SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-19


Keng In menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda yang sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. "Kalian bawa dia ke perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kutotok. Akan tetapi, kalian harus tetap berhati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan."
"Baik, Kongcu (Tuan Muda)." Dua orang anggota Pulau Neraka yang bermuka merah itu lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya turun dari bukit.
Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biar pun dia telah mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biar pun yang ditemukan sama sekali bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil burung rajawali yang mengikuti perjalannya bersama dua orang anggotanya dari atas.
Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian merebahkan Bun Beng di dekat perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng masih berusaha sedapat mungkin untuk membebaskan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apa lagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan dibawa ke sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis!
Ia harus dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habislah harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau itu? Dari pada hidup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan bebas mengingat akan luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan totokan itu lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai kedua tangan!
Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang ancaman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu.
Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari totokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut, andai kata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekali pun, habis apa yang dapat ia lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak, menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan kemudi dan layar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk mengintai ke luar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di kejauhan itu... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang penumpangnya. Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nelayan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Neraka ini sedang meluncur menuju ke perahu kecil di kejauhan itu.
"Heeiii... kau mau ke mana...?" Seorang bermuka merah yang kumisnya panjang melintang berteriak sambil loncat mendekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat ke luar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu kongcu akan marah sekali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.
"Kau tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!" Si Muka Merah berkumis itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.
"Dessss! Augghhhh...!" Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biar pun Bun Beng terluka, namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan kepala anggota Pulau Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Heiii... keparat, apa yang kau lakukan?" Orang kedua cepat meloncat bangun tidak peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing.
Dia lari mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas, dan dengan marah dia mencabut golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali, terpaksa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya menampar pelipis.
"Plakk!" Orang itu roboh tanpa mengeluh.
Bun Beng juga terbanting jatuh di atas geladak. Ia melihat betapa perahu itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari langkan.
"Jebuuuurrrr...!" Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan kepala lebih dulu. Bun Beng gelagapan, berusaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah tak dapat digerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tenaga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerakan tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa minum air laut yang asin.
Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul kembali ke permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat dia tidak tenggelam.
Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, matanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambutnya adalah ujung pancing yang tangkainya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia memang ditolong, akan tetapi cara menolong itu benar-benar menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing!
Betapa pun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terjatuh ke dalam perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, memejamkan mata, terasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.
"Hemmm, engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam... hemmm, sungguh kasihan orang yang tak tahu diri ini, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula... heran, dalam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka bermuka merah?"
Suara itu halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat membuka matanya dan... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia? Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nyeri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan dewi penjaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranya pun tidak seperti suara manusia, begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?
"Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa! Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini...?"
Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata bertitik turun. Tanpa membuka matanya ia berkata, "Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi)... hamba masih belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan...! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba...!"
"Aihhhh... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka parah luar dalam seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah hari tidak mendapat ikan besar, hanya beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar, orang yang tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?"
Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, kiranya benar seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucapan terakhir itu, ia menghela napas dan berkata,
"Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan aku kembali ke laut. Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"
"Aihhh... masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh jaman sekarang ini banyak orang terapung-apung di laut."
Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang Bun Beng boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuhnya tinggi ramping dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita seperti gambar, kulitnya putih halus seperti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari mutiara. Seorang dara yang... bukan main.
Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng keduanya berseru.
"Nona Milana...!"
"Engkau... Gak-twako... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?"
Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya duduk di atas geladak. Sejenak mereka saling pandang. Milana dengan penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini dalam keadaan seperti itu. Dara itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main! Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.
"Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas... aku dilukai oleh seorang kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila..."
"Ohhh? Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang Hok-mo-kiam?"
"Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita bertahun-tahun yang lalu itu...?"
"Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"
"Gara-gara Sepasang Pedang Iblis...," jawabnya lirih dan kembali ia merintih serta menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.
"Sepasang Pedang Iblis?" Milana berseru kaget sekali.
"Benar dan aauuggghh..." Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan tenaga tadi ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia roboh pingsan!
Ketika Bun Beng siuman kembali, ia telah berada di atas kuda, di belakangnya duduk Milana. Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan dan kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus!
Tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan. "Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat menunggang kuda bersamaku? Harap kau pertahankan, engkau harus mendapat perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu..." Gadis itu bicara halus dan penuh iba.
Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan. "Aihhh... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku telah keracunan, tidak ada yang akan dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku sendiri, terlalu menurutkan kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang... itulah mula-mula segala mala petaka yang menimpa diriku..."
"Apa? Kau mengacau Thian-liong-pang?"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat menceritakannya kepada siapa pun juga. "Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?"
"Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk dicuri ilmu mereka. Hemmm, dan Ketuanya amat ganas, kejam, licik dan sakti. Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat membasmi Thian-liong-pang...!"
"Gak-twako, orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia kau maki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekali pun akan dapat salah sangka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain, terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang menentang mereka."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan kail, mengeluarkan ucapan begitu jeri terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap Milana seperti ketakutan.
"Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau menolongku? Lebih baik kalau kau tinggalkan aku di sini saja!"
Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pemuda itu karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis. "Gak-twako, engkau benar-benar seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan iba yang akan kulakukan terhadap siapa pun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Mengapa harus kudasarkan kepada perasaan takut atau tidak? Twako, apakah engkau menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengandung kemarahan atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah ia betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata, "Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut, hanya saja... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan kaum Pulau Neraka agaknya juga memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau terancam pula oleh bahaya."
Milana tersenyum. "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapa pun juga. Kurasa engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut pendapatku, Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar belakangnya."
"Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata."
"Kurasa tidak demikian, Twako. Kalau memang anak buah Thian-liong-pang ada yang menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang menyeleweng akan dihukum. Ada pun Ketua itu sendiri, andai kata sampai membunuh orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat seperti iblis. Hanya engkaulah yang belum mengenalnya betul."
"Heii, kau seperti membelanya!" Bun Beng berkata penasaraan. "Engkau tidak tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak membujuk Ketua Thian-liong-pang!"
"Ahhh, jadi begitukah?" Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia mendengar bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!
"Nona, agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!"
"Sedikit banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal? Sudahlah, engkau perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan penyambung tulang patah. Tetapi racun yang mengancam keselamatan nyawamu tak dapat kuobati, agaknya Ibu akan dapat menolongmu, akan tetapi...." Milana menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?
"Akan tetapi apa, Nona?"
"Aku... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus kugodok, maka kita membutuhkan alat dapur. Di depan ada sebuah dusun, di sana kau dapat beristirahat, Twako."
Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di belakangnya itu, tidak melihat betapa wajah itu penuh kekhawatiran. Juga keadaannya tidak memungkinkan dia setajam biasa, baik penglihatan mau pun pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua dibayangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apa lagi karena dari gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!
Dalam keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumahnya disewa gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana dalam ruangan rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumahnya yang telah dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.
Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar karena hal itu dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih memiliki kasih sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lembut, pandang mata yang demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu tidak demikian cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah agaknya yang akan merawat anaknya seperti itu!
"Nah, biar pun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidaknya engkau akan merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi."
"Nona Milana... terima kasih. Engkau...!"
"Husshhh... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh..."
Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang ahli pengobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biar pun ia tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?
Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung pula obat tidur. Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang kakak beradik kembar yang amat lihai.
Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melakukan hal-hal berbahaya di luar perkumpulan yang selalu dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan urusan Thian-liong-pang, namun karena dia digembleng ilmu oleh ibunya sendiri, dia tahu bahwa kepandaian dua orang kembar ini hanya bertingkat sedikit di bawah tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri!
Apa lagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh dalam sebuah pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pukulan yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan pengerahan sinkang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai menangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu dapat dipakai membacok seperti sebatang golok tajam. Karena inilah maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam pertandingan, apa lagi membunuh orang dengan golok. Dia hanya menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka seperti dibacok sebatang golok besar yang tajam!
Biar pun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya delapan orang termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja. Dia merasa yakin bahwa selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada seorang pun anggota Thian-liong-pang yang akan berani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sungguh pun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Milana dan supaya ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan terus melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan dia sendiri.
Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggota Thian-liong-pang tingkat pertengahan bertugas melakukan penyelidikan dan pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak bergerak turun tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka mengganggu Milana!
Sampai lama mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli, seolah-olah tidak melihat mereka. Akhirnya dua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana!
Ketika dua orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul dari pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya, merasa tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguh pun kedua kakinya masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di tubuh bagian atas.
Tampak olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng menarik napas panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan tersenyum manis.
"Engkau sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?"
Sejenak Bun Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi, Milana kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya. Apakah tidak tidur semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia melihat wajah secantik itu. Bukan main! Meremehkan segala kecantikan yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang aneh, tidak seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang gadis cantik lainnya.
"Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?"
Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. "Maaf... eh, aku... aku sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau bersusah payah untuk aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaikan yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan... bagaimana aku akan mampu membalasmu?"
Milana tersenyum lebar. "Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutangkan apa-apa!" Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara bersungguh-sungguh, "Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap sungkan? Bukankah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?"
"Ah, tentu saja!" jawab Bun Beng cepat.
"Kalau melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan segan dan sungkan menolongku."
"Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku pasti akan melaksanakan apa saja, malah kalau perlu mengorbankan nyawa untuk menolongmu!"
Milana tersenyum lagi dan membungkuk. "Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang dapat menolongmu dan... ohhhh!" Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas dipan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.
"Kalian mau apa?" Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang sudah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguhnya Ketua Thian-liong-pang!
Kedua orang itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana, kemudian Su Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam dari pada Su Kak Houw, berkata hormat.
"Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami melaksanakan perintah Pangcu terpaksa..."
"Cukup! Pergilah, aku tidak mau diganggu!" Milana membentak marah dan kedua orang itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung.
Yang lebih bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang tokoh Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana?
Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ternyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.
"Ohhh... tidak...!" Milana berseru lirih.
"Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!"
Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekali pun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat, sekaligus menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biar pun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.
"Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung." demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi. "Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya."
Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa tenaga di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.
"Crakkkk...!" terdengar jerit mengerikan.
Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mukjizat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu ’memindahkan tenaga’ yang amat hebat. Ada pun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguh pun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana.
Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak Houw cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andai kata tidak demikian, biar pun ilmu baru Bun Beng mukjizat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung!
Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai.
"Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan." Setelah berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona..." Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada.
Milana menoleh kepadanya. "Aihh, Twako. Ilmu mukjizat apakah yang kau pergunakan tadi...? Ehhh... kau kenapa...?" Gadis itu meloncat dekat pembaringan di mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!
"Kau... kau sudah terluka...!" Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan sapu tangan.
Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. "Sudahlah, Nona... lebih baik kau tinggalkan aku di sini... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan... kau tentu akan dimusuhi Thian-liong-pang... Tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, orang yang sudah tiga perempat mati."
"Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!"
Biar pun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.
"Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi... aku hanya akan suka menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu."
Milana menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berterus terang.
"Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri."
"Ohhhh...!" Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya!
Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
"Ohhhh... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"
"Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?"
"Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona."
"Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungi dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu." Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apa pun juga.
"Tapi Thian-liong-pang...?"
"Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!"
"Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!"
"Tidak peduli!"
Ingin Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata,
"Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona."
"Biarlah, aku tidak takut."
Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras dari pada derap kaki kuda.
"Nona Milana..."
"Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona."
"Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?"
Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya, "Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti."
"Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Namun mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada Ibumu?"
Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,
"Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?"
Bun Beng menggeleng kepala. "Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela orang lain? Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andai kata bukan aku yang kau jumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau kenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kau bela? Mengapa justru aku yang kau bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?"
Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus, suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya. "Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku."
"Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"
"Heiiiii... aduuuhhh...!"
Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
"Ohhh, Twako... kau tidak apa-apa?" Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan. "Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut."
"Engkau orang aneh!" Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat ke atas kuda lagi. "Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf."
"Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf."
"Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kau maksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."
Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. "Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta..."
"Ah, kau bohong, Twako!"
"Sungguh mati!"
"Usiamu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua dari pada aku yang baru tujuh belas tahun."
"Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku... aku belum pernah... eh, maksudku mengalami cinta, dan... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?" Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali!
Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.
"Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu."
"Hemm, semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis..."
"Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?"
Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pula wabah ‘demam Sepasang Pedang Iblis’ yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu. "Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguh pun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona."
"Ahhh, suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!"
"Eh, kenapa begitu?"
"Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai sembuh. Betapa pun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?"
"Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan murid-nya..."
"Aihhhh...! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?"
Bun Beng mengangguk. "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan..."
"Aihhhh! Enci Kwi Hong?" Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika gadis ini melanjutkan, "Kau... berikan pedang itu kepadanya?"
Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. "Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas..."
"Oleh Tan Ki dan Maharya?"
"Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."
"Ohhh...!" Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! "Bagaimana bisa demikian?"
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.
"Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana."
Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!
"Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?"
Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama, "Kurasa tidaklah aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan kenapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Kedua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya."
Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi. "Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?"
"Hahh...?" Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. "Apa... apa maksudmu, Nona...?"
"Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?"
"Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh cinta kepadanya? Tidak, Nona, harap engkau jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang kuhormati."
Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan kedua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
"Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"
Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, "Ya... ya... begitulah."
"Misalnya... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako."
Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. "Ahhh... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku... ahh, aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!"
Milana merasa terharu. "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya mau pun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan lahir."
Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.
"Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?"
Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu, betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang. "Aku tidak tahu, Twako. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?"
Bun Beng tak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus perlahan-lahan, dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)