SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-35


"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu, perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa lagi?"
"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm..., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa tiap-tiap agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar. Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."
Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong. "Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
Kwi Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu sekali pun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!" Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang Iblis...!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhu-nya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia, akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"
Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam kamar tahanan.
"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk kau berlatih dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apa lagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang prajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan tenaga sinkangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Ada pun kakek ini, untuk melewatkan waktunya kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa.
Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkrik, ia girang sekali dan ingin benar ia menangkap jangkrik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu percakapan mereka sedang didengarkan oleh Suma Han dan Milana di dalam kamar tahanan yang berada di atas mereka!
Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkrik, dan karena keadaan cuaca dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong kemudian menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah, tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja jangkrik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkrik itu mengira malam dan berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biar pun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekali pun tentu dari dalam lubang."
"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya." Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhu-nya, mereka memandangi lubang jangkrik seolah-olah hal menangkap jangkrik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau kukencingi, mana jangkrik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas lubangnya."
Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar seekor jangkrik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkrik itu.
Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja. "Besarkah jangkriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?"
Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman tangannya. "Ini namanya jangkrik upo (jangkrik kecil pemakan nasi upo)! Jangkrik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya saja!"
Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan... jangkrik kecil itu ditelannya bulat-bulat! Kala menjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkrik itu hidup-hidup!
"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkrik hidup-hidup ditelan?" Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa kau bilang? Kotor? Wah, menelan jangkrik mentah dan hidup masih mending. Pernahkah engkau mendengar orang-orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkrik dari pada cindil? Jangkrik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik itu!"
Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai berdebat ini. Pula kegembiraannya telah hilang dan kembali dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi Hong...!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman...!"
"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman, di mana engkau? Suaramu begini dekat...!" Kwi Hong yang merasa bingung itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti Tocu Pulau Es yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena kakek itu mengerahkan khikang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena tadi keponakannya menyebut ‘suhu’ kepada orang itu.
"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau Neraka."
Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka? Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.
"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suheng-ku itu? Tidak, Taihiap. Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sute-nya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khikang.
"Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat ia menuturkan pertemuannya dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana ia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu biar pun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.
"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan kami berada di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik, Paman."
Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jin tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena dia sudah terlanjur menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."
"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki. Wah, jika engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?
Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apa pun juga jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!
Lama kelamaan kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan dia melihat pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan. Dia tidak berani mengganggu, bahkan kemudian menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu.
Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.
Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula hanya perlahan, kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya, "Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"
Milana yang biar pun telah banyak membaca tetapi sejak dulu memang tidak menaruh minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, lalu bertanya, "Bagaimana bunyinya, Paman?"
Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng seperti yang diingatnya:
Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya
keduanya berpasangan walau namanya berbeda
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!

Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau begitu amat cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"
Suma Han melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."
"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling bertemu, yang palsu mau pun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma Han mengangguk-angguk. "Hm... hm... biar pun uraianmu itu tidak berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma Han termenung, wajahnya makin lama makin terang. Beberapa kali dia mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, Alan... engkau telah membuka kesadaranku... engkau membuka mata batinku..."
Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah Pendekar Super Sakti itu sekarang berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.
"Terima kasih, Alan...!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu, kemudian memeluknya, mencium dahinya.
Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya.
Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh kebahagiaan.
"Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa... apa maksudmu, Paman?"
"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biar pun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah malah yang menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, ia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan bersifat kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walau pun bingung juga karena tidak mengerti.
"Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.
"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walau pun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di jaman dahulu memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang telah mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"
Suma Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"
Hening sampai lama sekali di bawah. Karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Sekitar seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya. "Suma-taihiap, apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"
"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa begitu?"
"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."
"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagai mana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku Sejati, bukan mempersoalkan ada atau tidaknya. Ada atau tidaknya bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama hidupku aku mendengar orang berbicara seperti itu."
"Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, kini mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar suara ledakan keras saat Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali. Baru sekarang dia mengenal gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau... kau... Milana...!" teriaknya.
Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi? "Kwi Hong...!" katanya dan ia terisak.
"Milana...? Engkau... engkau... Alan... engkau Milana...?" Suma Han merasa seperti disambar petir ketika dia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana. "Aihhh, betapa bodohku! Dan ibumu... Nirahai... dia... dia..."
Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be... benar Ayah...!"
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana.
"Paman...!" Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada hentinya.
"Akan tetapi ilmu yang kau ajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali, "Haiiiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima jawabankuuuuu...!"
Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah... harap jangan marah, Ayah... ampunkan aku, Ayah... dan janganlah marah kepada Ibu... hu-hu-huuuk..." Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.
Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.
"Milana... ahhh, anakku... aku seperti buta tidak mengenalmu...! Milana, betapa kejam hati ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah, jangan memarahi Ibu..."
"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!" Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang yang berada di dekat kota raja dan yang baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah.
Para anggota Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman Tocu Pulau Es yang amat terkenal itu.
Andai kata Suma Han datang seorang diri, biar pun jeri, agaknya mereka masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama Milana, tak ada seorang pun anggota Thian-liong-pang yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia, apa artinya ini...?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona, tahan dulu...!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap Tocu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"
"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang lalu memegang tangan kawannya dan memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu.
Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata,
"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau kita mencampurinya."
"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biar pun mereka telah saling berpisah lama sekali.
"Nirahai...!" Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil saat dia mencelat ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han Han...!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana.
Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!
"Kau... kau mau apa datang ke sini...?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan tangis.
"Nirahai!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang. "Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang selama ini melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat, pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tanpa bernyawa di tempat ini!"
Setelah berkata demikian Nirahai menggerakkan tangannya dan kerudungnya sudah kembali menutupi mukanya. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kau lakukan itu semua, juga tidak peduli untuk menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"
"Cukup!" Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata, "Tak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengok tengkukmu sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es. Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti bagaikan dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"
"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biar pun aku sekarang sudah tidak punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita..."
"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga akan kuhancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!" Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.
"Ayaahhh...! Ayaaahh... tungguuuu...!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis!
Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi dia tetap berdiri tegak, tidak menoleh.
"Ayahh...!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu. "Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah hendak menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang palsu? Ayahhh...!"
Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia lalu menghela napas panjang dan berkata lirih, "Anakku... engkau jauh lebih bersih dari pada aku atau ibumu, aku... aku hanya manusia lemah... manusia canggung yang tidak tahu lagi apa yang akan kulakukan... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar. Biarkanlah aku pergi dulu, Milana..."
"Ayaaahhh...!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuuuu...!" Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.
"Ibu, mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku... entahlah... aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu..."
"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya..."
"Hanya bagaimana, Ibu?"
"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya dan memandang puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah kadungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan oleh Koksu itu sebetulnya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."
"Apa...?!" Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya mendengar ini.
Milana lalu menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun.
Kemarahan Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu segera menghadap Pangcu..."
Nirahai mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"
Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan. "Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia... dia... mengajukan pinangan kepada Nona Milana... Kalau dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang...!"
"Bresss! Krrakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai menghampiri seorang anggota Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek bajunya dan langsung dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu.
"Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."
"Hemm, si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak hebat itu, hanya merupakan ‘cap’ merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sinkang, telapak tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemmm, pukulan beracun ini aneh sekali dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau tajam meruncing terbuat dari pada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.
"Aihhh...!" Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali. Ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah mati!
Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya yang terluka. Tang Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata, "Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan yang beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati dari pada Nona Milana diperisteri olehnya. Dari pada menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."
Nirahai mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu sebulan masih lama..."
"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka beracun itu!"
Nirahai dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biar pun usianya sudah tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu berwarna putih seperti kapur!
Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini, timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggota Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain adalah sumoi-nya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi yang baik, benarkah Bibi dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana bertanya dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguh pun sepasang mata yang indah itu memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke mana saja selama ini perginya? Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,
"Siapakah engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka ini?"
Lulu menatap muka berkerudung itu, sesaat bertemu pandang, dan ia kagum melihat sepasang mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal, pikirnya.
"Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka ini, biar pun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari mana pun juga, karena obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai bergidik. Dulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah, mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan?
"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa menyembuhkan mereka!"
Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. "Engkau... Ketua Pulau Neraka...?"
Lulu mengangguk dan berkata muak, "Bekas... ketua boneka..."
"Iblis betina!"
Para anggota Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah berada di situ. Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada yang mencengkeram, ada yang menendang.
Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang.
"Tahan...! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara lagi? Tanpa turun tangan pun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"
Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo dan tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering tertiup angin.
Kini dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin, "Jadi engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. Tocu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."
Lulu mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang. Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"
Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya, segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang lucu juga. Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan menimbulkan ketawa.
Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya ketika tadi ia melihat akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak tertolong." Ia memandang mayat yang masih menggeletak di situ.
Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan Tocu, silakan Tocu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."
Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain agar tidak mengganggu mereka.
Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh tidak pernah kusangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima kunjungan Tocu Pulau Neraka dalam keadaan seperti ini!"
Lulu menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut Tocu kepadaku karena kini Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah..."
"Tetapi anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata, membantah.
Kembali Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itu... Ah, Pangcu, justru karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan masa depan kedua orang anaknya!"
Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini, alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!
"Maksudmu bagaimana, Tocu?" tanya Nirahai.
"Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang, bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara yang amat bagus!" Nirahai mencela.
Lulu menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu. Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan kesalahan puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!" Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.
"Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya, bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada Milana dia bertanya,
"Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah kau menerima pinangannya?"
Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit berdiri. "Aku tidak sudi! Aku... aku benci kepadanya!" Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu pejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap bekas sumoi-nya itu.
"Tocu, kau maafkan sikap anakku."
Lulu membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal peri kemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi? Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?
"Tocu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang dan engkau Tocu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kau alami. Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andai kata engkau membuka kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik mati dari pada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih. Akhirnya aku meninggalkan suamiku, sedangkan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus... dan aku lalu membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti itu...! Keng In... akulah yang membuat engkau rusak... kalau aku tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela berkorban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat...!"
Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang terpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar penuturannya itu, biar pun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat menduga siapakah pria yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)