SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-42
"Di mana benda-benda itu sekarang?" tanya Nirahai.
"Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dulu dihancurkan. Mengapa, Suci?" tanya Lulu, suaranya penuh tantangan.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian amat tinggi dan sinkang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dia baru datang!" Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.
Nirahai dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan mereka baru terkejut ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.
"Nirahai...! Lulu...! Kalian memang patut dihajar!"
Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang, dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan.
Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apa lagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti tiba-tiba marah-marah, dan mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!
Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya cepat bukan main sebab ia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu bersinar-sinar, dua pipinya kemerahan, wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.
"Singg... wir-wir-wir... siuuuttt...!"
Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar-sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari dua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.
"Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!"
Jarum-jarum yang saking cepatnya sudah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah menembus tubuh Suma Han. Padahal tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han. Kiranya, biar pun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling tubuhnya.
"Ihhhh...!" Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak.
"Ohhhh...!" Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya.
Kedua orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa mereka itu biar pun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga mereka tidak mau menyerang sungguh-sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena ini mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali tidak mengelak atau menangkis!
Mereka maklum bahwa biar pun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekali pun, tak mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapkan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andai kata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!
"Kau... kau mau apa...?" Lulu bertanya, gagap.
"Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?" Nirahai juga menegur, suaranya ketika menyebut ‘Pendekar Kaki Buntung’ menyakitkan hati sekali.
Akan tetapi Suma Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka kemudian terdengar suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.
"Apa yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!"
Nirahai dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap lemah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan kemarahan besar.
"Peduli amat engkau dengan apa yang ingin kami lakukan?" Nirahai balas membentak. "Engkau mau apa kalau kami mencampuri urusan negara?"
"Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku larang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan segala urusan pemerintah!"
"Suma Han, enak saja engkau bicara!" Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. "Nirahai-suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"
Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi tulang di tubuh wanita ini. "Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik angkatku..."
"Aku tidak sudi menjadi adikmu!"
"Aku tahu, biarlah kurubah sebutan itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!"
Lulu membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang masih belum juga dapat dia hilangkan sejak dia masih seorang dara remaja! "Tidak tahu malu! Tak tahu malu...!"
"Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?"
"Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu...! Lucu...! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya.
Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan prajurit-prajurit anak buah Nirahai yang menonton!
"Keparat kalian semua! Pergi dari sini...!" Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para prajurit.
Para prajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguh pun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!
Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, "Kalian pergi! Pergi...! Pergi yang jauh dan jangan ada yang mendekat!"
Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekali pun, karena mereka tahu bahwa sembunyi pun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.
"Nirahai, sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!"
"Tidak sudi!"
"Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, memakai kerudung, menggegerkan dunia kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?"
"Setan! Engkau kira akan mudah saja memaksaku?!" Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya telah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di pinggangnya.
"Lawan saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!" Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.
"Lulu, engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus berada di sampingku untuk selamanya!" kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.
"Apa? Lebih baik aku mati!" Lulu membentak.
"Engkau tidak akan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!" kembali Suma Han berkata.
"Singggg...!"
Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai langsung menerjang maju menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
"Bagus! Memang aku harus menundukkan kalian berdua dengan kekerasan, hal yang semestinya kulakukan sejak dahulu!" Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat!
Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai mau pun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.
Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!
"Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha-ha, jangan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang harus ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai...! Ramai...! Ha-ha-ha!"
Tiga orang itu saling serang dengan hebat. Bun Beng menonton dengan hati gelisah, akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati ketiga orang itu saling bergantian, agaknya ingin melihat pertandingan itu semakin seru dan mati-matian. Lagaknya pun seperti kalau dia mengadu, jangkrik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!
"Locianpwe, bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya." Biar pun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu.
Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.
"Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"
Bun Beng mengerutkan alisnya, dan sekarang dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Namun kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!
"Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tak ada yang lebih suci dari pada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?" Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?
"Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"
"Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!" Bun Beng membentak dan mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang.
Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta! "Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?"
"Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan mau pun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu birahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, di samping keinginan menikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu birahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biar pun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Sebab itulah asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kau agung-agungkan itu!"
Bun Beng masih penasaran. "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apa pun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!"
"Ha-ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kau cinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?"
"Cintaku takkan berubah..." Bun Beng menjawab, akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata, "Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?"
"Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada kepentingan Si Aku masing-masing."
"Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak pada ibunya?" Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, sebab dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?
"Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andai kata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku. Coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?"
"Wah, Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?"
"Memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan."
"Wah, kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!" Bun Beng membantah.
"Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka."
"Haaaiiittt... desss! Desss!"
Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai.
Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin. "Locianpwe yang begitu pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentu sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita maksud teecu?"
Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak. "Hehhh...? Aku...? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!"
"Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"
"Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti kata cinta suci. Kalau tidak demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?"
"Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk menundukkan mereka ini!" Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton.
Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini sebab kini baru dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biar pun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, akan tetapi semua pukulan itu hanya dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu, bukan untuk merobohkan.
Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biar pun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung, sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman dari pada serangan betul-betul, seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apa lagi saling membunuh!
"Cringgg...! Bun Beng, terimalah pedang ini!"
Sebuah tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.
"Kalian benar-benar keras kepala!" Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andai kata mereka hendak mencelakai Suma Han.
Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, "Lepaskan! Lepaskan aku!" Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!
"Tidak akan kulepaskan kalian lagi!" kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.
"Lepaskan aku, kalau tidak, akan kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!" Lulu berteriak, tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.
"Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!" Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.
Suma Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali. "Biar kalian membunuhku, aku takkan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku."
"Manusia tak tahu malu! Apa permintaanmu?" Nirahai membentak.
"Nirahai, engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut bersamaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamimu!"
"Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kau paksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku tidak semestinya kau paksa!" Lulu meronta dan berteriak.
"Kita telah melakukan kekeliruan, biar pun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!" jawab Suma Han, suaranya tegas.
"Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kau cinta? Aku ataukah Lulu-sumoi?" Nirahai menuntut.
"Aku... aku mencinta kalian berdua, dan aku... aku mau menghabiskan sisa hidupku di samping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."
"Aku tidak sudi menjadi adik angkatmu!"
"Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang menjadi isteriku juga."
"Gila! Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?"
"Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun tidak akan sudi ikut bersamanya."
"Nirahai-suci...!" Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan mengandung isak.
"Sumoi, sudah semestinya begini...!" Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis.
Bun Beng yang menonton dan mendengarkan semua ini menjadi terharu bukan main. Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun, kini seolah-olah orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan, atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata,
"Suma-taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!"
"Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat, melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau mengapa murid kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku meminang puterimu yang bernama... eh, Bun Beng, siapakah nama dara yang kau tolong di atas pohon itu?"
Merah muka Bun Beng. Biar pun sinting, kakek ini sudah melakukan hal yang di luar dugaannya sama sekali, maka dia menjawab lirih, "Milana..."
"Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagai mana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?"
Nirahai yang masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma Han, menjawab, "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apa lagi, sih?"
"Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagai mana Suma-taihiap?"
Suma Han mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya... dan hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,
"Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kau bawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!
"Heeiii... Pendekar Siluman...! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga Bun Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya. Khikang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,
"Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Tetapi sewaktu-waktu engkau boleh datang ke Pulau Es...!"
Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali. Semenjak puluhan tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup sengsara." Kakek itu mengangguk-angguk. "Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?"
"Seperti yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana."
"Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berkeliaran di dunia ini? Nah, aku pergi!" Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap dari situ.
"Locianpwe, teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!" Bun Beng mengerahkan khikang-nya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.
Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu. "Ha-ha-ha! Kalau kini kau menghaturkan terima kasih, berarti hutangmu telah terhapus! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!"
Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan terharu. Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya, banyak kebaikan dari pada keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya di atas kepala.
Bun Beng menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang. "Maharya, maafkan aku. Tidak mungkin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kukubur sendiri."
Dia lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andai kata hatinya tidak dikejar oleh keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu!
Di dalam perjalanan menuju ke selatan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan girang, juga tidak mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!
Tentu saja Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan bangsawan amat berbeda dengan kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri lebih dari seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu kejanggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali tidak mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoi-nya sendiri dan yang dia tahu telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia! Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya dari pada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali.
Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang memutar roda penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya, sungguh pun kita tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!
********************
Milana menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja. Kalau tadinya dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok lemas, bukanlah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak ke mana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.
Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang, harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah mendengar, tentu sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman pemuda iblis yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal, atau siapa pun juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta.
Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek sapu tangannya dan melempar-lemparkan robekan sapu tangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.
"Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu." Wan Keng In berkata ketika mereka tiba di puncak.
"Sesukamulah," jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.
"Nah, engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak memaki-maki aku lagi." Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.
"Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kau turunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang harus dipondong saja."
Wan Keng In tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama engkau tidak memberontak." Keng In menurunkan tubuh dara itu, meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.
Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan tenaga untuk memulihkan jalan darahnya. Biar pun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apa lagi di situ masih ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!
"Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) takkan meleset, Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!" Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali melihat Milana tidak memberontak lagi.
"Huhhh...! Perempuan...!" Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong, kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali tidak bergerak lagi seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu pula.
Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti kaku, akan tetapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram keadaannya.
Sementara itu, dengan wajah berseri Keng In telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah, "Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan atau minum sedikit pun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan khawatir!"
Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. "Dia juga tidak pernah makan atau minum selama ini," katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-tanya. Kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan minum sendiri kalau Milana menolak.
"Suhu? Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun."
Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang seperti itu?
"Aku tidak mau makan dan minum," katanya lirih.
"Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung."
Ingin rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.
"Aku tidak bisa makan seperti ini." katanya sambil memandang roti kering itu. "Aku biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak."
"Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan masakan?"
"Tidak peduli!" Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira bahwa dia dapat merongrong pemuda itu, kedua karena timbul harapannya untuk mencari kesempatan meloloskan diri. "Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!"
Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi kemarahannya lenyap ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apa pun juga. Jangankan hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari langit sekali pun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!
"Aihhh... bibirmu itu..." Keng In menghela napas.
Milana yang mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidah untuk menjilati sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sampai dia melongo memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.
"Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!"
"Serrrrrr!" Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap di ulu hatinya.
"Aihhh... matamu... dan bibirmu... ehhh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan semua itu untukmu, Sayang?" Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak, sekali berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai gelap.
Berdebar jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya bernapas pun tidak. Kakek itu seperti arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan menjaga ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.
Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan. Matanya tak pernah beralih dari tubuh kakek yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri dia berjalan perlahan melewati depan kakek dan ia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biar pun cuaca sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu.
Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah bergerak apa lagi menengok. Milana lalu membungkuk, mengambil sepotong batu, dan melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, kemudian matanya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!
Jantung Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang tidur, atau demikian tenggelam dalam semedhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-indap Milana melangkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.
"Aihh, sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku? Lihat, aku memperoleh seekor ayam gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!"
Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira, "Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!"
"Aduh... alangkah kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau memanggangnya untuk kita makan bersama, bukan?"
Milana menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang gemuk itu, kemudian sengaja berkata, "Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku hanya akan kau suruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In, aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik, tetapi kalau permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku tunduk?"
"Wah-wah... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kau panggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?"
Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.
"Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali."
"Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?"
Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya. Keng In tertawa, kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana terdapat dusun terdekat.
Kembali berdebar jantung Milana. Sekarang inilah saatnya, pikirnya. Dia tidak boleh membuang waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia bergidik, kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu membanting bangkai ayam hutan lalu meloncat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.
"Bressss...!" Milana terjengkang dan cepat dia berjungkir balik agar jangan terbanting.
Ketika berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!
"Augghhh...!" Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari lagi.
"Brukkk...!" Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi kakek iblis itu yang ditabraknya.
"Aihhhhh...!" Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek yang menyeramkan itu, namun ke mana pun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek itu!
"Buk-buk-desss!" Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulannya yang disertai sinkang!
Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret. Dengan mata terbelalak dia memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah dari pada seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah telah berubah menjadi arca!
Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan putus harapan serta kecewa. Sekarang dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan meluap. Biar iblis sekali pun, kakek itu sudah menghalanginya untuk lari, menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.
"Iblis tua bangka...!" Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu.
Milana menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke tengkuk, membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sinkang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai pengerahan seluruh tenaganya. Dara yang kecewa ini sudah nekat dan hendak membunuh atau terbunuh oleh kakek itu!
"Plakkk! Bukkk!"
Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh. Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan tenaga dan roboh lemas! Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.
Benar seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk dan cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Wan Keng In muncul, membawa bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!
"Milana kekasihku, inilah permintaanmu... heiii! Mengapa kau?" Pemuda itu meletakkan bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biar pun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat bangun dan menyerang Wan Keng In!
"Brukkkk! Heiiiii... mengapa kau ini...?" Keng In cepat menangkap lengan Milana dan merangkulnya, meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri. "Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau...? Mana daging panggang itu dan kenapa kau tertotok?"
Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya. Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan murid ini.
"Mau tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!" Ingin dia membohong, ingin dia menjatuhkan fitnah kepada kakek yang menyeramkan itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak memperkosanya, akan tetapi karena sejak kecil dia tidak biasa membohong kata-kata ini tidak bisa keluar dari mulutnya.
Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. "Suhu, apakah yang terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?"
"Wan Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan dirinya dihina perempuan! Jika kau suka dia dan dia banyak rewel, paksa saja!"
Milana merasa benci bukan main pada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita itu. Jika dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.
"Aahhh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak melarikan diri maka Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali kau melarikan diri, biar pun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak membunuhmu."
"Aku tidak takut mati!" Milana membentak.
"Huh, perempuan keras hati ini," kembali kakek itu mengomel. "Dan kau mencinta dia?"
"Benar, Suhu. Aku cinta Milana. Aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang tercinta, yang membalas cintaku, oleh karena itu, sangat mustahil jikalau aku harus mengganggu badan atau nyawanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana."
"Huh, agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?"
"Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-liong-pang."
"Huh!" Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.
Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya lantang ketika dia berkata, "Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!"
Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah cepat.
"Brettt-brett-brettt...!"
Milana menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua.....
Komentar
Posting Komentar