SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-36


"Lalu sekarang bagaimana dengan pria yang kau cinta itu?"
"Dia... dia pun seperti aku, dia... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm, dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu saja, biar pun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."
Jantung Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan mengaku bahwa suaminya itu mencintanya?
"Dan engkau?"
"Aku? Aku sekarang... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua, yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami mati!" Lulu menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!
"Kresss!" Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini.
Dua orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "Tocu, sekali lagi terima kasih atas pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan seperti yang dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu, biar pun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan anakku kalau dia berkeras."
"Sesukamulah. Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia untuk memberi hajaran!"
"Hemm, kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan membelanya!"
"Hemmm, kita sama lihat saja nanti!"
"Pangcu, kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di tanganku!"
"Itu pun sama kita buktikan saja nanti!"
"Selamat tinggal!"
"Selamat berpisah!"
Tubuh Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan dengan cepat sekali meninggalkan markas Thian-liong-pang. Perpisahan yang aneh antara dua orang wanita yang aneh! Nirahai duduk termenung. Terlalu banyak peristiwa menimpanya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang niat jahat koksu untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang menghimpit perasaannya, membuat wanita berkerudung yang ditakuti lawan atau kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan tangannya.....
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia, pemuda yang berwatak lembut itu mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung-lai-san di Se-cuan, di mana diadakan pertemuan oleh Thian-liong-pang. Setelah selesai mengubur semua jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur.
Dia telah berhasil merampas kembali Hok-mo-kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di antara musuh-musuhnya, yaitu Tan-siucai dan terutama sekali Thai Li Lama. Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia tidak mempunyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Ada pun Thai Li Lama merupakan musuhnya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.
Akan tetapi musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai dari pada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai lagi, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja, karena kurang hati-hati dia terluka.
Ia harus giat melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, terutama yang dia latih di dalam goa rahasia di bawah markas Thian-liong-pang di lembah Huang-ho itu, sebelum dia menghadapi musuh-musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan Hok-mo-kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di samping itu, dia harus mencari pemuda Pulau Neraka yang telah merampas Lam-mo-kiam!
Bun Beng melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan dia terus melatih ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok-mo-kiam untuk melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu! Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh jurus Lo-thian Kiam-sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian-liong-pang sendiri pun tak mampu memainkan seluruhnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di kaki pegunungan Lu-liang-san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju sebab tanah yang kering itu menghamburkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.
Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam-macam bangsa yang dapat dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak di antara mereka adalah orang-orang Han. Akan tetapi melihat cara mereka menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata-senjata pedang yang tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin, Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali. Orang-orang Mongol, Tibet, dan orang-orang Han bersatu dalam sebuah rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang paling ‘tinggi’ karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi apakah?
Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat keterangan bahwa baru saja rombongan itu lewat dan mereka tidak berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemudian malam itu juga melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka tidak berhenti di dalam dusun?
Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam dari pada di sebuah dusun.
Bun Beng terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan-percakapan mereka, dia mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip-hong yang berada di perbatasan Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran Jenghan dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin tertarik, apa lagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana sendiri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya.
Ketika rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan tetapi, rombongan itu besok pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik hatinya karena dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan itu. Tetapi, malam itu ketika ia mengambil keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar percakapan yang benar-benar mengejutkan dan menarik perhatiannya.
Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat ‘api abadi’, yaitu daerah setengah tandus di mana terdapat api yang bernyala-nyala dari tanah dan tak pernah padam selamanya. Tanah di situ sebetulnya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam.
Karena Bun Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biar pun dia tidak berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus membayangi rombongan itu sebab dia ingin menggagalkan persekutuan yang dipimpin oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih-lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan orang-orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip-hong itu merupakan pasukan khusus untuk menghadapi Thian-liong-pang!
Hemm, mereka juga memusuhi Thian-liong-pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk melawan orang-orang Thian-liong-pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian-liong-pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati-matian menyelamatkannya dari bahaya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya, melainkan karena... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!
Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang sunyi, merupakan bangunan-bangunan darurat di luar kota yang jauh dari masyarakat ramai, dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.
Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka mendekati seratus orang yang kesemuanya kelihatan berkepandaian tinggi! Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati pagar, siap untuk meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat puluhan tahun dan tangan kanannya memegang sebatang golok besar.
Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun Beng meloncat ke atas pagar dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu.
Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perlahan-lahan membuka genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan-bayangan orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut-turut. Jumlah mereka delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah. Biar pun gerakan golok pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat kaki dan tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok.
Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu melakukan penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun secara sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa-ketawa laki-laki dan perempuan. Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita-wanita untuk menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng.
Dia memutari bangunan-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah tampak beberapa lidah api bernyala-nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya mencium bau keras, bau minyak! Hmm, bukan air yang berada di sumur itu agaknya, melainkan minyak! Benar-benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun agaknya!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap dan melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang telah dibelenggu kaki tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya bengkak-bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali merintih perlahan. Tampak empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa-tawa geli, seolah-olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.
Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial itu di atas sumur, kepala di bawah kakinya di atas, kemudian mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba sumur. Kaki itu meronta-ronta, terlihat talinya bergoyang-goyang, sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak-gelak, kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana terdengar suara wanita bernyanyi-nyanyi dan orang-orang tertawa-tawa.
Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu, sehingga tidak perlu dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang-orang itu pergi Bun Beng cepat loncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik keluar pencuri sial itu.
Orang itu napasnya sudah empas-empis. Bun Beng lalu mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak-bengkak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak-gerak lirih,
"Persekutuan... hendak membunuh Kaisar... membunuh Pangcu..."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang mata-mata agaknya!
"Engkau anggota perkumpulan apa?"
"Mereka... menyiksaku... aku tidak pernah mengaku... Thian... Pangcu akan dibunuh... auugghh..." Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian-liong-pang, seorang mata-mata Thian-liong-pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan tetapi tertangkap dan terbunuh.
Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia terlambat karena pada saat itu terdengar suara orang dan tampak belasan orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-ember besar.
Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan orang-orang itu dengan ember-ember mereka? Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong-gentong besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong-gentong kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!
"Haiii! Kenapa dia bisa terlepas...?"
"Wah, belenggunya putus semua..."
"Akan tetapi dia sudah mampus!"
"Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia orang terkenal dari Thian-liong-pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati konyol."
"Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan belenggu kaki tangannya dan mampus."
Seorang di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki-laki bertubuh raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul namun mukanya penuh cambang bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, tetapi sikapnya menunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan raksasa itu adalah pembantu utamanya.
"Kubur dia di sudut kosong sana!" Terdengar laki-laki tua kurus itu berkata.
Dua orang menggusur mayat itu, kemudian laki-laki muka pucat itu berkata lagi, "Hari ini kita menimba sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran Jenghan yang harus dikirim besok. Kemudian semua harus bersiap, karena kita hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan secara menggelap."
Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari dalam sumur dan mengisi gentong-gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak khawatir akan disiram minyak! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya?
Orang-orang itu kelihatan pandai, apa lagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orang-orang sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan selanjutnya dari rombongan orang-orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan Thian-liong-pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga sumber minyak!
Untung bahwa Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu bahwa api bernyala kalau bertemu minyak.
Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hok-mo-kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu bernyala itu ke dalam sumur!
"Heiii! Tangkap pengacau!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sambil meloncat pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar.
Pada saat itu Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok-mo-kiam masih terhunus dan berada di tangan kanan. Agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksikan betapa ada suara gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah-lidah api dan asap hitam yang mengantar bau yang menyesakkan napas. Namun, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terdengar teriakan mengerikan ketika tubuh laki-laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala-nyala!
Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal mengerikan itu! Dia tidak bermaksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar hidup-hidup!
Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampaklah berbondong-bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biar pun dia dikepung, kalau hendak meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia menyimpan kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.
Melihat sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Apa lagi karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai orang kurus bermuka pucat itu muncul bersama pembantu utamanya, Si Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari utara.
"Siapakah engkau?" Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian.
"Namaku Gak Bun Beng," jawab Bun Beng sederhana.
"Mau apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata-mata Thian-liong-pang?"
Bun Beng menggeleng kepalanya. "Aku tidak disuruh oleh siapa pun juga, juga tidak mewakili siapa-siapa. Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang-orang yang mengadakan persekutuan!"
Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus itu mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam. "Kulihat engkau masih amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan."
"Bagus! Bagus...! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!"
"Tidak, kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!"
"Biarkan aku menghancurkan kepalanya!"
Si Kurus pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata gagah. "Kita adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw, mengapa bersikap seganas itu? Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi mengeluarkan suara menjerit?"
Tidak ada seorang pun yang tahu. "Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-jangan setan dari mata-mata itu yang..."
"Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!" Si Kurus membentak. "Tentu ada yang berteriak tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?"
Bun Beng mengangguk. "Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini."
Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar sumur, masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!
"Di mana dia sekarang?" Si Kurus bertanya lagi.
"Di dalam sana...!" Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu.
Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat tangannya.
"Apakah engkau yang melemparnya ke dalam sumur?" tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.
"Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur."
Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang terbakar hidup-hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.
"Gak Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk-tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Kedua engkau berani membakar sumur yang kami jaga ini. Ketiga engkau telah membunuh seorang di antara anak buahku. Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Tetapi melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau membunuh begitu saja..."
"Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian-liong-pang itu, ya?" Bun Beng memotong.
"Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggota Thian-liong-pang, musuh kami. Sedangkan engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Kau boleh membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan."
"Hemmm, kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?"
"Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!" kata Si Kurus dan terdengarlah suara orang-orang tertawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang kang-ouw dan liok-lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng di dunia persilatan.
"Siapa di antara kalian yang berani melawan bocah ini?" Pemimpin kurus itu berseru.
Pertanyaan itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada di situ mengangkat tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut menandingi pemuda itu, bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!
"Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah-susah? Agar urusan cepat selesai, suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang, berarti mereka yang berteriak-teriak itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!"
Si Muka pucat ini agaknya senang sekali disebut ‘locianpwe’ oleh Bun Beng, maka kembali dia mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata, "Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Tetapi sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang kedua sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang ketiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kau ketahui sebelumnya bahwa pertandingan ini merupakan pibu (adu kepandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan persoalan yang harus disesalkan."
"Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ketiga di tempat seperti ini cukup terhormat!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak buahku. He, Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!" kata Si Kepala asrama yang kurus itu.
Dari dalam rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki-laki yang membuat Bun Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali, akan tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju yang terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia membungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang bergantung ke bawah itu.
Thai-lek-gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.
"Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?" Ucapan ini disambut suara tertawa di sana-sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu merupakan ejekan.
Bun Beng tersenyum. "Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai-lek-gu, kalau melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai-lek-ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu."
Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai-lek-gu yang menjadi bahan tertawa sehingga dia marah sekali. "Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?"
"Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung siapa!" Bun Beng menggerak-gerakkan cuping hidungnya, "Menurut hidungku, aku tidak mencium kematianku, akan tetapi ada bau-bau tidak enak datang dari tempat kau berdiri!"
Kembali orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka mengejek dan mempermainkan teman-temannya yang tidak berani melawan, maka kini mendengar dia diolok-olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli, biar pun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang lihai. Karena melihat pemuda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya, Thai-lek-gu otomatis juga mencium-cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak-gerakkan, hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar.
Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng. Biar pun tubuhnya gendut sekali akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri hendak merangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk-tekuk dan dipatah-patahkan semua tulangnya!
"Bresss!" Tiba-tiba Thai-lek-gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia membalikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan tersenyum-senyum.
Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai-lek-gu dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di belakang Thai-lek-gu.
Juga Thai-lek-gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari ginkang-nya yang istimewa, bersikap hati-hati dan tidak lagi berani memandang rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi lawan dengan tenang.
Setelah memasang kuda-kuda, mulailah Thai-lek-gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh perutnya, dan tahu-tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga terdengar anginnya mengiuk berulang-ulang.
Bun Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat sampai tidak tampak, tahu-tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat siku.
"Plak! Tukkk!"
"Wadouuhhh...!" Thai-lek-gu berteriak keras sekali.
Ia cepat meloncat mundur, mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan, kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak benjolan sebesar telur ayam!
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Thai-lek-gu menyambar sepasang golok yang dibawakan oleh seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan memang Thai-lek-gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi!
Betapa pun marahnya, Thai-lek-gu ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang tahu akan kegagahan, maka sambil menahan marah, menggerak-gerakkan sepasang goloknya di depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru, “Ayo keluarkan senjatamu!"
Bun Beng tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan orang-orang ini dan biar pun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun dia tidak pula berpihak kepada Kaisar Mancu. Andai kata mereka ini bukan kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau mengganggu mereka. Apa lagi melihat sikap Thai-lek-gu yang masih menghargai kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka.
"Thai-lek-gu, tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu baik hati untuk menyediakannya untukku. Nah, seranglah!"
Thai-lek-gu memandang heran dan ragu-ragu. "Orang muda yang sombong, jangan kau main-main. Sekali sepasang golokku ini keluar, tak akan masuk sarungnya kembali sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!"
"Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kau pinjamkan kepadaku itulah!" Tiba-tiba Bun Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata lawan.
Thai-lek-gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba merendahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas kepalanya dan tiba-tiba Thai-lek-gu mengeluarkan seruan tertahan dan memandang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum-senyum memandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan aneh oleh pemuda itu!
"Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi pinjam golok ini kepadaku, Thai-lek-gu."
Thai-lek-gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja membuktikan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.
"Trang-trang-trang...!"
Tiga kali Si Pendek gendut itu menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana pun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai-lek-gu terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang. Thai-lek-gu terkenal memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut-turut dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai-lek-gu terpental!
Tentu saja Thai-lek-gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan, menyerbu dengan golok diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, kemudian golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai-lek-gu ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan mati-matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi gentar. Dia sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok lawan, sedangkan tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan lawannya dia menotok pergelangan tangan.
"Krekk... dessss!"
Golok di tangan Thai-lek-gu patah-patah. Dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke belakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapa pun diusahakannya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh dan karena lengan kirinya lumpuh, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.
"Maafkan aku dan ini kukembalikan golokmu. Terima kasih!" Bun Beng melempar golok pinjaman itu yang meluncur ke depan.
Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan golok untuk membunuh Thai-lek-gu, akan tetapi golok itu berputaran kemudian meluncur turun menancap di atas tanah di depan pemiliknya.
Tiba-tiba terdengar suara menggereng seperti seekor beruang marah dan tanah seperti tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,
"Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan seperti engkau. Orang muda, majulah kau, mari mulai!" Baru saja menghentikan kata-katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng.
Pemuda ini mengerti bahwa lawannya memiliki tenaga yang sangat hebat, hal ini diketahuinya dari angin sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja bergerak lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Namun alangkah kagetnya ketika tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas, memutar-mutar tubuhnya sambil tertawa-tawa!
"Kiranya tenagamu tidak seberapa hebat, orang muda. Nah, sekarang pergilah kau!" Sambil berkata demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan.
Tanpa dapat dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya meluncur jauh ke depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu ginkang-nya dia berjungkir-balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah lawannya! Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda lawannya itu tahu-tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali sambil bibirnya tersenyum-senyum mengejek!
"Engkau masih belum pergi juga? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!" Gozan membentak dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti otomatis, bergantian dan bertubi-tubi menghujankan pukulan dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng.
Walau pun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan atau tendangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan ke belakang sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan napasnya terengah-engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan serangannya dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata,
"Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu menjauhkan diri? Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!"
"Begitulah kehendakmu? Nah, sambutlah ini!" Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu.
Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga-duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua ekor ular yang menyambar dari kanan kiri dan tahu-tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya! Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala lawannya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan membantingnya ke atas tanah.
"Wuuuttt... brukkk... ngekkk!"
Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi pemimpin ketika menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun Beng dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri?
Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram, dia menggunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan raksasa itu, menggunakan sisa tenaga bantingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan tenaga sinkang-nya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya sehingga dia pingsan seketika!
"Wirr... siuuuuttt...!"
Bun Beng cepat merendahkan tubuh, kaget sekali melihat senjata yang menyambar. Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini benar-benar amat luar biasa. Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek, Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal-usulnya ini, ditambah lagi bahwa senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilihnya sebagai senjatanya.
"Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!" Liong Khek berseru dan menerjang maju dengan senjatanya yang aneh.
Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang ahli silat bersenjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali melihat bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.
"Singgg... siuuuttt...!"
Kembali sinar kecil itu menyambar. Bun Beng cepat mengelak dan mengulur tangan berusaha menangkap tali pancing itu. Tetapi dengan gerakan pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju dan sekarang menggunakan gagang pancingnya sebagai senjata tongkat untuk menusuk lambung Bun Beng.
Pemuda ini mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang-kadang menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya, gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar-benar senjata yang tak tersangka-sangka ini merupakan senjata yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian tentara memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya-tanya. Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-mata, komandan pasukan berkata marah.
"Kalau dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!"
Selosin orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang-orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng.
Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khikang sehingga para pengeroyok itu terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat bergerak. Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu-tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancingnya telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, maklumlah Liong Khek ternyata bahwa pemuda itu tadi hanya main-main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar.
Para pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang naik ke atas pagar sambil menyerangnya.
"Wuuuttt... wirrrrrr...!" Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!
Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak melompat ke luar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan puluhan orang itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.
"Heii, apakah kalian ini anjing-anjing Koksu?" Bun Beng berteriak sambil melompat ke kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.
Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!
"Kami adalah pengawal-pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!" bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang-ouw, tentu pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.
Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak. "Kalau kalian anjing-anjing pengawal dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!"
Kini Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu. Mendengar bahwa pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya. Empat orang anggota pasukan segera roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua orang lagi masih mengaduh-aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang runcing. Namun, orang-orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan-utusan Koksu, mereka tidak mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak-teriak dan mengepung Bun Beng.
Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pancingnya terayun-ayun di tangan kiri. Dia melihat-lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.
Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. "Kepung, jangan biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!" teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Komandan itu menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.
"Crappp!" Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.
"Auuwww... aduuuhhh...!"
Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah pasukan, sekali tangan kiri Bun Beng bergerak, tubuh orang yang terpancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.
"Crepp! Creppp!"
Dua batang tombak panjang itu menembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah sekali Bun Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki, menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia gerakkan berputar sehingga tubuh tentara itu pun terbawa berputaran, kemudian sambil tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling-guling.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)