SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-29


Pada malam hari ketiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut ketika melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang dipimpin oleh seorang dara remaja cantik jelita dan yang mereka kenal sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan.
Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggota rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersikap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai dari pada sebelum lengan kirinya buntung!
Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai dari pada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang kedua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya karena sambaran tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.
Orang-orang Pulau Neraka yang sedang bertugas menjaga ‘kuburan’ Bu-tek Siauw-jin dan muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah tidak berani mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai. Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah muda yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh ‘ketua’ Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng.
Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau Neraka.
Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!
Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka. Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau meninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembunyi dan tidak menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali.
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir embun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.
"Bagus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupakan sebuah perkumpulan besar yang suka memegang janjinya!" Seorang di antara para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, tangan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata sambil berkata tenang.
"Thian-liong-pang selamanya memegang janji dan sejak dahulu adalah perkumpulan besar yang tiada bandingnya!" Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut. "Memenuhi permintaan para sahabat di dunia kang-ouw untuk mengadakan pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini agar di antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukan manusia lain karena di sini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah datang, apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengadakan pertemuan?"
Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, "Omitohud..., seorang dara remaja yang lembut menyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis muda seperti Nona?"
Milana cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Sering kali dia terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya. Biar pun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak menang sendiri dari perkumpulan yang dipimpin ibunya membuat gadis yang memiliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.
"Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat sembarangan hadir dalam setiap pertemuan, apa lagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak datang memimpin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami mewakilkan kepada kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini."
Hwesio itu mengangguk-angguk, tetapi pada wajahnya yang halus itu masih terbayang ketidak puasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya disambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!
"Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkah pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"
"Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu banyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewakili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!" Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu telah meloncat maju, tangan tunggalnya telah melintangkan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya menakutkan.
Para hwesio itu kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, "Omitohud..., maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona ini adalah puteri Thian-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng adalah Ceng Sim Hwesio, murid kepala dari Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai."
"Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut agar diadakan pertemuan dengan pihak kami." Milana cepat bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biar pun jarang bicara, sekali mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!
"Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain..."
"Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!" Milana cepat membantah. "Sedangkan mengenai urusan dengan tokoh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."
Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, "Tepat sekali ucapan Nona dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak pertemuan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan sekali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!"
"Harap Lo-suhu suka memberi penjelasan!" Milana berkata halus akan tetapi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibunya dicela orang lain.
"Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki tangan Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kegagahan dan berarti sudah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."
Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.
"Kiang-lopek, mundur dan jangan turun tangan sebelum ada perintah!"
Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa membantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggota Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.
"Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah... mungkin kini Siauw-lim-pai bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, perampok-perampok yang berkedok pejuang?"
Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, "Perjuangan melawan penjajah, di mana pun juga di dunia ini, adalah perjuangan kaum patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji memakai dalih apa pun juga. Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pejuang yang kalian anggap sebagai pemberontak, akan tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orang gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri."
Tentu saja hati Milana menjadi panas mendengar ucapan itu, walau pun kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagai mana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah?
Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang memang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok sebab telah menunjukkan kebesaran dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan kejahatan mereka!
"Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak boleh membantu pemerintah membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak permintaanmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rakyat dari pada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak!"
"Kalau begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!" Hwesio bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat.
"Habis, engkau mau apa?" Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di tangan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.
"Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapa pun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!" Milana berkata.
"Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi!" kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.
"Ilmu kepandaian curian semua!" Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.
"Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena itu, karena kami yang menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah selesai!" Milana berkata marah.
"Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-lim-pai!" Ceng Sim Hwe-sio berkata. "Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk saling menguji sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian masing-masing. Biar pun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"
"Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?" Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.
"Trang-trangg...!" Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!
"Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!" Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian bersama enam orang pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan pedang di depan dada dan berkata,
"Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"
"Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita akhiri dengan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan kami kepada Ketua kami."
"Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!" Kemudian dia menoleh kepada para pembantunya, "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya sekedar menguji ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!"
"Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!" Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah menerjang maju.
Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.
"Wuuuut... wuuuutttt!" Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana.
Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemimpin rombongan hwesio itu telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di antara mereka. Milana tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan perlu bekerja terlalu keras!
Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menangkis toya Si Lengan Buntung. Namun lawan ini terlalu lemah baginya dan dalam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat mengelak dan sibuk menangkis dengan sepasang senjatanya seolah-olah di tangan Milana bukan terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.
Sementara itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan lima orang pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di tanah kuburan. Melihat bahwa ternyata anggota Thian-liong-pang yang berada di situ sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.
Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, dibandingkan dengan pertandingan lain di antara kedua rombongan itu. Biar pun lengannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun tidak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersilat dengan amat hati-hati.
Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang kokoh kuat dan boleh dikata di antara semua ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah karena para pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru mereka.
Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biar pun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya, juga tidak kalah lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling asli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.
Ceng Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan mau pun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ketua Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerakan mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio.
Ketika dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu menyambar ke arah toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepasang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan menggunakan kesempatan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempunyai ilmu dahsyat ‘telapak tangan golok’ itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!
Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya sekali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, sepasang ujung lengan bajunya sudah melibat toya, maka jalan satu-satunya baginya hanyalah miringkan tubuh dan menerima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Desss!"
Hebat bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah menerima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggalnya itu amat dahsyat. Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga sinkang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai membacok putus leher manusia!
Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sinkang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwesio itu tergetar hebat dan biar pun dia tidak terluka karena ‘bacokan’ tangan itu dilawan oleh sinkang-nya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.
"Pinceng sudah kalah, perlu apa menodong dan mengancam? Kalau mau bunuh, lakukanlah, pinceng tidak takut mati!" kata Ceng Sim Hwesio yang merasa terhina dengan penodongan toya di atas dadanya itu.
Milana yang sudah merobohkan lawannya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang pembantunya berturut-turut cepat berseru,
"Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!"
Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung toyanya bergerak cepat menotok jalan darah di pundak Ceng Sim Hwesio, membuat hwesio itu mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.
Sementara itu, hwesio muka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggota Thian-liong-pang yang tadi menerjangnya dengan sebatang pedang. Gerakan hwesio ini amat hebat. Begitu memandang, tahulah Bok Sam bahwa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai dari pada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain.
Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal tersisa dia, puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yaitu Su Kak Liong yang masih bertanding seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biar pun dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang bersenjata pedang.
Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke depan membantu Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan berubah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tandingan Si Lengan Buntung, biar pun senjata mereka serupa dan hwesio itu menggunakan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan lagi, toyanya patah menjadi dua dan dia roboh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka pundaknya.
Bok Sam cepat meloncat dan membantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata hwesio kurus bermuka tengkorak itu benar-benar lihai sekali. Permainan kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sinkang yang terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampasnya, akan tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan kebutan dengan sambaran-sambaran ke arah kepala lawan.
Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia menjadi heran sekali ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai, bahkan mendekati ilmu silat dari barat! Setelah kini Bok Sam maju membantunya dan menghadapi hwesio yang bersenjata pedang, Milana mendapat kesempatan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu lawan satu dan dengan mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa, Milana dapat memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tasbih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang seperti seekor burung menyambar ke arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup. Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke tangan lawan! Kini dia sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengirim penyerangan cepat sekali.
"Cringgg!"
Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternyata bahwa tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat! Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung kebutan bergerak cepat sekali seolah-olah ber-ubah menjadi banyak dan mengirim totokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke atas.
"Wuuuuttt... singgg!"
Milana menggunakan ginkang-nya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang dikelebatkan dengan pengerahan sinkang sehingga tasbih yang melilit pedangnya itu terlepas menyambar ke depan, menangkis ke arah kebutan.
"Wuuuut!"
Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya, dan sudah siap untuk menerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.
"Tahan!" Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada. "Siapa engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!"
Hwesio itu tersenyum mengejek, kemudian memandang kepada enam orang hwesio yang semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya membantu dia mengeroyok Milana telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya tegak lurus di depannya, siap untuk menerjangnya. Enam orang temannya sudah kalah semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada tiga orang termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.
"Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, pinceng dan para sahabat ini..."
"Aihh, kiranya engkau seorang pemberontak dari Tibet, bukan?" Milana memotong, dan hwesio itu kelihatan terkejut.
"Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?"
"Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang di antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka urusan antara engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberontak."
"Ha-ha-ha-ha, perempuan sombong! Kau kira pinceng takut...?" Baru sampai di sini ucapannya, terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat, menggerakkan toyanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.
Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangannya yang menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Serangan berbahaya ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih hebat dari pada tadi karena kalau tadi masing-masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!
Milana sudah mengukur tingkat kepandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis menyaksikan kelancangan Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang boleh diandalkan, akan tetapi dia khawatir kalau pembantu ibunya itu bukan tandingan Mo Kong Hosiang yang amat lihai. Biar pun hatinya tidak senang menyaksikan kelancangan dan kekerasan hati Bok Sam, namun karena dia tahu bahwa Si Buntung ini mendahuluinya bukan hanya karena keras hati akan tetapi juga karena menyayangnya menghadapi lawan tangguh, maka di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau membiarkan Si Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap sedia untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.
Kiang Bok Sam bukan seorang bodoh. Begitu terjadi saling serang beberapa jurus saja, tahulah dia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim itu membingungkan hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga hud-tim yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku itu membuat dia sukar sekali menduga gerakan serangan lawan.
Namun dia tidak menjadi jeri dan toyanya diputar amat cepatnya ketika dia membalas dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah hebatnya. Permainan toyanya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang kepadanya memang dahsyat sekali, apa lagi di balik toya ini tersembunyi lengan tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa. Toya ini selain merupakan senjata, juga merupakan semacam kedok yang menyembunyikan senjatanya yang paling utama dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan biasanya akan memandang rendah apabila dia kehilangan toyanya, dan hal ini pun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng Sim Hwesio.
Mo Kong Hosiang maklum bahwa lawan yang berbahaya adalah Si Buntung ini dan nona muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka baru dia mempunyai harapan untuk keluar dari pertandingan dengan selamat. Maka kini melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang rendah. Si Buntung ini memang amat cepat dan kuat sinkang-nya, namun masih jauh kalau dibandingkan lawannya dengan nona muda yang cantik itu. Dia harus dapat mengalahkan lawannya dengan cepat.
Tiba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan melengking hingga terkejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantung. Pada saat itu hud-tim di tangan Mo Kong Hosiang meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan kirinya sudah dilontarkannya ke atas dan kiri tasbih itu meluncur turun ke arah kepala lawan selagi lawan masih terkejut dan berusaha membetot toyanya.
"Sinngggg... tranggggg!" Tasbih itu putus dan runtuh ke atas tanah, kesambar pedang yang dilontarkan oleh Milana. Pedang itu pun runtuh ke atas tanah, akan tetapi telah berhasil menyelamatkan Si Lengan Buntung dari ancaman maut!
Pada saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan Mo Kong Hosiang menganggap hal ini sebagai kemenangan. Dia berseru girang walau pun tadi kaget melihat tasbihnya runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam ke arah lawan. Pukulannya cepat dan keras bukan main sehingga didahului oleh hawa pukulan yang kuat. Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari Tibet ini telah salah menduga keadaan lawan. Disangkanya bahwa Si Lengan Buntung itu hanya mengandalkan toyanya, maka begitu toya terlepas dianggapnya Si Lengan Buntung itu menjadi tidak berdaya dan lemah. Hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok Sam menggerakkan lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.
"Krakkkk...!"
Mo Kong Hosiang berteriak kaget setengah mati ketika pergelangan tangannya terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu bertemu dengan tangan miring lawan.
"Celaka...!" Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung lumpuh karena tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya. Kini dia menggerakkan hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak panah yang besar ke arah Bok Sam!
"Wuuuttt... wirrrr!"
Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa ini telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah di antara senjatanya yang amat lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya! Kini toya itu telah kembali ke tangan pemiliknya yang mengangguk sebagai tanda terima kasih kepada Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya sehingga kalau tidak ditolong Milana, tentu dia akan celaka, setidaknya terluka.
Sambil menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju dan terpaksa dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya buntung, hwesio Tibet ini pun hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.
Maklum bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai ini masih terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi, maka Mo Kong Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, ingin mengadu nyawa dan mengajak lawannya mati bersama! Akan tetapi Bok Sam tentu saja tidak suka nekat seperti lawannya karena dia sudah berada di pihak lebih kuat. Menghadapi terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Desss! Krakkk!"
Hud-tim dan toya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua disusul pekik Mo Kong Ho-siang yang roboh terjengkang karena dadanya terkena pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biar pun dengan sinkang-nya dia masih dapat membuat dadanya kebal, namun getaran hebat membuat jantungnya pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini tewas seketika!
Milana cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam orang hwesio Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu. Ceng Sim Hwesio berdiri dengan muka pucat.
"Ceng Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami membunuh Mo Kong Hosiang bukan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai. Menurut pengakuannya sendiri, dia bukanlah seorang anggota Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai seorang pemberontak. Ada pun Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggota Siauw-lim-pai telah kalah dalam ujian kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah sewajarnya, apa lagi kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah pihak Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu tidak akan memutar balikkan kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai."
Ceng Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang. "Biar pun Mo Kong Hosiang bukan anggota Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang saudara kami, sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya. Tentang urusan antara kita, hemmm... kami sudah kalah, tidak perlu banyak bicara lagi! Selamat tinggal, mudah-mudahan dalam pertemuan mendatang kami akan lebih berhasil." Setelah berkata demikian, Ceng Sim Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil menggotong jenazah Mo Kong Hosiang.
Rombongan Pulau Neraka yang bersembunyi sambil menonton, melihat bahwa biar pun pihak Thian-liong-pang memperoleh kemenangan, akan tetapi rombongan itu tidak meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang anggota yang terluka dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam lagi di tempat itu melakukan penjagaan secara bergiliran.
Kiranya bukan hanya dari partai persilatan Siauw-lim-pai saja yang datang. Pada esok harinya datang pula rombongan orang-orang kang-ouw yang juga mempunyai niat yang sama dengan rombongan Siauw-lim-pai, yaitu mereka menentang Thian-liong-pang yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah menyeleweng dari peraturan kang-ouw, yaitu telah mencampurkan diri dengan urusan politik, bahkan telah mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah.
Betapa pun juga, partai-partai persilatan besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw itu biar tidak secara terang-terangan memberontak atau menentang pemerintah penjajah, namun di dalam hati mereka masih tetap berpihak kepada orang-orang yang memberontak terhadap kaum penjajah. Karena itu, mendengar betapa Thian-liong-pang membantu pihak pemerintah, nnengejar-ngejar pemberontak dan membasmi mereka, golongan kang-ouw menjadi marah dan sengaja menentang Thian-liong-pang!
Setiap hari terjadilah pertempuran di tanah kuburan itu dan karena di pihak Thian-liong-pang terdapat Si Lengan Buntung yang amat lihai dan puteri Ketua Thian-liong-pang yang sukar menemui tandingan, maka pihak Thian-liong-pang selalu dapat menang dan mengusir musuh-musuh mereka dengan alasan yang sama seperti yang mereka kemukakan kepada Siauw-lim-pai. Pihak yang merasa penasaran mereka lawan dengan mengadu kepandaian.
Rombongan Pulau Neraka sekarang mengerti mengapa Bu-tek Siauw-jin, datuk mereka yang aneh sekali wataknya itu memilih tempat ini untuk berlatih! Kiranya kakek yang tidak lumrah manusia biasa itu agaknya sudah tahu bahwa tempat itu dijadikan gelanggang pertandingan oleh Thian-liong-pang yang menyambut musuh-musuhnya, maka dia sengaja memilih tempat itu yang dianggapnya menarik!
Kalau tidak untuk keperluan ini, apa perlunya kakek itu menyuruh belasan orang Pulau Neraka menggotong-gotong peti mati kosong itu sampai ratusan mil jauhnya? Padahal untuk latihan itu, di mana-mana pun ada tanah, di mana-mana pun ada tanah kuburan! Diam-diam para anak buah Pulau Neraka merasa mendongkol sungguh pun tentu saja tidak berani menyatakan ini, karena mereka berada dalam keadaan serba salah, setiap hari harus menyaksikan ketegangan-ketegangan tanpa berani berkutik.
Akhirnya terlewat jugalah jarak waktu sepekan yang dibutuhkan oleh Bu-tek Siauw-jin untuk latihan bersama muridnya! Akan tetapi, tepat pada hari terakhir itu terjadi pula pertandingan antara Thian-liong-pang dan rombongan Hoa-san-pai yang terdiri dari orang-orang pandai sebanyak sepuluh orang! Seperti juga ketika menyambut rombongan Siauw-lim-pai, Milana mewakili ibunya memberi alasan-alasan kuat, dan perbantahan itu berakhir dengan adu kepandaian pula, karena pihak Hoa-san-pai itu adalah murid-murid Thian Cu Cin-jin Ketua Hoa-san-pai yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pertandingan hebat terjadi sampai lewat tengah hari dan berakhir dengan kemenangan pihak Thian-liong-pang. Akan tetapi biar pun orang-orang Hoa-san-pai itu dapat diusir pergi dalam keadaan luka-luka, pihak Thian-liong-pang sendiri kehilangan seorang anggotanya yang terluka terlalu parah sehingga nyawanya tidak tertolong lagi dan tewas tak lama setelah rombongan Hoa-san-pai pergi!
Melihat betapa pihak musuh tiada hentinya datang menantang mereka, Milana merasa penasaran dan juga berduka sekali, apa lagi setelah melihat di pihaknya jatuh korban seorang tewas dan lima orang masih luka-luka.
"Lebih baik kita meninggalkan tempat ini membuat laporan kepada Pangcu," katanya kepada Bok Sam.
"Sebaiknya demikian, Nona. Namun karena kebetulan kita berada di tanah kuburan, sebaiknya kita mengubur jenazah anak buah kita yang tewas itu di tempat ini."
Milana mengerutkan alisnya, tetapi menganggap bahwa memang sebaiknya demikian sehingga mereka tidak perlu membawa-bawa jenazah. "Terserah kepadamu, Kiang-lopek, akan tetapi di tempat jauh dari kota ini, bagaimana kau bisa mendapatkan sebuah peti mati?"
Si Lengan Buntung itu menengok ke kanan kiri yang penuh dengan batu nisan dan gundukan tanah kuburan. "Hemm, banyak tersedia peti mati di sini, mengapa mesti susah-susah mencari tempat jauh? Biar aku mencarikan sebuah peti mati yang masih baik untuk jenazah kawan klta." Si Lengan Buntung ini lalu mengajak beberapa orang anak buahnya mencari kuburan yang masih belum begitu lama sehingga peti mati di dalamnya tentu belum rusak pula.
Tentu saja perhatian mereka segera tertarik oleh gundukan tanah yang masih baru, yaitu kuburan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong! Tanah yang digundukkan di situ baru sepekan lamanya.
"Bagus, ini kuburan baru sekali! Tentu peti matinya pun masih baik. Hayo kita gali dan keluarkan peti matinya!" Bok Sam berkata dengan wajah berseri, berbeda dengan biasanya yang selalu kelihatan muram. Memang dia merasa gembira mendapatkan kuburan yang baru itu, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya karena tanah kuburan itu penuh dengan kuburan-kuburan yang sudah tua sekali.
Setelah berkata demikian, Si Kakek Lengan Buntung ini memelopori anak buahnya, menggunakan tangannya menggempur gundukan tanah dan sekali tangan tunggalnya mendorong, gundukan tanah yang baru itu terbongkar dan tampaklah sebuah peti mati di bawahnya, berjajar dengan sebuah peti mati lain yang masih tertutup tanah. Peti mati yang tampak itu adalah peti mati Kwi Hong!
"Heii, keparat! Tahan...!"
Orang-orang Thian-liong-pang terkejut dan mereka semua melihat dengan mata terbelalak ketika belasan orang Pulau Neraka muncul dari kanan kiri. Benar-benar mengejutkan melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu bermunculan di tanah kuburan itu, tidak ubahnya seperti setan-setan kuburan. Si Lengan Satu yang kehilangan lengan kirinya dalam pertandingan melawan orang-orang Pulau Neraka, segera mengenal musuh-musuh lama ini, maka dia terkejut dan marah sekali.
"Gerombolan Iblis Pulau Neraka! Apakah kalian kembali hendak mengganggu urusan Thian-liong-pang?" bentaknya marah sekali.
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang berkepala gundul bermuka merah muda dan bertubuh gendut pendek, menyeringai ketika menjawab. "Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sudah sepekan kami berada di sini menyaksikan sepak terjang kalian dan kami diam-diam saja. Siapa sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak harum? Akan tetapi kalian berani mengganggu kuburan yang kami jaga, tentu saja kami turun tangan. Kuburan yang satu ini berada di bawah pengawasan kami dan tidak ada seorang pun manusia atau iblis boleh mengganggunya. Jika kalian membutuhkan peti mati, boleh mencari kuburan lain!"
"Kau sudah bosan hidup!" Bok Sam membentak dan langsung menerjang ke depan, disambut oleh Kong To Tek sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara kedua tokoh ini. Ternyata ilmu kepandaian mereka seimbang sehingga pertandingan itu hebat bukan main. Anak buah Thian-liong-pang yang lain sudah pula bertanding melawan anak buah Pulau Neraka.
Perkelahian itu segera terdengar oleh Milana dan anak buahnya, maka dara ini cepat membawa anak buahnya menyerbu dan kembali tempat itu menjadi medan perang kecil-kecilan yang dahsyat sekali. Milana mempunyai rasa tidak suka kepada Pulau Neraka, maka kini melihat betapa orang-orang dengan muka beraneka warna itu bertempur melawan orang-orangnya, dia segera terjun ke medan pertandingan dan sepak terjang dara ini membuat orang-orang Pulau Neraka terdesak hebat.
Bok Sam yang bertanding melawan Kong To Tek merupakan tandingan seimbang dan seru, tetapi Si Gundul Kong To Tek itu mulai terdesak karena lawannya menggunakan pukulan-pukulan Ilmu Telapak Tangan Golok yang dahsyat bukan main. Kong To Tek terkenal dengan ilmunya memukul sambil berjongkok dan dari mulutnya keluar asap beracun. Tetapi karena dia pernah mengacau ke Thian-liong-pang dan kepandaiannya ini sudah diketahui oleh Bok Sam, Si Lengan Buntung dapat menjaga diri dan selalu meloncat tinggi melampaui kepala lawan yang berjongkok itu, kemudian membalik dan melancarkan pukulan-pukulan maut dengan lengan tunggalnya yang ampuh bukan main.
Ada pun orang kedua yang lihai dalam rombongan Pulau Neraka itu adalah Chi Song, tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar dan berperut gendut. Chi Song ini memiliki dua macam ilmu simpanan yang hebat dan pernah pula dia mengacau Thian-liong-pang bersama Kong To Tek dan akhirnya dikalahkan oleh Gak Bun Beng yang pada waktu itu menyamar sebagai Ketua Thian-liong-pang.
Dua ilmu simpanannya itu memang dahsyat, yaitu Ilmu Pukulan Beracun yang amat berbahaya. Jika ia mendorong dengan telapak tangan terbuka, dari telapak tangannya menyambar uap beracun yang dapat merobohkan lawan sebelum pukulannya sendiri mengenai sasaran. Ada pun keistimewaannya yang kedua adalah ilmu tendangan yang dahsyat, yang dilakukan sambil meloncat sehingga dinamakan Tendangan Terbang. Banyak lawan yang dapat menghindarkan diri dari pukulannya yang beracun roboh oleh tendangan dahsyat yang amat cepat dan tidak terduga-duga datangnya ini. Biar pun tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit dibandingkan dengan Kong To Tek, namun Chi Song bukanlah seorang tokoh rendahan saja di Pulau Neraka.
Sial baginya, sekali ini dia bertemu dengan Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang! Betapa pun lihainya, dan biar pun dia telah dibantu oleh tiga orang untuk mengeroyok Milana, tetap saja dia dan kawan-kawannya dihajar babak belur oleh tali sutera hitam yang dimainkan sebagai cambuk tangan Milana! Kalau dara remaja ini menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat menyebar maut di antara rombongan orang-orang Pulau Neraka itu.
Akan tetapi biar pun dia puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal berwatak keras dan ganas, pada hakekatnya Milana memiliki watak halus dan tidak tega membunuh orang kalau tidak secara terpaksa sekali. Dia tidak suka kepada orang-orang Pulau Neraka, akan tetapi karena yang mengeroyoknya hanya orang-orang yang tingkatnya jauh lebih rendah dari padanya, dia tidak mau menurunkan tangan maut, dan hanya menghajar mereka dengan lecutan-lecutan tali suteranya sehingga mereka itu terdesak mundur, bahkan beberapa kali Chi Song roboh bergulingan, pakaiannya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet.
Sepak terjang Milana ini hebat sekali, membuat para anak buah Pulau Neraka menjadi kacau balau. Apa lagi ketika Bok Sam berhasil melukai pundak Kong To Tek dengan Telapak Tangan Goloknya sehingga tokoh gundul Pulau Neraka itu terpaksa mundur untuk mengobati lukanya dan Si Lengan Buntung itu kini mengamuk secara lebih hebat dari pada Milana karena Si Lengan Buntung ini tidak menaruh segan-segan untuk membunuh atau menimbulkan luka parah di antara pengeroyoknya, pihak Pulau Neraka benar-benar terdesak hebat dan hanya main mundur.
Tiba-tiba terdengar pekik dari atas, disusul kelepak sayap dan seekor burung rajawali hitam menyambar turun, langsung mencengkeram ke arah Si Lengan Buntung Kiang Bok Sam yang sedang mengamuk dan menyebar maut di antara orang-orang Pulau Neraka!
"Haiiiitttt!" Bok Sam berseru kaget, cepat melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di atas tanah. Burung rajawali mengejar dan menyambar. Tiba-tiba Bok Sam meloncat bangun, tangan kanannya bergerak memukul ke arah sebuah di antara sepasang cakar yang menyambarnya.
"Desssss!"
Burung rajawali itu memekik keras, tetapi tubuh Bok Sam juga terlempar bergulingan sampai jauh. Kiranya ketika kaki burung itu bertemu dengan pukulan Telapak Tangan Golok, ada sebuah tangan lain yang mendorong ke bawah dengan kekuatan yang amat dahsyat, yang selain menyelamatkan kaki burung itu, juga membuat tubuh Si Lengan Buntung bergulingan. Burung itu hinggap di atas tanah dan dari punggungnya meloncat seorang pemuda yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan sekali. Kemudian burung itu terbang ke atas, hinggap di atas cabang pohon.
Su Kak Liong, tokoh Thian-liong-pang yang melihat betapa hampir saja Bok Sam celaka oleh pemuda dengan burung rajawalinya ini, menerjang maju dengan sebatang golok besar. Pemuda itu sedang berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan terjangan Su Kak Liong dengan golok, juga dia tidak meraba gagang pedangnya yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.
Sikapnya tenang sekali, alisnya yang tebal agak berkerut, matanya bergerak ke kanan kiri, mulutnya tersenyum simpul seperti orang mengejek, namun sikapnya angkuh seolah-olah dia memandang rendah pada semua orang yang berada di sekelilingnya. Golok di tangan Su Kak Liong menyambar dekat, hampir menyentuh lehernya. Tiba-tiba tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, pemuda itu membalikkan tubuh atas, tangan kirinya bergerak menangkap golok yang sedang menyambar, dijepit di antara jari tangannya sehingga golok itu tiba-tiba terhenti gerakannya.
Su Kak Liong memandang dengan mata terbelalak hampir tidak percaya bahwa ada orang mampu menyambut hantaman goloknya dengan jari tangan menjepitnya sedemikian rupa sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan goloknya. Matanya masih tetap terbelalak akan tetapi mulutnya mengeluarkan pekik menyeramkan dan segera disusul menyemburnya darah segar ketika tangan kanan pemuda itu menepuk ulu hatinya dan seketika robohlah Su Kak Liong dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Keparat...! Kau berani membunuhnya? Rasakan pembalasanku!" Bok Sam yang tadi melihat peristiwa ini menjadi marah bukan main.
Biar pun dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali, namun dia tidak menjadi gentar. Kemarahannya membuat ia lupa diri dan dengan nekat dia menerjang maju, tangan tunggalnya diangkat ke atas kepala dengan telapak tangan terbuka, dia sudah mengerahkan tenaga Telapak Tangan Golok dan siap membacokkan tangannya ke arah kepala pemuda itu.
Si Pemuda tetap berdiri dan kini bahkan melongo memandang ke arah Milana yang mengamuk dengan sabuk suteranya, sama sekali tidak mempedulikan makian dan serangan Si Lengan Buntung yang kini menggunakan Ilmu Telapak Tangan Golok sekuatnya itu!
"Plakkk!" ketika tangan kanan Bok Sam itu sudah dekat kepalanya, Si Pemuda tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepala dan menyambut pukulan itu sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat!
Bok Sam mengerahkan seluruh tenaganya, tenaga sinkang yang istimewa untuk ilmu Telapak Tangan Golok-nya. Tetapi betapa pun ia menekan, tetap saja tangan pemuda itu tidak dapat didorongnya, bahkan dia tidak dapat lagi melepaskan tangannya dari telapak tangan Si Pemuda. Kemarahannya memuncak.
Pemuda inilah yang telah membuntungi lengan kirinya, maka tadi dia marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaga untuk membalas dendam dan membunuhnya. Siapa kira kini pukulannya yang istimewa disambut oleh pemuda itu seenaknya saja dan dia tidak mampu menarik kembali tangannya. Dengan kemarahan meluap, Bok Sam lalu menggunakan kepalanya. Untuk menggunakan tangan kiri, dia sudah tidak mempunyai lengan kini, menggunakan kedua kaki, jarak mereka terlalu dekat karena tangan mereka sudah saling melekat, maka satu-satunya yang dapat dia pergunakan untuk menyerang musuh yang paling dibencinya ini adalah menggunakan kepalanya! Dengan menunduk, dia lalu membenturkan kepalanya dengan sekuat tenaga ke arah dada pemuda itu!
Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera dari Ketua Pulau Neraka, murid yang amat lihai dari Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka! Melihat serangan kepala ini, Wan Keng In tetap tenang bahkan dia meloncat sedikit ke atas sehingga kepala lawan tidak mengenai dada, melainkan mengenai perutnya.
"Cappp!" Perut itu mengempis dan kepala itu menancap di perut sampai setengahnya, tak dapat dicabut kembali.
Bok Sam merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, seolah-olah telah memasuki tempat perapian, makin lama makin panas. Dia meronta-ronta akan tetapi karena tangan kanannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu, kepalanya sudah terjepit di rongga perut, yang bergerak hanya pinggul dan kedua kakinya yang menendang-nendang tanah!
"Manusia tak tahu diri, mampuslah!" Pemuda itu menggumam sambil mengerahkan tenaga mukjizat di rongga perutnya.
Terdengar bunyi keras ketika kepala Bok Sam retak-retak oleh tekanan perut yang amat kuat itu dan ketika Wan Keng In melontarkan tubuh Si Lengan Buntung dengan jalan mengembungkan perutnya, tubuh itu telah menjadi mayat dengan kepalanya retak-retak dan berwarna kehitaman!
Semua ini dilakukan oleh Wan Keng In tanpa mengalihkan pandang matanya dari Milana yang masih menghajar orang-orang Pulau Neraka dengan tali suteranya yang meledak-ledak di udara seperti cambuk. Pandang matanya menjadi berseri, mulutnya tersenyum ketika ia melangkah dengan tenang, menghampiri tempat pertempuran itu, seolah-olah dia terpesona oleh gerak-gerik tubuh yang tinggi semampai dan lemah gemulai itu, oleh wajah yang amat cantik manis, bahkan amukan Milana pada saat itu menambah kejelitaan dalam pandang mata Wan Keng In ketika ia melangkah terus makin dekat.
"Aduhai, Nona yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Siapakah gerangan engkau?"
Para anak buah Pulau Neraka yang terdesak hebat oleh rombongan Thian-liong-pang kini menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya Wan Keng In. Terdengar seruan di antara mereka.
"Siauw-tocu (Majikan Muda Pulau) telah datang!"
Ketika mendengar seruan ini, Milana menengok dan kalau tadinya dia terheran mendengar kata-kata yang dianggapnya menyenangkan akan tetapi juga kurang ajar itu, kini dia kaget bukan main. Kiranya pemuda ini adalah Majikan Muda Pulau Neraka! Teringat ia akan cerita Bun Beng kepadanya dan marahlah hatinya. Pemuda ini yang telah merampas pedang Lam-mo-kiam dari tangan Bun Beng. Ketika ia memandang, baru sekarang tampak olehnya bahwa Su Kak Liong dan Bok Sam telah menggeletak menjadi mayat! Tahulah dia bahwa dua orang pembantunya yang paling lihai itu telah tewas, dan melihat munculnya pemuda Pulau Neraka ini, mudah diduga bahwa tentu mereka tewas di tangan pemuda ini.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)