SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-13
"Ibu, mengapa Ibu memakai itu?"
Dari dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung, "Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau."
Milana memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak, "Ibu...! Engkau Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu...? Akan tetapi mengapa...?" Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.
"Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!" Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.
Ada pun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yang dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.
Dalam pelayaran ini barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siucai itu tadinya menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melarikan diri membawa pedang pusaka.
"Aihhhh... kiranya dia...!" Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?
"Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?"
"Banyak yang sudah kau ketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang, seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi muridnya Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar."
"Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!"
Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
"Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biar pun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahhh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis."
"Kenapa Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?"
Kembali Suma Han menggeleng kepala. "Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi."
Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya semenjak kecil, yang kedua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan ini memperolah kemajuan yang pesat sekali.
********************
Semenjak jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai sisa kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas, yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di daratan Tiongkok yang kini dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu. Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah ini.
Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok. Menyaksikan kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, biar pun menjadi penjajah, mereka menerima kebudayaan itu dan bahkan melebur diri mereka seperti keadaan para pribumi. Mereka mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya menggunakan bahasa ini sehingga dalam satu keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu dan menganggap bahasa Han sebagai bahasa mereka sendiri!
Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap, pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebudayaan sehingga berhasil menarik pula hati para sastrawan pribumi yang mendapat penghargaan dalam bidangnya.
Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat besar, jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar dari pada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan pembangunan dapat dilaksanakan sebaiknya.
Namun setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri bisa ditumpas semua, Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpaksa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai, Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam negeri untuk memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan dan memperkembangkan kesenian melukis, sastra, dan lain-lain di samping mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai bergerak dan memberontak terhadap pemerintah Mancu.
Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur, bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun harus diakui bahwa kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini.
Akan tetapi, setelah bangsa Mancu berkuasa dan membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mongol sebagai bangsa serumpun dan setingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecenderungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu menjadi makin erat hubungannya dengan rakyat, sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat dahulu. Maka bangsa Mongol merasa makin lama makin tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bangsa Mancu.
Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya. Sehingga begitu Secuan sudah dijatuhkan, kembali pemerintah Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pemberontakan yang besar dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, namun juga tak dapat dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhubung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol.
Kembali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pula yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan itu mereka pergunakan untuk melawan penjajah. Akan tetapi karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting cerita ini yang berdiam di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepuluh tahun itu kita lewati saja.
Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bahkan banyak pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan negaranya.
Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan ‘perang’ sendiri, menggunakan kesempatan selagi pemerintah kurang memperhatikan keadaan mereka karena pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol. Pula, pemerintah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan kepada kaki tangan mereka yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para pembantunya yang lain!
Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah menjadi jeri kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh berkerudung yang memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan merasakan kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya!
Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat menggabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara tetangga yang takluk dan mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan banyak tentangan. Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menjadi ‘anak buah’ Thian-liong-pang!
Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang tetap tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat munculnya orang dari Pulau Es, bahkan mendengar berita pun tidak, karena Pulau Es agaknya sudah memutuskan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-tahun.
Di antara partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita itu, Siauw-lim-pai sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula. Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan orang-orang Thian-liong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang keras disiplin di antara anak muridnya, dengan bijaksana dapat memadamkan bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang melakukan pelanggaran.
Pada waktu itu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar berusia lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biar pun tubuhnya tinggi besar menyeramkan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, kitab-kitab kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi dan sukar sekali dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya.
Ketika Kian Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan menurut kepercayaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat menguasai sebagian dari isi kitab-kitab suci dan rahasia itu. Sungguh pun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi dari pada mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.
Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang mempunyai kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apa lagi ketika mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng, segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat bakat yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak ini ‘berjodoh’ dengannya, maka dia lalu mengambil Bun Beng sebagai murid. Selama delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.
"Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kau nanti-nanti dan baru sekarang pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk meluaskan pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini yang pinceng adakan," kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila di hadapan muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya selalu melarang dan mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.
"Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali."
Hwesio tua itu mengangguk dan tertawa. "Pinceng tahu dan tidak menyalahkanmu. Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali untuk berkelana di dunia ramai. Kepandaianmu telah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui belum kuajarkan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan melampaui aku."
"Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu."
"Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari pinceng, sudah menguasai ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan ini, semua ilmu yang kau kuasai itu hendak kau pergunakan apakah?"
Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk apakah dia mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang pertama, yang juga terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,
"Ilmu yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan untuk mencari musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di tangan mereka!"
"Omitohud..., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan melarangmu meninggalkan kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu."
Bun Beng terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya menyentuh lantai sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk Suhu bagaimana baiknya."
Hwesio itu tertawa. "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan kepadamu itu hanya akan kau pergunakan untuk membunuh orang, hanya untuk membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkannya. Tidak, Bun Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh dipermainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?"
Bun Beng tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apa lagi setelah ia mendengar kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat! "Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa."
"Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah engkau juga akan mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kau balas dan bunuh pula?"
Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa ragu-ragu ia menjawab, "Agaknya begitulah!"
"Baik, sekarang kau balaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?"
Biar pun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya sudah kuat sekali, tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, penuh pemasrahan kepada suhu-nya.
"Omitohud...! Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil pertimbangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua mau pun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka itu dikarenakan perbuatan mereka yang jahat? Andai kata orang tuamu menjadi penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau juga lalu mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya, karena engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah, karena engkau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapuskan dendam dari hatimu, sedikit pun tidak boleh ada sisanya. Jika kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan karena mereka orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas dendam."
Bun Beng cepat memeluk kaki gurunya. "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi seperti buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah Suhu."
"Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh. Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar dari pada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?"
"Baik Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu."
"Hemm..., kalau sampai kau langgar, agaknya pinceng sendiri yang akan turun tangan menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."
Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata lagi.
Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong. Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po- cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhu-nya karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat! Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri, kalau dia mempergunakan ilmu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu akan dapat menandinginya!
Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya dia bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ketika mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan! Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini tidak terdengar lagi.
Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya kemudian mereka itu dibebaskan kembali? Apa yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlampau jauh, maka dia akan lebih dulu menyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan melanjutkan perjalanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa gangguan.
Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenyataan bahwa tangis itu adalah tangis seorang wanita yang ditahan-tahan, suaranya seperti tertutup bantal. Dia menjadi bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita?
Dia sudah memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis. Karena suara isak tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia melayang ke atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginapan. Dia membuka genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan tetapi baru saja dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali menyambar ke arah lubang genteng!
"Ciut-ciut-ciut!" tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.
"Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!" terdengar suara wanita memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusukan ke arah dada Bun Beng.
"Wuuuttt... plakkk!"
Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya, akan tetapi sia-sia. Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang sambil memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti tadi, gadis itu melihat tiga batang piauw-nya berada di tangan kiri pemuda itu. Celaka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Mau apa lagi? Bunuhlah aku!" tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
"Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!"
Nona yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu membentak, "Siapa mau percaya?"
Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan tiga batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung lengan bajunya, dan berkata, "Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kananku? Bukankah kata orang, lengan kanan semua anggota Thian-liong-pang dicacah dengan gambar naga kecil?"
"Huh!" Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang halus itu sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sinkang yang demikian hebat, "Kalau bukan anggota Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!"
Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. "Aihhh! Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih, engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"
"Kalau bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta membuka genteng kamar orang dan mengintai ke dalam?" Gadis itu menyerang dengan kata-kata, sungguh pun dia sendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang penjahat.
Bun Beng tertawa. "Salahku... salahku...! Puas kau sekarang?!" Dia menunjuk hidung sendiri. "Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingin sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terjadi, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahhh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, engkau menyangka aku orang Thian-liong-pang..."
Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!
"Eh, eh, bagaimana ini...? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasaanmu?"
Gadis itu masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat bangun, merasa tidak pantas menyentuh tubuh seorang gadis. "Eh, eh... Nona. Bangkitlah, jangan begitu...!"
"Mohon maaf atas kesalahanku tadi... dan mohon pertolongan Taihiap yang memiliki kepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku...."
"Aku bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku berjanji akan menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara."
Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.
"Nah, ceritakanlah apa yang terjadi," kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajahnya, wajah manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.
"Namaku adalah Ang Siok Bi..."
"Nama yang bagus..." Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu memandangnya tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka teringatlah ia betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum memandang wajah yang manis.
"Eh, maksudku... teruskan ceritamu, Nona Ang..." Sambungnya cepat-cepat dan gugup.
"Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-pai..."
"Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang hormat...." Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
Siok Bi, gadis itu, biar pun baru berusia delapan belas tahun, namun dia sudah banyak merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali tidak mempedulikan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksikan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemuda ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan sedang mempermainkannya!
"Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur tangan menolong orang yang sedang tertimpa mala petaka ataukah seorang dari kaum sesat?"
Bun Beng yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis, menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sadar akan sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala gundul, sama sekali tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?
"Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"
"Pandang matamu itulah!" Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi merah. Betapa pun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas dari pada sifat wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apa lagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!
"Pandang mataku? Aihhh... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!" Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
"Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi." Gadis itu berhenti bercerita.
Bun Beng yang masih memejamkan mata itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara, "Hmmm...!" Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
"Mengapa diam?"
"Agaknya Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak sudi menolong, aku... aku pun tidak mau memaksa." Suara itu terdengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah berlari pergi!
Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi. "Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu."
Diam-diam Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata, "Aku bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana... enak hatiku?"
Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, "Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kau anggap aku tak peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"
Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu Bun Beng bicara sungguh-sungguh, tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu ‘nakal’ dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan.
"Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"
"Hemmm, sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang tersenyum. "Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."
"Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?"
Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang membebaskan Ayah. Akan tetapi... ah, akan makan waktu lama, mungkin terlambat... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat kuat itu."
"Ke mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"
"Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara..."
"Aku akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.
Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak, "Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan ikut, kau tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"
Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia menarik napas panjang. "Hebat dia...!"
Kemudian ia pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia membayangkan wajah tampan yang bibirnya selalu tersenyum dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.
Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia gunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang hingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput, seolah-olah tidak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!
Namun karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya menjelang senja barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng di mana yang tampak hanya sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat dari pada papan tebal dan beroda dua.
Bun Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.
Saat memperhatikan empat orang itu, diam-diam Bun Beng terkejut. Ternyata memang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikap mereka menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang kedua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang. Biar pun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara mereka langsung membentak,
"Bocah sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?"
"Minggir kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!" Orang kedua membentak pula.
Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah kerangkeng, dia bertanya, "Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?"
"Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-liong-pang!" Kakek di kerangkeng itu berkata.
"Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas menggelinding pergi?"
Bun Beng dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kedua orang kakek kembar yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata, "Sebenarnya aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!"
Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke sekeliling mereka. Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apa lagi setelah mereka memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka menjadi makin hati-hati karena hal itu hanya menandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.
"Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bicara dengan mereka!" Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng, dan kakek bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya si orang muda menjaga kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi.
Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat sepasang kakek kembar yang menghadapinya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah tingkatnya!
Bun Beng tertawa dan berkata, "Mau berkenalan dengan empat orang sahabatku? Awas, mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan mereka robohkan dengan mudah!"
"Tak perlu banyak menggertak!" Bentak kakek kembar kedua, akan tetapi tidak urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak gentar. "Lekas suruh mereka keluar!"
"Mereka sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?"
Kini kedua kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jeri. Kalau ada empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis. Teringatlah mereka akan orang-orang Pulau Neraka, musuh utama mereka yang mereka takuti, akan tetapi pemuda ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan anggota Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!
"Bocah, jangan main-main engkau!" Seorang di antara mereka membentak.
"Inilah mereka!" Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan.
Muka kedua kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan karena kepala mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!
Akan tetapi sebagai anggota-anggota Thian-liong-pang yang banyak pengalaman, menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka melangkah maju dan menegur.
"Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa yang telah kau perbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!"
Bun Beng menggelengkan kepala. "Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang akan kalah, dan andai kata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!"
"Keparat!" Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan senjatanya yang aneh dan kiranya senjata gelang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan, digerakkan secara cepat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih bertolak pinggang.
"Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam," kata Bun Beng. Dengan mudah ia mengelak ke kanan dan biar pun matanya melirik ke arah orang di depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek kedua yang telah melompat ke belakangnya.
Ketua Bu-tong-pai yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu menjadi gelisah sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak tekenal yang jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggelisahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong.
Sudah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada tokoh yang dibunuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya sungguh pun ada hal yang lebih hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih hebat dan penting dari pada keselamatan dirinya, yaitu keselamatan nama besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu sembrono dan berani mati mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau nanti melihat pemuda itu roboh dan tewas di depan matanya.
"Orang muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!" teriaknya ketika melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang dengan dahsyat.
"Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-nakuti anak kecil saja!" Jawab Bun Beng sambil menggunakan ginkang-nya untuk melesat ke sana ke mari mengelak sambil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biar pun ilmu silat kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walau pun dia bertangan kosong.
Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan baik sekali sehingga semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.
"Wutttttt! Wah, galak amat!"
Bun Beng miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman gelang berduri dari arah belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah sambungan lutut lawan di depan, jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di antara lima dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sinkang sekuatnya.
"Cringgg!" Dan kakek itu memekik kaget.
Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir ia melepaskan sebuah gelangnya dan ia melompat ke belakang. Juga kakek di depan Bun Beng yang diserang tendangan tadi cepat melompat ke belakang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.
"Bagus...!" Bun Beng diam-diam kagum juga.
Kiranya senjata ini bukan hanya digunakan untuk menyerang dengan dipegangi, tetapi juga dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi hatinya melihat betapa gelang yang berputaran menyambar kepalanya itu setelah luput dari sasarannya, kini dapat membalik dan kembali ke tangan pemiliknya!
Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng sudah memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan sinkang-nya.
"Wuuutttttt!" Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi kakek kedua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang kanan ke arah punggung pemuda itu.
"Awasss...!" Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget.
Namun tanpa memutar tubuhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata ketiga!
"Senjata yang buruk!" Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senjata itu! Tentu saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia telah digembleng oleh Ketua Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.
"Trang-cring-trangg...!" tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang kakek itu bertemu dan gelang kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di tangan Bun Beng.
"Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang satu! Masih mau dilanjutkan?" Dia menantang dan mengejek.
"Tahan dulu!"
Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar.
Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan tertawa, "Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!"
Kakek muka tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin ketika berkata, "Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap Thian-liong-pang?"
Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pandang matanya sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga kakek Ketua Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata,
"Orang muda yang gagah. Jika engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir. Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urusan ini."
Bun Beng merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar jangan melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama sekali, haruskah dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Membayangkan betapa sinar mata yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala gerakan pada pembelaan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?"
Akan tetapi kakek bermuka tengkorak itu tidak puas. "Orang muda, apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Aku tidak menyangkal apa-apa."
"Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?"
"Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung banyaknya sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat Siauw-lim-pai?" Setelah berkata demikian, Bun Beng menggerakkan gelang berduri di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.
"Trang-cringgg...!" Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan... kedua senjata mereka patah-patah.
"Ahhh... ini adalah jurus ilmu silat kami...!" Kakek kembar berseru dan cepat menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.
Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh seperti yang dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu saja tidak. Melihat pun baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ketika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguh pun tentu saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau dua orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain merampas senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu mereka sendiri, adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun mendapat kenyataan bahwa kakek kembar bukan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada kawan-kawannya.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah menyambar. Dengan didahului sinar hijau pedangnya, bagaikan bintang jatuh sinar ini menyerbu ke arah Bun Beng.
"Bagus!" Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang tampan itu tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak.
Kakek muka tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam sekejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditembus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.
"Berhenti!" Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.
"Krakkkk!" Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi.
Namun dua orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal. Mereka lalu mengangkat kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tidak dapat mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.
Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah mengerahkan kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan kosong ini. Namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Namun Bun Beng tidak mau dipancing dan tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mundur dan makin terheran. Pemuda ini memiliki ilmu silat yang aneh, pikir mereka. Biar pun agak ‘berbau’ dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya lebih mirip ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.
Memang Bun Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Barisan) sehingga kedua orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini!
Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. "Kami tidak ingin bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!" Setelah berkata demikian, mereka melesat jauh dan lari pergi.
Bun Beng penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apa lagi membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Maka dia pun lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul mereka, hanya membayangi dari jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, kedua kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perhatian Ketua mereka!
Bun Beng bukan orang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu.....
Dari dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung, "Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau."
Milana memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak, "Ibu...! Engkau Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu...? Akan tetapi mengapa...?" Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.
"Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!" Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.
Ada pun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yang dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.
Dalam pelayaran ini barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siucai itu tadinya menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melarikan diri membawa pedang pusaka.
"Aihhhh... kiranya dia...!" Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?
"Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?"
"Banyak yang sudah kau ketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang, seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi muridnya Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar."
"Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!"
Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
"Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biar pun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahhh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis."
"Kenapa Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?"
Kembali Suma Han menggeleng kepala. "Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi."
Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya semenjak kecil, yang kedua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan ini memperolah kemajuan yang pesat sekali.
********************
Semenjak jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai sisa kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas, yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di daratan Tiongkok yang kini dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu. Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah ini.
Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok. Menyaksikan kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, biar pun menjadi penjajah, mereka menerima kebudayaan itu dan bahkan melebur diri mereka seperti keadaan para pribumi. Mereka mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya menggunakan bahasa ini sehingga dalam satu keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu dan menganggap bahasa Han sebagai bahasa mereka sendiri!
Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap, pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebudayaan sehingga berhasil menarik pula hati para sastrawan pribumi yang mendapat penghargaan dalam bidangnya.
Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat besar, jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar dari pada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan pembangunan dapat dilaksanakan sebaiknya.
Namun setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri bisa ditumpas semua, Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpaksa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai, Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam negeri untuk memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan dan memperkembangkan kesenian melukis, sastra, dan lain-lain di samping mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai bergerak dan memberontak terhadap pemerintah Mancu.
Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur, bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun harus diakui bahwa kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini.
Akan tetapi, setelah bangsa Mancu berkuasa dan membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mongol sebagai bangsa serumpun dan setingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecenderungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu menjadi makin erat hubungannya dengan rakyat, sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat dahulu. Maka bangsa Mongol merasa makin lama makin tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bangsa Mancu.
Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya. Sehingga begitu Secuan sudah dijatuhkan, kembali pemerintah Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pemberontakan yang besar dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, namun juga tak dapat dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhubung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol.
Kembali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pula yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan itu mereka pergunakan untuk melawan penjajah. Akan tetapi karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting cerita ini yang berdiam di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepuluh tahun itu kita lewati saja.
Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bahkan banyak pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan negaranya.
Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan ‘perang’ sendiri, menggunakan kesempatan selagi pemerintah kurang memperhatikan keadaan mereka karena pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol. Pula, pemerintah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan kepada kaki tangan mereka yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para pembantunya yang lain!
Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah menjadi jeri kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh berkerudung yang memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan merasakan kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya!
Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat menggabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara tetangga yang takluk dan mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan banyak tentangan. Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menjadi ‘anak buah’ Thian-liong-pang!
Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang tetap tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat munculnya orang dari Pulau Es, bahkan mendengar berita pun tidak, karena Pulau Es agaknya sudah memutuskan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-tahun.
Di antara partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita itu, Siauw-lim-pai sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula. Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan orang-orang Thian-liong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang keras disiplin di antara anak muridnya, dengan bijaksana dapat memadamkan bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang melakukan pelanggaran.
Pada waktu itu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar berusia lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biar pun tubuhnya tinggi besar menyeramkan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, kitab-kitab kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi dan sukar sekali dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya.
Ketika Kian Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan menurut kepercayaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat menguasai sebagian dari isi kitab-kitab suci dan rahasia itu. Sungguh pun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi dari pada mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.
Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang mempunyai kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apa lagi ketika mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng, segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat bakat yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak ini ‘berjodoh’ dengannya, maka dia lalu mengambil Bun Beng sebagai murid. Selama delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.
"Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kau nanti-nanti dan baru sekarang pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk meluaskan pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini yang pinceng adakan," kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila di hadapan muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya selalu melarang dan mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.
"Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali."
Hwesio tua itu mengangguk dan tertawa. "Pinceng tahu dan tidak menyalahkanmu. Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali untuk berkelana di dunia ramai. Kepandaianmu telah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui belum kuajarkan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan melampaui aku."
"Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu."
"Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari pinceng, sudah menguasai ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan ini, semua ilmu yang kau kuasai itu hendak kau pergunakan apakah?"
Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk apakah dia mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang pertama, yang juga terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,
"Ilmu yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan untuk mencari musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di tangan mereka!"
"Omitohud..., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan melarangmu meninggalkan kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu."
Bun Beng terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya menyentuh lantai sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk Suhu bagaimana baiknya."
Hwesio itu tertawa. "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan kepadamu itu hanya akan kau pergunakan untuk membunuh orang, hanya untuk membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkannya. Tidak, Bun Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh dipermainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?"
Bun Beng tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apa lagi setelah ia mendengar kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat! "Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa."
"Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah engkau juga akan mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kau balas dan bunuh pula?"
Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa ragu-ragu ia menjawab, "Agaknya begitulah!"
"Baik, sekarang kau balaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?"
Biar pun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya sudah kuat sekali, tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, penuh pemasrahan kepada suhu-nya.
"Omitohud...! Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil pertimbangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua mau pun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka itu dikarenakan perbuatan mereka yang jahat? Andai kata orang tuamu menjadi penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau juga lalu mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya, karena engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah, karena engkau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapuskan dendam dari hatimu, sedikit pun tidak boleh ada sisanya. Jika kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan karena mereka orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas dendam."
Bun Beng cepat memeluk kaki gurunya. "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi seperti buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah Suhu."
"Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh. Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar dari pada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?"
"Baik Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu."
"Hemm..., kalau sampai kau langgar, agaknya pinceng sendiri yang akan turun tangan menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."
Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata lagi.
Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong. Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po- cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhu-nya karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat! Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri, kalau dia mempergunakan ilmu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu akan dapat menandinginya!
Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya dia bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ketika mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan! Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini tidak terdengar lagi.
Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya kemudian mereka itu dibebaskan kembali? Apa yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlampau jauh, maka dia akan lebih dulu menyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan melanjutkan perjalanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa gangguan.
Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenyataan bahwa tangis itu adalah tangis seorang wanita yang ditahan-tahan, suaranya seperti tertutup bantal. Dia menjadi bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita?
Dia sudah memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis. Karena suara isak tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia melayang ke atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginapan. Dia membuka genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan tetapi baru saja dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali menyambar ke arah lubang genteng!
"Ciut-ciut-ciut!" tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.
"Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!" terdengar suara wanita memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusukan ke arah dada Bun Beng.
"Wuuuttt... plakkk!"
Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya, akan tetapi sia-sia. Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang sambil memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti tadi, gadis itu melihat tiga batang piauw-nya berada di tangan kiri pemuda itu. Celaka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Mau apa lagi? Bunuhlah aku!" tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
"Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!"
Nona yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu membentak, "Siapa mau percaya?"
Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan tiga batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung lengan bajunya, dan berkata, "Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kananku? Bukankah kata orang, lengan kanan semua anggota Thian-liong-pang dicacah dengan gambar naga kecil?"
"Huh!" Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang halus itu sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sinkang yang demikian hebat, "Kalau bukan anggota Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!"
Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. "Aihhh! Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih, engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"
"Kalau bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta membuka genteng kamar orang dan mengintai ke dalam?" Gadis itu menyerang dengan kata-kata, sungguh pun dia sendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang penjahat.
Bun Beng tertawa. "Salahku... salahku...! Puas kau sekarang?!" Dia menunjuk hidung sendiri. "Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingin sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terjadi, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahhh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, engkau menyangka aku orang Thian-liong-pang..."
Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!
"Eh, eh, bagaimana ini...? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasaanmu?"
Gadis itu masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat bangun, merasa tidak pantas menyentuh tubuh seorang gadis. "Eh, eh... Nona. Bangkitlah, jangan begitu...!"
"Mohon maaf atas kesalahanku tadi... dan mohon pertolongan Taihiap yang memiliki kepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku...."
"Aku bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku berjanji akan menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara."
Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.
"Nah, ceritakanlah apa yang terjadi," kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajahnya, wajah manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.
"Namaku adalah Ang Siok Bi..."
"Nama yang bagus..." Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu memandangnya tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka teringatlah ia betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum memandang wajah yang manis.
"Eh, maksudku... teruskan ceritamu, Nona Ang..." Sambungnya cepat-cepat dan gugup.
"Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-pai..."
"Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang hormat...." Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
Siok Bi, gadis itu, biar pun baru berusia delapan belas tahun, namun dia sudah banyak merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali tidak mempedulikan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksikan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemuda ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan sedang mempermainkannya!
"Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur tangan menolong orang yang sedang tertimpa mala petaka ataukah seorang dari kaum sesat?"
Bun Beng yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis, menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sadar akan sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala gundul, sama sekali tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?
"Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"
"Pandang matamu itulah!" Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi merah. Betapa pun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas dari pada sifat wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apa lagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!
"Pandang mataku? Aihhh... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!" Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
"Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi." Gadis itu berhenti bercerita.
Bun Beng yang masih memejamkan mata itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara, "Hmmm...!" Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
"Mengapa diam?"
"Agaknya Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak sudi menolong, aku... aku pun tidak mau memaksa." Suara itu terdengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah berlari pergi!
Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi. "Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu."
Diam-diam Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata, "Aku bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana... enak hatiku?"
Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, "Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kau anggap aku tak peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"
Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu Bun Beng bicara sungguh-sungguh, tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu ‘nakal’ dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan.
"Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"
"Hemmm, sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang tersenyum. "Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."
"Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?"
Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang membebaskan Ayah. Akan tetapi... ah, akan makan waktu lama, mungkin terlambat... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat kuat itu."
"Ke mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"
"Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara..."
"Aku akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.
Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak, "Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan ikut, kau tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"
Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia menarik napas panjang. "Hebat dia...!"
Kemudian ia pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia membayangkan wajah tampan yang bibirnya selalu tersenyum dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.
Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia gunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang hingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput, seolah-olah tidak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!
Namun karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya menjelang senja barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng di mana yang tampak hanya sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat dari pada papan tebal dan beroda dua.
Bun Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.
Saat memperhatikan empat orang itu, diam-diam Bun Beng terkejut. Ternyata memang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikap mereka menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang kedua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang. Biar pun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara mereka langsung membentak,
"Bocah sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?"
"Minggir kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!" Orang kedua membentak pula.
Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah kerangkeng, dia bertanya, "Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?"
"Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-liong-pang!" Kakek di kerangkeng itu berkata.
"Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas menggelinding pergi?"
Bun Beng dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kedua orang kakek kembar yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata, "Sebenarnya aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!"
Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke sekeliling mereka. Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apa lagi setelah mereka memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka menjadi makin hati-hati karena hal itu hanya menandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.
"Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bicara dengan mereka!" Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng, dan kakek bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya si orang muda menjaga kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi.
Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat sepasang kakek kembar yang menghadapinya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah tingkatnya!
Bun Beng tertawa dan berkata, "Mau berkenalan dengan empat orang sahabatku? Awas, mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan mereka robohkan dengan mudah!"
"Tak perlu banyak menggertak!" Bentak kakek kembar kedua, akan tetapi tidak urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak gentar. "Lekas suruh mereka keluar!"
"Mereka sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?"
Kini kedua kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jeri. Kalau ada empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis. Teringatlah mereka akan orang-orang Pulau Neraka, musuh utama mereka yang mereka takuti, akan tetapi pemuda ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan anggota Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!
"Bocah, jangan main-main engkau!" Seorang di antara mereka membentak.
"Inilah mereka!" Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan.
Muka kedua kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan karena kepala mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!
Akan tetapi sebagai anggota-anggota Thian-liong-pang yang banyak pengalaman, menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka melangkah maju dan menegur.
"Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa yang telah kau perbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!"
Bun Beng menggelengkan kepala. "Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang akan kalah, dan andai kata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!"
"Keparat!" Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan senjatanya yang aneh dan kiranya senjata gelang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan, digerakkan secara cepat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih bertolak pinggang.
"Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam," kata Bun Beng. Dengan mudah ia mengelak ke kanan dan biar pun matanya melirik ke arah orang di depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek kedua yang telah melompat ke belakangnya.
Ketua Bu-tong-pai yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu menjadi gelisah sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak tekenal yang jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggelisahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong.
Sudah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada tokoh yang dibunuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya sungguh pun ada hal yang lebih hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih hebat dan penting dari pada keselamatan dirinya, yaitu keselamatan nama besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu sembrono dan berani mati mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau nanti melihat pemuda itu roboh dan tewas di depan matanya.
"Orang muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!" teriaknya ketika melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang dengan dahsyat.
"Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-nakuti anak kecil saja!" Jawab Bun Beng sambil menggunakan ginkang-nya untuk melesat ke sana ke mari mengelak sambil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biar pun ilmu silat kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walau pun dia bertangan kosong.
Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan baik sekali sehingga semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.
"Wutttttt! Wah, galak amat!"
Bun Beng miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman gelang berduri dari arah belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah sambungan lutut lawan di depan, jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di antara lima dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sinkang sekuatnya.
"Cringgg!" Dan kakek itu memekik kaget.
Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir ia melepaskan sebuah gelangnya dan ia melompat ke belakang. Juga kakek di depan Bun Beng yang diserang tendangan tadi cepat melompat ke belakang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.
"Bagus...!" Bun Beng diam-diam kagum juga.
Kiranya senjata ini bukan hanya digunakan untuk menyerang dengan dipegangi, tetapi juga dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi hatinya melihat betapa gelang yang berputaran menyambar kepalanya itu setelah luput dari sasarannya, kini dapat membalik dan kembali ke tangan pemiliknya!
Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng sudah memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan sinkang-nya.
"Wuuutttttt!" Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi kakek kedua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang kanan ke arah punggung pemuda itu.
"Awasss...!" Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget.
Namun tanpa memutar tubuhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata ketiga!
"Senjata yang buruk!" Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senjata itu! Tentu saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia telah digembleng oleh Ketua Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.
"Trang-cring-trangg...!" tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang kakek itu bertemu dan gelang kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di tangan Bun Beng.
"Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang satu! Masih mau dilanjutkan?" Dia menantang dan mengejek.
"Tahan dulu!"
Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar.
Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan tertawa, "Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!"
Kakek muka tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin ketika berkata, "Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap Thian-liong-pang?"
Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pandang matanya sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga kakek Ketua Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata,
"Orang muda yang gagah. Jika engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir. Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urusan ini."
Bun Beng merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar jangan melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama sekali, haruskah dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Membayangkan betapa sinar mata yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala gerakan pada pembelaan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?"
Akan tetapi kakek bermuka tengkorak itu tidak puas. "Orang muda, apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Aku tidak menyangkal apa-apa."
"Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?"
"Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung banyaknya sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat Siauw-lim-pai?" Setelah berkata demikian, Bun Beng menggerakkan gelang berduri di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.
"Trang-cringgg...!" Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan... kedua senjata mereka patah-patah.
"Ahhh... ini adalah jurus ilmu silat kami...!" Kakek kembar berseru dan cepat menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.
Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh seperti yang dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu saja tidak. Melihat pun baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ketika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguh pun tentu saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau dua orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain merampas senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu mereka sendiri, adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun mendapat kenyataan bahwa kakek kembar bukan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada kawan-kawannya.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah menyambar. Dengan didahului sinar hijau pedangnya, bagaikan bintang jatuh sinar ini menyerbu ke arah Bun Beng.
"Bagus!" Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang tampan itu tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak.
Kakek muka tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam sekejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditembus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.
"Berhenti!" Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.
"Krakkkk!" Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi.
Namun dua orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal. Mereka lalu mengangkat kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tidak dapat mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.
Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah mengerahkan kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan kosong ini. Namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Namun Bun Beng tidak mau dipancing dan tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mundur dan makin terheran. Pemuda ini memiliki ilmu silat yang aneh, pikir mereka. Biar pun agak ‘berbau’ dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya lebih mirip ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.
Memang Bun Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Barisan) sehingga kedua orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini!
Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. "Kami tidak ingin bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!" Setelah berkata demikian, mereka melesat jauh dan lari pergi.
Bun Beng penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apa lagi membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Maka dia pun lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul mereka, hanya membayangi dari jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, kedua kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perhatian Ketua mereka!
Bun Beng bukan orang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu.....
Komentar
Posting Komentar