SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-02


Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita ‘Pedekar Super Sakti’ telah diceritakan bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperkosa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya karena panglima itu ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.
"Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?" Suma Leng membantah, akan tetapi ia menjadi cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpancar dari mata.
"Tiada sangkut pautnya katamu?" Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya menghantam permukaan meja.
"Brakkk!" Meja itu pecah-pecah menjadi beberapa potong.
"Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara-gara engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula." Wajah panglima itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri. "Kecuali kalau..."
Suma Leng mendapat firasat buruk. Jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir yang tak lengkap itu keluar perlahan-lahan dari mulut suaminya. Dengan nada yang rendah dan lirih ia bertanya, "...kecuali kalau apa...?"
Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan tahu-tahu ujung pedang di tangan Giam Cu telah menembus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!
Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dadanya yang tertusuk pedang. "Kau... kau...," ia terengah-engah, terhuyung ke belakang.
Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri. "Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)..."
"Ibu...! Ibuuuuu...!" Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari dalam.
Seorang kanak-kanak memiliki perasaan yang sangat tajam dan halus sekali. Apa lagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang mukjizat, meronta dan berlari mencari ibunya!
"Kwi Hong...!" Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
"Ibuuuu...!" Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu memasuki kamar dan berlari menghampiri ibunya.
Tiba-tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya, akan tetapi bocah itu lalu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya.
"Aku mau Ibu...! Lepaskan, aku akan turut Ibu...!"
"Husshh! Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!" bentak Panglima Giam Cu dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.
"Tidakkkk...! Aku mau Ibu... mau Ibu...!" Anak itu meronta-ronta.
"Kwi Hong... Kwi Hong... engkau... engkau hati-hatilah anakku... ohhhhhh!" Suma Leng menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan sesuatu, anak itu menjerit dan menangis sekerasnya.
"Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!" Giam Cu membentak, namun anak itu tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar-benar menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.
Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mereka menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu menerangkan. "Dia membunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana."
Para pelayan mengundurkan diri sambil memondong Kwi Hong dan ramailah berita tentang kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita ini tentu saja terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak diganggu oleh Istana berhubung dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri Nirahai karena orang yang menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!
Akan tetapi, tentu saja penghuni gedung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya majikan mereka sama sekali tidak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam-ciangkun. Namun mereka tidak berani bicara tentang itu. Lagi pula, andai kata Kaisar sendiri mendengar bahwa kematian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam Cu, hal ini bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan Giam Cu!
Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menjelang tengah malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut sekali melihat bayangan orang dalam kamarnya. Cepat ia mendorong tubuh wanita muda yang montok dan hangat itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinya tewas, dan dengan hanya berpakaian dalam ia meloncat turun dari pembaringan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal orang yang berdiri di dalam kamarnya itu, seorang laki-laki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya riap-riapan berwarna putih semua. Suma Han!
Memang benarlah. Suma Han atau Si Pendekar Siluman yang berada di dalam kamar itu. Setelah berhasil menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng tua itu dan menyerahkan anak itu kepada Siauw Lam Hwesio, pendekar ini diam-diam pergi ke kota raja untuk mengunjungi enci-nya dan minta diri karena ia mengambil keputusan untuk pergi mencari Pulau Es dan menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia ingin bertemu dengan enci-nya untuk terakhir kalinya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya mendengar bahwa enci-nya itu telah mati membunuh diri beberapa bulan yang lalu, yaitu beberapa hari setelah ia melarikan Puteri Nirahai dari penjara!
Karena merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han mempergunakan kepandaiannya memasuki kamar cihu-nya (kakak iparnya). Sebelum Giam Cu hilang kagetnya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan sekali totokan membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda yang telanjang bulat itu terbangun dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han menotok sehingga wanita itu roboh lemas kembali ke atas kasur.
Suma Han menatap wajah cihu-nya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang aneh, "Ceritakan sebab kematian Enci Leng!"
Seperti dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi, yang bicara tanpa dapat dicegahnya, "Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada tembus ke punggungnya."
Suma Han memejamkan mata sejenak untuk ‘menelan’ kemarahan yang menyesak dada, lalu membuka lagi matanya dan bertanya, "Mengapa engkau membunuhnya? Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?"
Seperti sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu menjawab, "Aku masih sayang kepadanya... tetapi... aku harus membunuhnya. Itulah jalan satu-satunya bagiku untuk menyelamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena perbuatan adiknya. Aku menyesal... akan tetapi terpaksa...!"
Suma Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuhnya mencelat-celat di atas wuwungan rumah-rumah kota raja meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan kanannya memondong seorang anak kecil yang terbungkus selimut merah tebal. Seorang bocah yang masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih, yang tidur nyenyak tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota raja, bahkan meninggalkan dunia ramai!
Memang, semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena semua orang menemukan Giam-ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri panglima itu lenyap sehingga orang-orang mulai menduga bahwa ini tentu perbuatan Pendekar Siluman, diperkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang melihat laki-laki buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia ramai. Akhirnya Kaisar menghentikan usahanya untuk mencari pendekar ini, juga sudah putus harapan untuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang.
Masih banyak sekali urusan yang lebih penting dari pada hilangnya puteri dari selir ini, terutama sekali urusan penumpasan para pemberontak di Secuan. Setelah berhasil mengadakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang bersaing dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan-pasukan Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan-tekanan di Secuan terus-menerus dilakukan. Pihak pejuang yang melawan kekuasaan pemerintah Mancu melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri Nirahai dahulu, yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang-ouw, kini perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang-orang pandai dari dunia kang-ouw sehingga makin lama pertahanannya menjadi makin lemah.
Memang patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Secuan yang pantang mundur. Bahkan matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruntuhkan semangat perlawanan pasukan Secuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah melakukan perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat dihancurkan dan Secuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya Secuan, berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat menguasai seluruh Tiong-goan.
Ternyata pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijaksana dan ternyata pula bahwa orang-orang Mancu tidak hanya pandai perang, melainkan pandai pula mengatur pemerintahan. Untuk menundukkan semangat perlawanan bangsa pribumi, pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model pakaian diganti dan rakyat dianjurkan bahkan kadang-kadang dengan kekerasan, untuk merobah model pakaian Mancu. Rambut harus dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula larangan membawa senjata tajam.
Namun di samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang menyenangkan hati rakyat. Korupsi dan penyuapan diberantas, kejahatan dihukum keras. Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mulai merasa lega karena biar pun negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih tenteram dan keselamatan mereka terjamin. Terutama sekali karena bangsa Mancu tidak menganggap mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak mengangkut kekayaan di bumi yang dijajah itu ke Mancu, melainkan melebur diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsawan mempelajari kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa jajahannya ini.
Dalam keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai-partai persilatan yang tadinya tenggelam dan menyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi ‘musuh rakyat’ yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandaian mereka, mulailah lagi timbul penyakit lama kaum kang-ouw ini, yaitu berlomba untuk menjagoi di dunia persilatan! Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai semua pusaka-pusaka peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang sakti, mulai memperebutkan pusaka-pusaka untuk memperkuat kedudukan masing-masing agar dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia kang-ouw.
Dalam pandangan kaum kang-ouw ini, pemerintah yang baru mendatangkan kesan baik, maka sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah untuk memperkokoh kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang memang berwatak aneh itu merupakan petualang-petualang yang haus akan ketegangan-ketegangan, maka lebih banyak lagi yang tidak mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti yang ditempuh nenek moyang mereka di dunia kang-ouw.
Lima tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan di dunia kang-ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi perubahan-perubahan yang amat hebat di dalam partai-partai besar. Agaknya partai-partai besar itu selama lima tahun ini sibuk dengan urusan dalam partai sendiri, tentang penggantian ketua, dewan pimpinan dan lain-lain, juga memperkuat kedudukan untuk menghadapi ‘sesuatu’ yang dibisik-bisikkan sebagai hal amat gawat! Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi sesuatu yang sewaktu-waktu akan meledak di dunia kang-ouw! Api dalam sekam yang setiap saat dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah!
Ada terdengar berita bahwa sekarang para tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw mulai mengincar kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan oleh karena bukankah tokoh-tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua orang kang-ouw tahu bahwa perebutan tingkat di dunia kang-ouw tidak kalah ramainya dengan saingan perebutan sebuah kerajaan!
Selama lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian-kejadian amat penting. Pertama adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauw-lim-pai, disusul setahun kemudian dengan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai. Setelah dua orang tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi pimpinan yang ditakuti, maka terjadilah guncangan-guncangan akibat perebutan kekuasaan dan anak muridnya terpecah karena mempertahankan pilihan calon ketua masing-masing.
Di dalam keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan. Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh kerena dia bekas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Hosiang sehingga jarang ada murid Siauw-lim-pai lain yang mampu mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwesio turun tangan melerai, nasihatnya ditaati. Apa lagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya pendiam dan sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksikan perebutan kekuasaan antara saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata-kata dan keputusannya.
"Tidak mau insaf jugakah kalian betapa nama kita sebagai pendeta-pendeta menjadi bahan ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang-orang yang berpakaian seperti pendeta akan tetapi kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah penjahat-penjahat yang menyembunyikan diri dalam pakaian pendeta, tetapi perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama kita. Sekarang, kalian sebagai pendeta-pendeta asli, sebagai hwesio-hwesio murid Siauw-lim-si yang sejak kecil digembleng dengan ilmu dan kebatinan, ternyata masih tidak mampu menguasai nafsu akan kemuliaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan! Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa artinya kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mencemarkan dan memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa malu untuk berpakaian pendeta dan menggunduli kepala. Nah, mulai sekarang biarlah aku tidak menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku pun seorang busuk menyamar sebagai pendeta hwesio!"
Setelah berkata demikian, Siauw Lam Hwesio mengeluarkan ilmunya yang mukjizat. Seluruh tubuhnya menggigil, kulit tubuhnya mengeluarkan keringat dan... di permukaan kepalanya yang gundul licin itu tiba-tiba telah tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Ketika ia menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang menempel di tubuhnya hancur berantakan!
Melihat kesaktian yang hebat ini, para murid Siauw-lim-pai tunduk dan dapatlah kini dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki-laki putera Bhok Kim yang dibawa ke kuil Siauw-lim-si oleh kakek itu kini telah menjadi muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim-si membantu pekerjaan gurunya sebagai pelayan. Semua hwesio di kuil itu sayang kepada Bun Beng, demikian nama anak itu, karena bocah itu amat rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang luar biasa dengan wajahnya yang tampan dan sepasang matanya yang bening tajam.
Sejak peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan rambutnya itu, dia bersama Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian belakang dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu dan lain-lain, dibantu oleh muridnya.
Pada malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan tetapi biasanya wajah gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini jelas membayangkan kemuraman. Kakek itu kini rambutnya telah panjang sampai lewat pundak, jenggot dan kumisnya juga panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti benang-benang perak, dan pakaiannya sederhana sekali.
"Suhu, apakah yang mengganggu pikiran Suhu?" Bun Beng bertanya ketika guru dan murid ini duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka.
Kakek yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw Lam saja, memandang muridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini, dalam pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada di perpustakaan kuil habis ‘dilahapnya’, sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat yang menakjubkan. Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini masih belum mengagumkan hati kakek Siauw Lam, dan yang benar-benar mengagumkan hatinya adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng baru sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti bahwa saat itu dia sedang menderita gangguan pikiran! Bukan main!
Kakek itu menarik napas panjang, lalu menjawab, "Betapa pikiran takkan terganggu kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku? Semenjak dunia berkembang, manusia selalu menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga timbullah hal-hal yang saling merugikan di antara manusia. Kita yang mempelajari ilmu silat, sedikit banyak mempunyai pertalian dengan dunia persilatan. Karena itu mendengar akan keruhnya dunia kang-ouw pada saat ini, mau tidak mau hatiku menjadi pilu dan penuh kekhawatiran akan terjadi bentrokan-bentrokan hebat di antara para pendekar sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang gagah secara sia-sia belaka."
"Apakah yang terjadi di dunia kang-ouw, Suhu?"
Tampaknya memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia kang-ouw dengan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
"Dunia kang-ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang-ouw, baik dari golongan hitam mau pun golongan putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan, yaitu Sepasang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang Siang-mo-kiam tahu-tahu dibongkar orang dan diduga bahwa Sepasang Pedang Iblis yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu telah diambil pembongkar kuburan. Kalau pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas amat dipuja dunia kang-ouw sebagai pusaka-pusaka keramat yang patut dihormat, adalah Sepasang Pedang Iblis merupakan pusaka yang mengerikan dan menakutkan karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti munculnya pula geger dan keributan di dunia kang-ouw. Hal ke tiga adalah berita tentang ditemukannya kitab-kitab warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah bahwa kini pemerintah telah menguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu. Karena pendengaran orang kang-ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat itu adalah sebuah di antara pulau-pulau karang kecil di tengah-tengah Sungai Huang-ho yang sudah dekat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan adanya berita ini, aku menduga bahwa tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu, tentu ramailah Sungai Huang-ho di daerah itu."
"Daerah mana, Suhu?"
"Kabarnya sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, di sebelah timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut."
"Siapa sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah... Pendekar Siluman juga akan hadir?"
Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman berkaki buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada suhunya tentang diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara tentang Pendekar Siluman itu.
"Entahlah, mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang ini di dunia kang-ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki kesaktian luar biasa."
"Seperti Pendekar Siluman?"
Kakek itu memandang muridnya, sinar matanya tersenyum. "Mungkin lebih! Biar pun aku hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian-liong-pang memiliki seorang ketua yang kepandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh-tokoh dari Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti iblis-iblis neraka sendiri. Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia seperti ketua baru Thian-liong-pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja yang sudah keluar ke dunia kang-ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah melihat mereka. Di samping Thian-liong-pang dan pulau Neraka, kini bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau Es!"
"Pendekar Siluman...?" Bun Beng makin tertarik.
"Entahlah. Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada yang tahu pula siapa ketuanya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki kesaktian luar biasa. Apa lagi ketuanya!"
Mendengar penuturan tentang dunia kang-ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun Beng tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah-olah melekat dan tergantung pada bibir gurunya untuk mengikuti gerak-gerik agar jangan ada sepatah pun kata yang terlewat oleh penangkapannya. Kalau gurunya berhenti, ia pun termenung dan pikirannya melayang-layang jauh sekali.
Biar pun Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw-lim-pai yang juga mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak yang benar. Memang telah terjadi hal-hal luar biasa di dunia kang-ouw selama beberapa tahun ini.
Pertama adalah tentang lenyapnya pusaka-pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka-pusaka ini, termasuk senjata keramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang suling emas yang indah, tadinya tersimpan di tanah kuburan keluarga Suling Emas yang terletak di daerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang tokoh sakti yang disegani karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga pendekar itu, juga berkali-kali merobohkan orang-orang yang berusaha merampas pusaka-pusaka itu.
Ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan itu untuk meminjam suling emas guna mempengaruhi kaum kang-ouw, puteri ini pun kewalahan menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok Gu Toan yang setia, yang menjaga kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh pusaka, lebih-lebih dari pada membela nyawanya sendiri! Akan tetapi, geger pertama mengguncang dunia kang-ouw ketika pada suatu hari kakek bongkok Gu Toan itu tanpa terluka terdapat sudah tak bernyawa lagi di depan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa bekas!
Dunia kang-ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik, tetapi pusaka-pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum juga reda, dunia kang-ouw sudah digegerkan oleh guncangan ke dua, yaitu ketika tokoh-tokoh tua menemukan kuburan Siang-mo-kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang Iblis yang diduga berada di dalam kuburan itu telah lenyap. Atau lebih tepat lagi, tidak ada orang yang tahu sebelumnya bahwa Siang-mo-kiam telah tewas, menduga bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas namun Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka, tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain. Dan hal ini berarti BAHAYA!
Telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Super Sakti" bahwa yang mengubur jenazah Siang-mo-kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya, Lulu gadis Mancu. Siang-mo-kiam merupakan sepasang kakek dan nenek yang aneh sekali, dan keanehan itu agaknya terpengaruh oleh Sepasang Pedang Iblis yang memiliki riwayat menyeramkan dan aneh.
Ratusan tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam puteri Pendekar Suling Emas, sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang kakek nenek berbangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali. Karena mereka berdua kalah dalam pertandingan melawan Pendekar Wanita Mutiara Hitam, maka keduanya lalu membayar taruhan mereka, yaitu membuatkan sepasang pedang, masing-masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam.
Cara pembuatan pedang itu luar biasa sekali, bahannya pun dari dua bongkah logam aneh milik Mutiara Hitam. Kedua orang kakek nenek India yang selalu berlomba tidak mau saling mengalah itu, kini berlomba pula dalam membuat pedang. Bentuk pedang serupa karena memang contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu bersaing untuk membuat pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan anak-anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan ‘bumbu’ dalam ‘memasak’ pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan pedang mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengambilnya!
Sepasang Pedang Iblis itu kemudian terjatuh ke tangan dua orang murid Mutiara Hitam laki-laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka yang sebetulnya saling mencinta ini, lalu saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah menjadi ganas sekali dan akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing-masing! Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan Lulu. Kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula Sepasang Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.
Demikian riwayat Sepasang Pedang Iblis yang kini telah lenyap pula. Bagaimana dunia kang-ouw tidak akan menjadi geger karenanya?
Bukan hanya lenyapnya pusaka Keluarga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja yang menggegerkan dunia kang-ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita tentang ditemukannya kitab-kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak kalah hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak mengenalnya? Pendekar Sakti Suling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap manusia dewa itu!
Bahkan banyak tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu ‘turun’ ke dunia untuk membagi-bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh dengannya! Ilmu-ilmu mukjizat yang dimiliki kaum sesat, seperti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab-kitab pusaka peninggalan keluarga Bu Kek Siansu ditemukan, tentu saja dunia kang-ouw menjadi geger!
Kabar terakhir tentang ditemukannya peta yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka dan kitab-kitab oleh pemerintah telah menjadi puncak ketegangan dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih suka menyembunyikan diri di dalam goa-goa rahasia, di dalam pulau-pulau terasing, atau di puncak-puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia.
"Suhu, teecu ingin mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan bertemu dengan tokoh-tokoh sakti!" Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah termenung sejenak.
Kakek Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut, "Ah, apakah kau kira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!"
"Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu dengan orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini."
Kakek itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu. Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, di samping kekerasan hati yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan minggat!
Kakek Siauw Lam lalu menarik napas panjang sambil berkata, "Hemmmm... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh segala bahaya itu."
"Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!"
Bun Beng menjadi gembira sekali, dan cepat membuat persiapan untuk melakukan perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.
********************
Waktu lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia, dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwesio yang kini telah meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya menyaksikan keributan yang terjadi di antara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.
Setelah berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat tahun, puteri dari mendiang enci-nya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ke timur. Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya dan baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki-laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!
"Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik." Berulang kali ia menghibur dengan suara halus dan penuh rasa kasihan teringat akan enci-nya yang telah meninggal dunia. "Lihat, kucarikan buah-buah, kembang...!" Sibuklah dia meloncat dan berlari ke sana-sini, memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
"Ibuuuuu...! Aku mau turut Ibu... hi-hik-hikk...!" Kwi Hong menangis terus tanpa peduli dengan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.
Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk tanpa hasil.
"Aduh, Kwi Hong... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han...!"
Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Alangkah indahnya mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!
"Paman Han Han...?"
Suma Han tersenyum lebar, "Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah ceritakan kepadamu. Aku Paman Han Han...!" Ia tertawa lega, tetapi kembali ia tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi-lagi menangis sedih.
"Ibuku...! Mana Ibuku...? Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!"
Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci bergerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.
"Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!" Suma Han memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong.
Anak itu memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata. "Kelinci cantik...!"
Baru sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main hingga mau rasanya ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi anak itu, kemudian berkata, "Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!"
Kwi Hong suka makan buah itu, apa lagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke pantai laut di mana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.
Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan sering kali dia terpaksa menggunakan kekuatan mukjizatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa. Pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali. Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu.
Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup bahagia.
"Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!" Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
"Paman Han Han, kau bilang apa?"
Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.
"Ah, tidak, Paman tidak bilang apa-apa." kata Suma Han sambil mengambung pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
"Paman tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi... kelinciku lari!"
"Di sini mana ada kelinci?"
"Uh-hu-huk, minta kelinci...!" Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi, maka sekarang pun ia mempergunakan ‘senjatanya’ yang lihai ini!
"Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting... eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?"
"Tidak, tidak mau... hi-hi-hik, mau kelinci!" Kwi Hong menendang-nendangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.
Suma Han menarik napas panjang. "Baiklah, baiklah... eh, rewel benar anak ini." Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya sanggup pasti akan dipenuhinya.
"Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!" Suma Han menggunakan ilmunya yang mukjizat, mempengaruhi keponakannya sendiri.
Seketika Kwi Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih besar di depannya. Ia lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu mengelus-elus kepala kelinci itu dan menarik-narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
"Paman...! Paman Han Han...!" Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas, telunjuknya menuding-nuding ke atas.
"Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung...!" Anak itu kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan menuding-nuding sambil berteriak-teriak.
Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang ke atas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!
"Heran sekali!" serunya. "Burung garuda dan rajawali...!"
"Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu...!" Kwi Hong bersorak.
Akan tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung-burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apa lagi sekarang dua ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di angkasa!
Akan tetapi serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.
"Paman, tangkapkan burung... hi-hi-hik...!" Kwi Hong menangis ketika melihat dua ekor burung itu lenyap.
"Baiklah, jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak mencoba untuk menangkap burung itu." Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pendekar ini meloncat naik ke atas pohon.
Burung garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.
Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, lalu menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, "Sin-eng (Garuda Sakti), kita bersahabat!"
Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya! Melihat ini Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Bagus...! Bagus sekali...! Paman, aku ikut...! Aku ikut terbang naik burung...!"
Walau pun selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, Suma Han tidak merasa takut. Ia hanya khawatir kalau-kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong. "Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu...!"
Akan tetapi, dalam ketakutannya burung garuda itu malahan terbang meluncur, terus membubung tinggi ke angkasa, seakan-akan hendak membawa terbang Suma Han ke bulan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma Han mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke arah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh garuda putih yang ditungganginya.
"Celaka...!" Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan.
"Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!" Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun.
Suma Han menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, "Sin-eng, kejar rajawali itu. Cepat...!"
Agaknya burung garuda itu biar pun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal makhluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan! Tanpa dikomando lagi, burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong.
Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram rajawali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!
"Sin-eng, terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!" Suma Han mendorong kepala garuda.
Garuda itu menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram. Rajawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!
"Sin-eng yang baik, terima kasih banyak!" Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk menolong!
Kwi Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda. "Paman, burung itu nakal...!"
Suma Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biar pun mengalami hal yang begitu menakutkan, namun ia tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana-mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!
"Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!" Berkali-kali Suma Han membujuk, kini tidak lagi ia berani ‘mengemudi’ leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan.
Burung itu terbang terus, cepat sekali, dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapa pun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata, "Bagus...! Bulan bagus...!"
Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih lautan atau daratan!
Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa mereka terbang di atas sekumpulan pulau-pulau di lautan luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini dapat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya.
Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju ke pulau.
Tiba-tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia. Dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab.
Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia mau pun binatang sama saja, yang betina lebih ‘cerewet’!
Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Kwi Hong menggigil kedinginan begitu menginjak tanah yang dingin sekali. Akan tetapi, begitu turun di atas pulau Suma Han tak dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu!
Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!
"Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?" Tiba-tiba Kwi Hong menghampiri den memeluk leher Suma Han yang duduk di atas tanah.
Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit.
Terdengar suara lirih, dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!
"Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang setia!"
"Tapi Ibu...?"
"Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang telah mengantar kita ke sini!"
Suma Han lalu berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja bagi Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah, untuk kedua kalinya Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, dan kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya bocah itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya.
Sepasang burung garuda menjadi jinak. Ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah dan bahan-bahan makanan, juga binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.
Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih!
Hanya satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ sampai mati sekali pun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan Kwi Hong?
Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat-lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.
Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya.
Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon, sedangkan laki-laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san! Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas suci-nya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Ada pun para tawanan yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biar pun dirantai dan dicambuki!
Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri. Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biar pun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapa pun juga, dia harus menolong mereka!
Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.
"Dia... Pendekar Siluman...!" Seruan ini keluar dari mulut wanita muka jambon dan laki-laki muka ungu yang pernah bertemu dengan Suma Han saat mereka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua.
Juga para murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu-san-li bersama tiga orang murid In-kok-san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li.
Bahkan kedua orang datuk In-kok-san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat-beng Ciu-sian-li! Biar pun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi. Kini di antara mereka sudah tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!
Kini burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat besar, setinggi manusia.
"Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw-ong (Rajawali)!" Terdengar seorang di antara anak buah perahu itu berseru dan diam-diam Suma Han menduga bahwa tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau Neraka!
"Pendekar Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu bilang bahwa engkau tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri urusan kami!" Laki-laki muka ungu sudah maju dan menegurnya.
Suma Han yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri tenang mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki-laki muka ungu itu.
"Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini ditawan?"
"Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada hubungan antara To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan seorang di antara tawanan ini? Kalau benar demikian, kami bersedia membebaskannya."
Diam-diam Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak sengaja ia mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka, sekarang hal itu benar-benar telah terbukti. Sekarang dia menjadi penghuni atau majikan dari Pulau Es.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)