuh Ibu..." Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran.
Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak... engkau saja pergi, Paman...," Milana berbisik pula.
Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjak pendekar itu terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan...!"
Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biar pun lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan...!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan!
Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia...!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tidak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran, tetapi hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberi tahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.
"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biar pun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk. Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapa pun tinggi dan mahirnya tingkat ginkang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia pasti akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jikalau Suma Han tidak cepat bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, lalu memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberi tahukan ibunya. Siapa kira ternyata ayahnya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh... mengapa engkau berada di sini...?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemmm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam.
Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberi tahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman justru menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, malah tidak membebaskan diri sendiri yang aku yakin dapat Paman lakukan lebih mudah setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu..." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang ‘bukan apa-apa’ dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan yang baik dan bodoh! Biar pun menggendongmu, apa kau kira aku akan begitu mudah mereka robohkan? Tidak, karena aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, maka terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau saja ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit...!"
"Hmm, kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai berapa hebat lukanya. Cukup kau buka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biar pun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andai kata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekali pun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apa lagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!
"Ini... apakah ini...?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
"Mata kalung ini... burung Hong berbulu hijau... eh... aku... aku pernah melihatnya... di dada seorang... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini...? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwarna merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan semua hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung, "Hemmm..."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini!
Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana..."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.
Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohhh...!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman... jangan... jangan bersedih..."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan juga keharuan yang membayang di wajahnya karena biar pun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!
"Aku kasihan sekali padamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi Tocu di sana. Dan... begitulah... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh..."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia anakku... anak kami... dia telah mengandung saat pergi meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"
Benar saja, pertanyaan ini memang membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau telah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi Tocu Pulau Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula kemudian puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi Tocu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku..."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan sangat canggung..."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata lagi setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi. Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.
"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang kedua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguh pun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sinkang-nya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kau dengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya.
Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitu pun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkrik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkrik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkrik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadang kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkrik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkrik itu mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkrik itu mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut ‘suhu’ kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mukjizat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekali pun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.....
********************
"Tarr-tarrr!"
Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.
"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah. "Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.
"Singggg...! Tarrr... brettt!"
"Hayaaaa...!" Bhong Ji Kun berseru kaget.
Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis secara sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek luar dari Pendekar Sakti Suling Emas! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang dara remaja!
Suara bercuit yang datang dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis.
"Tranggg!"
Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke arah kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh, keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana.
Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!"
Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sinkang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.
"Dessss!"
Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana. Tentu saja Milana yang tentu tidak memperbolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!" Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.
"Brettt... auhhhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak luka dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jeri, bahkan tangannya kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.
"Awas jarum!" teriak Maharya.
Untung dia berseru keras, sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka.
Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biar pun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sinkang-nya tak dapat ia kerahkan.
"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya.
Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana. "Bangkitlah dan duduk di punggungku!"
Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya.
"Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!" katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau peroleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!
"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini sangat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.
Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah Tocu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau lancang mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikit pun tidak kelihatan gentar biar pun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Mau apa kau mencariku?!" Maharya membentak, agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah kau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak akan mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu.
"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya, tetapi akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku kini datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andai kata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya.
Dia bukanlah seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin ia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang prajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para prajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan.
Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biar pun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, sekarang melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka jadi memandang rendah. Apa lagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!"
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya.
Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya dari pada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biar pun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jeri karena maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang.
Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biar pun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah!
Juga sepasang kakinya ‘ada kemajuan’ seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat dari pada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biar pun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun!
Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi, dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana!
Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu!
Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat. Mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sinkang-nya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur...!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!"
Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dari pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.
"Singggggg...!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas...!" Milana berseru kaget.
Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan...!"
Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tertangguh adalah Maharya, kedua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulan Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biar pun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara berkokok seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam kedua dan ketiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, ‘dipaksa’ kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapa pun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkan mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi.
Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan... ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biar pun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biar pun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andai kata tidak berhasil sekali pun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.
"Paman... beritahukan kepada Ibu... mereka tadi... berunding untuk membunuh Ibu..." Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran.
Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak... engkau saja pergi, Paman...," Milana berbisik pula.
Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjak pendekar itu terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan...!"
Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biar pun lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan...!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan!
Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia...!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tidak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran, tetapi hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberi tahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.
"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biar pun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk. Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapa pun tinggi dan mahirnya tingkat ginkang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia pasti akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jikalau Suma Han tidak cepat bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, lalu memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberi tahukan ibunya. Siapa kira ternyata ayahnya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh... mengapa engkau berada di sini...?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemmm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam.
Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberi tahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman justru menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, malah tidak membebaskan diri sendiri yang aku yakin dapat Paman lakukan lebih mudah setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu..." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang ‘bukan apa-apa’ dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan yang baik dan bodoh! Biar pun menggendongmu, apa kau kira aku akan begitu mudah mereka robohkan? Tidak, karena aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, maka terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau saja ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit...!"
"Hmm, kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai berapa hebat lukanya. Cukup kau buka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biar pun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andai kata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekali pun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apa lagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!
"Ini... apakah ini...?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
"Mata kalung ini... burung Hong berbulu hijau... eh... aku... aku pernah melihatnya... di dada seorang... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini...? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwarna merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan semua hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung, "Hemmm..."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini!
Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana..."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.
Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohhh...!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman... jangan... jangan bersedih..."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan juga keharuan yang membayang di wajahnya karena biar pun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!
"Aku kasihan sekali padamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi Tocu di sana. Dan... begitulah... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh..."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia anakku... anak kami... dia telah mengandung saat pergi meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"
Benar saja, pertanyaan ini memang membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau telah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi Tocu Pulau Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula kemudian puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi Tocu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku..."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan sangat canggung..."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata lagi setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi. Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.
"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang kedua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguh pun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sinkang-nya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kau dengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya.
Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitu pun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkrik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkrik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkrik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadang kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkrik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkrik itu mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkrik itu mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut ‘suhu’ kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mukjizat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekali pun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.....
********************
Komentar
Posting Komentar