SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-39


Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus, "Bangunlah...!"
Tubuh yang berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak bergerak-gerak itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit duduk. Wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerahan kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.
"Juwita sayang... jangan takut dan malu, ke sinilah...," kembali Kaisar berbisik.
Muka itu makin menunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah menerkamnya dengan pelukan penuh gairah.
Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka sebagai orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah.
Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar bentakan tertahan sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang di antara para gadis pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula seperti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai.
Bukan hanya ini saja kelengahannya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari tangan yang membalas belaiannya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya! Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-merta meloncat, menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar!
Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, "Siapa engkau sungguh berani mati sekali! Pengawal...!"
"Hendaknya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu." Wanita bermuka putih itu berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.
Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa... apa yang telah terjadi...?" Kaisar bertanya tergagap karena merasa heran dan tidak mengerti.
"Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang bertindak lancang ini. Persekutuan pemberontak telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun tangan membunuhnya."
"Apa...?! Pemberontak? Koksu?! Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh besar...!"
Tepat pada saat itu pula muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang meluncur ke dalam kamar. Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!
Kini barulah Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu. "Aihhhh... lekas ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!"
"Hamba bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini. Pemberontakan direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu beserta kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol dan Tibet. Hamba tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam..."
"Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan penuh kepadamu."
"Akan tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka..."
"Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir, sebentar lagi pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah perintahku!"
Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan tombol di sudut kamar.
Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet Lulu meloncat keluar dari dalam kamar. Sambaran senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok mereka itu berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing... crak-crakkkk!" Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang dua orang Nepal itu, membalas serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han, dan semua thaikam yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok.
Akan tetapi yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki kesaktian luar biasa. Biar pun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak, bahkan kedua tangannya mengembang menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-urat leher putus terkena ‘bacokan’ kedua tangan Lulu!
"Hati-hati, kepung dia...!" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di sudut.
Orang ini berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!
Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas. Dia diam tak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang rendah, sungguh pun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!
Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke bawah sambil bernyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.
Tak tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya. Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan, dan orang ketiga menghantamkan sebuah ruyung!
Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut serangan-serangan itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke depan!
Tanpa disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khikang saking marah tadi. Akibat dari terjangannya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang ketiga langsung terhuyung-huyung mundur ketakutan!
Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah meja!
Orang-orang Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah meninggalkan meja dan meja itu bergerak menerjang ke kanan kiri, melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja, tidak mudah bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan mengandung hawa sinkang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang dilepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu.
Betapa pun juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono dan memandang rendah. Ia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan setiap kali para pengeroyoknya berusaha untuk mengepungnya. Ketika dia berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!
Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut Lulu yang melayang bersama mejanya ke atas loteng, dan disemburkanlah arak dari mulutnya ke arah Lulu.
Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sinkang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular terbang, terus menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.
"Desssss!"
Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!
Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan menyambut pukulan tangan Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
"Plakkk!"
Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus yang amat berbahaya.
Lulu memperoleh ilmu pukulan mukjizat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa beracun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka seperti itu.
Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku seperti kemasukan api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan tamparan mengenai kepalanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam!
Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam kamar peraduan, maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia selalu berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menjadi makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi seorang!
Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir pasukan pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget saat mengenal bahwa yang baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!
"Tangkap Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!" Tiba-tiba kaisar membentak marah.
Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Tetapi setelah kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia.
Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan lancang!" Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan tangan kiri dan lima orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali.
"Biarkan hamba yang menghadapinya!" Lulu berkata lantang, sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan dan tempat yang jauh berlainan dari yang pertama, dua orang wanita sakti ini saling berhadapan!
Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ bersama puterinya? Telah kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha mereka membobol keluar dari kepungan.
Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang. Akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan kaki tangannya kurang kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari taman di belakang istana Koksu.
Mereka lari berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang berlari-lari.
"Milana...!" dia memanggil dengan hati merasa tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di markas dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-liong-pang.
"Ibu...!" Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak enak lagi.
"Apa yang terjadi?" Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis terisak-isak.
Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
"Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun...!" Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu." Milana berkata penuh sakit hati.
"Bagaimana engkau dapat lolos?" Tiba-tiba Nirahai bertanya.
Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng. "Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan kepada Ayah."
"Hemmm..., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak disangka. Milana, sekarang juga kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan, membantu kerajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang bersorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal.
Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah Kaisar untuk membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap menantang!
"Hemm, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi tidak kusangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!" Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.
"Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!" Kaisar berseru lagi ketika dari pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan peristiwa di istana bagian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar lagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak rendah, bersiaplah untuk mati!" Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
"Plak! Plak! Heiiiittt!"
Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga pukulan yang sama!
"Aihh, ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu yang tak tahu malu!" bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu, betapa bodohnya engkau!" Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah halus dan Lulu tersentak kaget.
"Kau... kau... siapakah...?"
Pada saat itu Milana telah menjatuhkan diri, berlutut menghadap kepada Kaisar sambil menangis dan berkata, "Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu hamba...! Thian-liong-pang sama sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat. Para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu... Ibu... selamanya... setia kepada Paduka..."
Milana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, tetapi merasa berduka dan terharu.
Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berkerudung itu dengan bingung. Sekarang wanita berkerudung itu pun menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang.
"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah puteri Paduka yang setia..." Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin itu.
"Suci (Kakak Seperguruan)...!" Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai...!" Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju. "Aihhh... jadi engkaukah yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini... dia anakmu...?"
Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap kemudian berlutut di depan Kaisar. "Harap Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan...”
"...dan dia cucuku! Ahhhhh!" Sang Kaisar menyentuh kepala Milana dengan ujung jari tangannya. "Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, aku serahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpinlah mereka membersihkan pemberontak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?"
"Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan kerajaan." Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan diri berlutut.
Kaisar mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Hemmm..., semua adalah gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apa lagi karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau Es... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!" Nirahai berkata dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi bingung sekali setelah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah suci-nya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti?
"Si keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!"
Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pimpinan wanita sakti ini karena yang mereka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan tetapi, ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan melarikan diri ke utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu. Ada pun Milana tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya.
Berangkatlah pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apa lagi karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!
********************
Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya. Kini bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya. Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan rambut riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang lucu, seperti menari-nari!
"Heh-heh-heh, tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!" Kakek cebol itu lalu mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru gerakan pasukan berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan, "Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya menjadi makin pening! Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sulit diduga apa yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sinkang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka dia pun tidak bergerak dan tidak bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang kalau orang belum tiba saat-nya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi tawanan dan tiada harapan baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apa lagi menolong Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan kekaguman dan rasa suka, tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu menghadapi Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan itu dapat menawannya.
Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid suheng-nya itu!
Setelah kini Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apa lagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu.
Ketika Bun Beng dan Milana bercakap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggulnya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu akan girang kalau dia memberi ‘hadiah’ calon mantunya ini!
Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong, diam tak bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpegang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!"
Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng terbanting ke atas tanah. Akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap berbaring miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.
Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat ia kagumi. Namun betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar kaki buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka!
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu sambil menaruh kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia menggeleng-geleng kepala dan berjalan hilir-mudik lagi.
Biar pun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman!
Akan tetapi, sungguh sama sekali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali. Pendekar kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!
Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
Sekali hidup, siapa minta?
Segala macam peristiwa menimbulkan suka duka, salah siapa?
Apa pun yang terjadi tak mungkin dirubah
Tiada hubungan dengan suka duka, mengapa susah?
Kakek bulan pun tidak selalu sempurna, mengapa kecewa?
Tuhan tidak mengharuskan setan, tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang memang bodoh, tapi yang berduka lebih tolol lagi!

Kini tubuh Suma Han mulai bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. "Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang menonton memang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi bagi yang merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu tertawa. "Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Ehhh, Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat dari pada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kau rasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?"
"Karena aku ada pikiran."
"Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak ada yang menyuruh."
"Nah, jika begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran, apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk selalu memikirkan hal-hal yang menimbulkan duka? Dari pada pikiran dipergunakan secara keliru seperti itu, jauh lebih baik digunakan untuk memikirkan kenapa kita sampai berduka! Sebab sesungguhnya, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!"
"Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas dari pada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?" Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang membuka hati dan pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata kau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nyenyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa lampau. Sungguh kasihan!"
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. "Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!" dan pendekar ini menjatuhkan tubuhnya duduk bersila di atas sebuah batu.
"Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali membuktikan kelemahanmu. Engkau tak mau membuka mata melihat keadaan diriku, tak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan." Kakek itu pun menggerakkan tubuhnya dan....
"Bruukkk!" dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring, mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia menyaksikan, bahkan mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kecewa! Ternyata kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbukalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!" Suma Han menyerang dengan suara mengejek. "Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran yang kau katakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku selama ini, kita manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!"
"Trakkk!" Ujung batu yang diduduki Suma Han dicuwil oleh tangan Si Pendekar yang mencengkeramnya. "Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak senang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!"
"Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukanlah aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang menjadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti kukatakan tadi, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri, karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa mau saja diperbudak oleh pikiran?"
"Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikaruniai pikiran, mengapa tidak akan kupergunakan?"
"Ha-ha-ha, siapa yang mengaruniaimu? Dan siapakah itu yang kau sebut aku yang mempunyai pikiran? Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak kukemukakan, karena semua kesadaran ini kudapat setelah mendengar petunjukmu di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu, bukan bermaksud mengurui. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai dari pada aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah, kakek aneh."
"Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Dengan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan sengsara?"
"Nanti dulu!" kata Suma Han nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. "Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran mula-mula mengemudikan dan menguasai kita."
"Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Takkan terjadi akibat sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran lalu masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain."
"Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin. Memang agaknya tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar sekali! Akan tetapi, apa hubungannya dengan iri?"
"Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja."
"Bagaimana dengan dendam dan benci?"
"Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian ini pun ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebencian kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang. Pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan."
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh kesadarannya, namun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im dan Yang itu membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan? Hemmmm... kedukaanmu?"
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala penghalang yang menutupi dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar.
"Sebelumnya maafkan kalau kata-kataku ini kau anggap tidak tepat. Aku pun hanya seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbulnya duka, bukan? Dan bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?"
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru.
Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun gemerisik ditiup angin, suara jangkrik dan belalang yang mulai berdendang menyambut malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian, melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri.
Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan filsafat yang dimilikinya, untuk melawan ucapan kakek yang selalu mengemukakan fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi digelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu.
Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sinkang, tentu sekali renggut saja akan putus ikatan kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sinkang.
Bun Beng perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan tenaga luar. Tekun sekali dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting melepaskan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini, maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!
"Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda penderitaan batin seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kau dengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?"
Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan hebat itu kemudian membuka semua rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, tetapi sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan semua itu dia pun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tak disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah dilanda kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
"Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan panglima besar untuk menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang karena patah hati, dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau Neraka. Ada pun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?"
Sejenak keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan "Wahh, aku sendiri selamanya tidak berani berurusan dengan wanita, Taihiap. Menurut dongeng, wanita adalah satu-satunya makhluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya makhluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia mau pun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti engkau pun roboh dan merana karena wanita, apa lagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku memikirkannya! Apakah... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya demikianlah."
"Dan engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak dahulu sampai saat ini."
"Huhhh, alangkah mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa mempertimbangkannya, apa lagi memberi nasihat yang harus kau lakukan!"
Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik untuk menghadapi dua orang wanita yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)