SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-46


Milana yang duduk di atas bangku memandang pemuda tampan yang berlutut di depannya. Dia menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa selama dia berada di Pulau Neraka, Wan Keng In bersikap baik sekali kepadanya, tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah menyinggung perasaannya, apa lagi memaksanya, bahkan selalu berusaha untuk menyenangkan hatinya.
Taman yang indah ini dibuat oleh pemuda itu untuknya! Sebuah pondok yang mungil dibangun pula oleh anak buah Pulau Neraka atas perintah pemuda itu. Semenjak Milana berada di pulau itu, anak buah Pulau Neraka sibuk terus untuk menyediakan segala kebutuhan makan dan pakaian dara itu seperti yang diperintahkan Wan Keng In. Bahkan gurunya, Cui-beng Koai-ong yang berwatak aneh itu dapat pula dibujuk oleh Keng In sehingga berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat aneh yang lihai kepada Milana.
"Keng In, engkau tahu bahwa cinta tak mungkin dapat dipaksakan. Cinta tidak mungkin dapat dibiasakan atau dipelajari! Karena itu, percuma saja engkau membujukku. Aku tidak menyalahkan kalau engkau cinta kepadaku seperti yang sudah ribuan kali kau katakan kepadaku. Aku malah menaruh iba kepadamu karena cintamu yang hanya sepihak dan sia-sia itu. Keng In, sadarlah engkau. Menurut penuturanmu, di antara engkau dan aku masih ada hubungan keluarga. Ibumu adalah adik angkat ayahku, mengapa kita tidak dapat menjadi saudara misan yang baik?"
"Tidak!" Tiba-tiba Keng In meloncat bangun, alisnya berkerut dan dia menekan kemarahan dan kekecewaannya. "Aku tidak ingin menjadi saudaramu! Aku ingin menjadi suamimu! Perlukah ini kuulangi terus? Pula, ibuku hanya saudara angkat ayahmu, jadi tidak ada hubungan darah sama sekali. Engkau harus menjadi isteriku, Milana. Aku cinta kepadamu, cinta yang akan kubela dengan darah dan nyawaku."
"Akan tetapi, aku tidak cinta kepadamu, Wan Keng In."
"Asal engkau suka menjadi isteriku, dengan suka rela tanpa paksaan, engkau akan dapat mencinta kepadaku kelak."
"Tidak mungkin!"
"Milana, seorang wanita memang tak mungkin jatuh cinta kepada seorang pria betapa pun pria itu mengusahakannya, akan tetapi hanya kalau wanita itu sudah mencinta seorang pria lain! Apakah engkau sudah jatuh cinta kepada seorang pria lain?"
Hati Milana meneriakkan nama Gak Bun Beng akan tetapi mulutnya ditutup rapat dan dia tidak menjawab. Rahasia itu tidak perlu diketahui orang lain, apa lagi diketahui Wan Keng In yang kadang-kadang amat dibencinya, kadang-kadang dikasihani itu.
"Sudahlah, Keng In. Kalau kau tidak menganggap aku saudara misanmu, sedikitnya kita masih saudara seperguruan. Bukankah aku telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari gurumu, berarti aku muridnya pula? Aku sudah berjanji kepadamu tidak akan melarikan diri dari pulau ini asal engkau tidak menggangguku. Kalau engkau menggangguku, aku pun tidak akan suka tinggal lebih lama lagi di sini."
"Aku sama sekali tidak mengganggumu, Milana. Berlakulah adil. Aku hanya menghendaki engkau membalas cintaku atau sedikitnya, menerima pinanganku menjadi isteriku. Kita akan merayakan pernikahan kita secara besar-besaran! Semua tokoh dunia ilmu silat, baik golongan putih mau pun hitam, akan kuundang untuk datang ke sini. Kalau engkau menjadi isteriku, Pulau Neraka akan kubangun kembali, akan kutambah anak buahku sampai pulau ini menjadi sebuah kerajaan kecil, aku menjadi rajanya dan engkau menjadi permaisuriku!"
"Pikiran gila! Aku tidak mau!"
"Hemm, apakah engkau ingin aku menggunakan kekerasan memaksamu, Milana?"
Dara itu bangkit berdiri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. "Menggunakan kekerasan? Aku akan melawan mati-matian!"
"Ha-ha-ha, Milana! Baru mempelajari sedikit ilmu tambahan dari Suhu, engkau berani melawanku? Mari kita coba-coba!"
Milana memang sudah menduga dengan hati penuh khawatir bahwa sewaktu-waktu pemuda yang seperti miring otaknya ini tentu akan mencoba menggunakan kekerasan. Karena dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menang menghadapi pemuda itu, apa lagi di situ terdapat banyak anak buahnya dan ada pula gurunya yang amat lihai, maka dara ini mempergunakan akal halus, tidak melawan dan sampai tiga bulan lamanya berhasil menghindarkan diri dari gangguan Keng In.
Dia mempelajari ilmu dengan maksud untuk memperdalam kepandaiannya agar dapat menghadapi Keng In sambil menanti kesempatan baik untuk meloloskan diri dari cengkeraman pemuda iblis yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka itu. Kini tiba saatnya Keng In kehabisan kesabarannya dan hendak menggunakan kekerasan. Melihat bahwa akhirnya toh dia harus membela diri dengan melawan mati-matian, kini Milana tidak berlaku sungkan lagi dan segera menerjang Keng In dengan pukulan maut!
"Haiitt! Gerakanmu cepat bukan main, Sayangku, akan tetapi bagiku kurang cepat!" Keng In mengelak akan tetapi Milana yang sudah siap secara tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyusul dengan hantaman kedua dari samping mengarah lambung pemuda itu.
"Dess!" Tubuh Keng In terguling dan pemuda itu rebah miring.
Bukan main girangnya hati Milana akan hal yang tak diduga-duganya ini. Dia menang hanya dalam dua gebrakan! Cepat dia menubruk untuk mengirim totokan yang melumpuhkan karena betapa pun juga dia tidak tega untuk membunuh pemuda yang mencintanya dan yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Heh-heh, pukulanmu keras akan tetapi tidak cukup keras untukku!" Tiba-tiba kedua lengan Keng In merangkul dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh Milana sudah dipeluknya dan hidung pemuda itu sudah mengambung pipinya! Milana terkejut dan marah sekali, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, tubuhnya menjadi lemas dan setengah lumpuh oleh totokan Keng In yang lihai itu.
"Nah, berontaklah kalau bisa! Ha-ha, siapa bilang aku tidak akan dapat menguasai dirimu kalau aku mau? Milana, Sayangku, setiap malam aku rindu kepadamu, setiap saat aku membayangkan betapa akan indahnya kalau kita bermain cinta di taman ini, di tempat terbuka..." Kembali Keng In menciumi muka dan bibir dara yang sudah tak dapat mengelak atau melawan itu.
Dengan hati hancur Milana hanya memejamkan matanya. Dia maklum bahwa takkan ada yang mampu mencegah pemuda itu kalau Keng In hendak memperkosanya. Bahaya yang lebih hebat dari pada maut berada di ambang pintu dan dia sama sekali tidak berdaya. Dia hanya bersumpah di dalam hatinya bahwa kalau Keng In memperkosanya, dia akan mencari kesempatan membunuh pemuda itu sebelum membunuh diri sendiri. Pada saat terakhir itu terbayanglah wajah Bun Beng dan sedu-sedan naik dari dadanya ke dalam kerongkongannya.
Keng In yang sudah mulai menanggalkan pakaian Milana, tiba-tiba menghentikan tangannya, bahkan menutupkan kembali pakaian yang sudah terbuka. Entah mengapa, mungkin sedu-sedan Milana itu yang membuat dia mengurungkan kehendak hatinya dan ia meninju tanah di samping tubuh Milana. "Tidak! Aku tidak mau mendapatkan dirimu dengan cara ini! Aku mau engkau menyerah kepadaku dengan suka rela! Aku ingin engkau rebah dalam pelukanku dengan bibir tersenyum dan suka membalas ciumanku. Aku ingin engkau sebagai seorang kekasih yang hangat dan hidup dalam dekapanku, bukan sebagai sesosok mayat yang dingin!" Setelah berkata demikian, Keng In menangis dan membebaskan totokan pada tubuh Milana sehingga dara itu dapat bergerak lagi.
Milana menyembunyikan kengerian hatinya. Baru saja dia lolos dari lubang jarum, lolos dari bahaya yang mengerikan. Namun diam-diam dia mengambil keputusan untuk mendahului menyingkirkan pemuda ini, kalau tidak akan berbahaya sekali. Belum tentu Keng In akan sadar seperti tadi!
"Sekali lagi engkau melakukan hal seperti tadi, aku akan membunuh diri!" Milana berkata lirih.
Keng In menunduk, "Maafkan aku... tidak kuulangi lagi..."
Milana membalikkan tubuh dengan marah lalu meninggalkan pemuda itu. Dia maklum bahwa biar pun Keng In kelihatan begitu menyesal, begitu merendah, namun sekali dia menimbulkan kemarahan dan kebencian di dalam hati pemuda itu, tentu pemuda itu tidak akan segan-segan untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tidak hanya memperkosa, bahkan menyiksanya dengan penghinaan lain kemudian membunuhnya. Kalau dia teringat akan perbuatan Keng In ketika memperkosa wanita di depan dia dan gurunya, dia mengkirik (meremang bulu tengkuknya) dan merasa takut sekali. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan yang merupakan penghinaan hebat, benar-benar dia merasa ngeri dan takut.
"Aku harus membunuhnya!" Demikian dia mengeraskan hatinya. Kalau tidak lekas dibunuh, bagaikan seekor ular berbisa, makin lama makin mengerikan dan berbahaya pemuda gila itu. Soalnya sekarang tinggal siapa yang lebih dulu bergerak dan berhasil!
Biar pun Cui-beng Koai-ong jauh lebih lihai dan berbahaya, akan tetapi kakek itu biasanya tidak peduli kepadanya, sedangkan anak buah Pulau Neraka yang lain akan mudah dapat dia kalahkan. Satu-satunya yang paling membahayakan dan mengancam dia adalah Wan Keng In. Karena itu, dia harus dapat menyingkirkan pemuda itu, harus dapat membunuh pemuda itu!
Milana mulai mencari kesempatan. Untuk mencari kelengahan pemuda itu, agaknya tidak mungkin! Biar pun dalam keadaan tidur nyenyak, kesiap siagaan telah mendarah daging di tubuh pemuda yang semenjak kecil tinggal di Pulau Neraka yang penuh bahaya itu. Biar pun sedang tidur pulas, pemuda itu akan mampu mempertahankan diri jika diserang seolah-olah sudah memiliki indra ke enam yang membuat dia dalam tidur sekali pun dapat ‘mencium’ datangnya bahaya! Kalau dia harus menggunakan kekerasan secara berdepan, mana mungkin dia dapat menangkan pemuda yang selain lebih lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik itu?
Beberapa hari kemudian, selagi Milana berjalan-jalan di tepi pantai sambil memutar otak, tiba-tiba dia melihat gulungan ombak laut yang seolah-olah membisikkan sesuatu kepadanya. Di laut! Mengapa tidak? Kalau di darat dia bukan lawan pemuda itu, belum tentu dia kalah kalau melawan pemuda itu di laut, di air! Semenjak kecil dia memang suka renang, bahkan oleh ibunya dia dilatih menahan napas di dalam air. Biar pun dulu dia tidak melihat kegunaan ilmu ini, sekarang barulah ilmu di air ini menimbulkan harapannya untuk dapat mengalahkan Keng In!
Memang sering kali dia mengukur dengan pandang matanya apakah sekiranya dia akan dapat meloloskan diri dari Pulau Neraka dengan berenang. Akan tetapi segera dia membuang jauh-jauh pikiran itu. Melarikan diri dengan jalan berenang pergi dari Pulau Neraka sama saja dengan membunuh diri! Tidak saja lautan disekitar pulau itu amat ganas, juga jarak dari pulau ke daratan besar amat jauhnya, belum lagi bahaya mengerikan dari ikan-ikan raksasa yang akan menghadangnya di tengah laut!
Melarikan dengan perahu juga tidak mungkin karena semua perahu dikumpulkan menjadi satu dan selalu dijaga. Akan tetapi, mengalahkan Keng In di air, ini mungkin sekali! Betapa pun juga, dia harus melihat dulu sampai di mana kepandaian Wan Keng In bermain di air. Dia tidak boleh gegabah (sembrono) dan dia tidak boleh gagal kali ini! Dengan adanya rencana menggunakan akal ini, mulai hari itu Milana sering kali berjalan-jalan di tepi laut. Beberapa kali Keng In datang menjumpainya di situ, akan tetapi karena kebetulan pantai itu ramai dan di situ terdapat beberapa orang anak buah Pulau Neraka, Milana terpaksa menunda siasatnya.
Pada suatu pagi, ketika Milana sedang duduk termenung seorang diri di tepi pantai, merenung ke arah selatan membayangkan ibunya dan Bun Beng dengan penuh kerinduan, tiba-tiba terdengar suara Keng In di belakangnya, "Milana, mengapa engkau termenung di sini sepagi ini?"
Milana langsung mengerling ke kanan kiri. Tempat itu sunyi sekali. Inilah kesempatan baik untuknya. Sambil mengerling tajam dia berkata, suaranya sengaja dibuat manja, "Pegilah kau, Keng In. Aku mau mandi."
Keng In tersenyum nakal. "Mandilah aku tidak akan mengganggumu."
"Kau kira aku begitu tidak tahu malu? Hmm, kalau kau berkeras, aku dapat saja mandi tanpa melepas pakaian." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Milana sudah lari menyambut air laut yang didorong gelombang ke pantai pasir.
Melihat gadis itu berlari sambil mengembangkan kedua lengan, tampak begitu gembira, Keng In tertawa senang. Dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu sudah menyerah kepadanya, dan mereka mandi bersama di pinggir laut. Milana tidak berpakaian lengkap seperti sekarang ini. Tentu akan dipondongnya dara itu, dibawa lari menyambut ombak sambil bersendau-gurau.
"Heiiii! Milana! Berhenti di situ saja...!" Tiba-tiba dia berseru nyaring melihat betapa Milana terus berlari menyambut ombak yang menyerangnya, bahkan kini gadis itu berenang ke tengah dengan gerak renang yang kaku menandakan bahwa gadis itu tidak dapat berenang dengan baik.
"Celaka...!" Keng In berseru penuh kekhawatiran sambil melompat dan lari ke laut saat dia melihat betapa ombak menyambar tubuh Milana, dilontarkan ke atas dan kemudian dihempaskan kembali ke bawah. Tahu-tahu kini tubuh Milana sudah berada agak jauh ke tengah.
Gadis itu kelihatan ketakutan, tangannya menggapai-gapai dan terdengar jeritannya lemah, "Tolooonggg!"
Tanpa berpikir panjang lagi karena khawatir melihat kekasihnya terancam bahaya maut ditelan ombak atau ikan raksasa, Keng In cepat berenang sekuatnya melawan ombak. Dia sama sekali tidak tahu betapa Milana diam-diam memperhatikan gerakannya ketika dia berenang untuk menolong kekasihnya itu dan tidak tahu betapa gadis itu bersinar-sinar pandang matanya, merasa girang melihat bahwa kepandaiannya berenang biasa saja! Memang Keng In bukanlah seorang ahli renang yang pandai. Dia dapat berenang sekedarnya, dan bukan seorang ahli biar pun sejak kecil dia tinggal di Pulau Neraka. Hal ini karena ibunya selalu melarangnya kalau melihat puteranya yang dimanjakan itu bermain-main di laut, khawatir kalau puteranya dihanyutkan ombak atau diserang ikan besar.
Kalau hanya berenang untuk menolong Milana, tentu saja Keng In merasa dia mampu melakukannya. Ia sama sekali tak menaruh kecurigaan melihat gadis itu dipermainkan ombak dan berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang hebat akan kehilangan wanita yang dicintanya itu membuat pemuda yang biasanya cerdik ini menjadi lengah dan sama sekali tidak menduga akan adanya siasat yang dilakukan oleh dara yang masih belum mau menyerah kepadanya itu.
"Milana...! Di mana engkau...?" Keng In berteriak dengan hati penuh kecemasan. Dia sudah tiba di bagian gadis itu tadi dipermainkan ombak dan sekarang dara itu tiba-tiba lenyap, seolah-olah tenggelam!
"Milana...!" Keng In memandang ke kanan dan ke kiri dengan mata liar penuh khawatir.
"Haiii!" Dia berteriak akan tetapi teriakannya segera lenyap ketika tubuhnya diseret ke bawah. Keng In gelagapan dan cepat menutup mulut menahan napas sambil berusaha untuk menggerakkan kaki kanannya yang telah ditangkap orang dari bawah!
Milana yang tadi menyelam kini mempertahankan sebelah kaki Keng In yang sudah ditangkapnya. Masih terlalu berbahaya untuk menyerang lawan ini dengan pukulan, karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang amat kuat, maka dia lalu menggunakan akal, menangkap kaki lawan dan menyeretnya ke bawah agar pemuda itu tak dapat bernapas dan mati lemas! Terjadilah pergulatan di dalam air laut. Milana berusaha mempertahankan kaki itu dan menariknya ke bawah, sedangkan Keng In meronta-ronta dan menarik kakinya sekuat tenaga agar dapat terlepas. Dia masih belum dapat menduga bahwa Milana yang menangkap kakinya. Dia mengira bahwa kakinya dililit oleh ikan gurita atau ular laut, atau digigit ikan yang besar.
Akan tetapi Milana salah duga kalau dia mengira akan dapat membuat Keng In kehabisan napas dengan cara menariknya ke bawah. Pemuda ini biar pun tidak pernah mempelajari ilmu di dalam air, namun sinkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga dia amat kuat menahan napasnya di dalam air, mungkin tidak kalah kuat dibandingkan dengan Milana sendiri! Karena itulah, usaha Milana untuk membuat pemuda itu lemas kehabisan tenaga tidak berhasil, bahkan tarikan-tarikan kaki Keng In yang amat kuat itu menghabiskan tenaga Milana yang menahannya sehingga akhirnya dia sendiri terbawa timbul ke permukaan air! Hanya bedanya kalau Milana masih dapat menguasai diri dan sadar sepenuhnya, sebaliknya Keng In menderita kegelisahan luar biasa, membuat pemuda itu gelagapan ketika berhasil timbul di permukaan air dan dia tidak melihat betapa sebuah kepala lain, kepala Milana, juga tersembul di belakangnya.
"Dessss!"
Milana tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia sadar dan dalam keadaan segar. Melihat Keng In masih megap-megap dan gelagapan menyedot hawa sebanyaknya, dia sudah mengirim pukulan ke punggung pemuda itu.
"Aduhhh...!" Keng In berteriak, akan tetapi tiba-tiba rambutnya dijambak (dicengkeram) tangan yang halus dan kepalanya ditekan ke bawah permukaan air lagi!
Bagaikan orang sekarat, tangan Keng In meraih-raih dan memukul-mukul. Terpaksa Milana melepaskan cengkeramannya dan menyelam ke bawah, menyambar kaki Keng In dan menyeretnya ke bawah lagi. Sesampainya di dasar laut yang belum begitu dalam, paling dalam empat meter itu, dia melepaskan kaki Keng In sambil mengikuti tubuh lawan yang meluncur ke atas itu.
"Plak-plak! Desss!" Dua kali tamparan mengenai kepala Keng In dan hantaman kedua dengan tepat sekali mengenai leher pemuda itu.
"Augghhh...!" Kepala Keng In menjadi pening dan tubuhnya mulai menjadi lemas.
Dia masih belum tahu apa yang menyerangnya. Selagi dia gelagapan, kembali diseret ke bawah tanpa dapat dia lawan, karena kakinya telah dipegang dari bawah bukan hanya satu melainkan keduanya. Sekali ini tanpa dicegahnya lagi, Keng In terpaksa banyak menelan air laut. Kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang dan napasnya hampir putus, perutnya makin penuh air.
Milana masih memegangi kaki kiri Keng In. Terpaksa dia lepaskan kaki kanan pemuda itu karena dalam kepanikannya Keng In menendangkan kaki kanan. Ketika terasa oleh Milana betapa kaki kiri itu berkelojotan, semua kebencian dan kemarahannya lenyap tertutup oleh rasa jijik, ngeri dan juga kasihan!
Sungguh jauh bedanya dengan merobohkan lawan dalam pertandingan. Sekali tangan bergerak memukul, atau pedang menembus dada lawan, beres. Akan tetapi sekarang, memegang kaki seorang lawan yang berada dalam keadaan sekarat, berkelojotan, benar-benar terasa sekali betapa dia akan menjadi seorang pembunuh yang amat kejam! Dalam keadaan seperti itu, terbayanglah dia akan kebaikan Keng In, betapa manis dan ramah sikapnya, betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya, sungguh pun dia tidak dapat membalasnya.
Teringat pula dia betapa ibunya adalah seorang puteri Kaisar yang amat terkenal, yang tentu tidak sudi melakukan pembunuhan secara pengecut seperti yang sekarang dilakukannya itu. Apa pula ayahnya! Ayahnya adalah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia! Tidak mungkin ayah kandungnya itu akan sudi melakukan pembunuhan securang yang dilakukannya ini. Kiranya ayah dan ibunya akan lebih suka berkorban nyawa dari pada melakukan perbuatan serendah itu!
Teringat akan semua ini, Milana menggigil seluruh tubuhnya. Dilepaskannya kaki yang mulai lemah gerakan sekaratnya itu sehingga tubuh Keng In meluncur ke atas! Dia juga menggerakkan kaki menyusul ke atas. Dia memang harus membebaskan diri dari kekuasaan Keng In, akan tetapi tidak begini caranya! Untuk menyelamatkan diri melakukan pembunuhan keji dan curang seperti ini, betapa rendahnya itu! Selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh bayangan Keng In yang dibunuhnya secara pengecut dan curang. Tidak! Dia tidak boleh melakukan kecurangan yang rendah dan hina itu!
Ketika kepalanya tersembul ke permukaan air dan menyedot napas dalam-dalam, Milana melihat tubuh Keng In hampir tenggelam lagi. Pemuda itu telah pingsan! Cepat dia menyambar rambut pemuda itu yang riap-riapan karena gelungnya terlepas, kemudian melawan ombak menyeret tubuh Keng In berenang ke darat.
Sejam kemudian, setelah Milana mengeluarkan air dari dalam perut Keng In dengan jalan menindih perut pemuda yang ditelungkupkannya itu sehingga air keluar dari mulutnya, Keng In siuman kembali. Dia membuka matanya dan sebagai seorang ahli silat tinggi, biar pun kepalanya masih agak pening, sekali bergerak dia telah meloncat bangun dan siap menghadapi lawan! Melihat Milana duduk di atas rumput dengan pakaian masih basah kuyup, dia terheran dan teringatlah dia akan semua yang dialaminya.
"Ahhh, kau... kau selamat, Milana?" tanyanya.
Milana tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia hampir membunuh pemuda ini dan pertama kali yang keluar dari mulut pemuda itu setelah siuman dari pingsannya adalah menanyakan keselamatannya! Betapa besar cinta pemuda itu kepadanya dan betapa besar bencinya kepada pemuda itu. Dan dalam hal perasaan ini, lepas dari pada jahat tidaknya kelakuan pemuda itu, dia harus merasa malu! Bukankah cinta merupakan perasaan yang semurni-murninya, sedangkan benci merupakan perasaan yang sekotor-kotornya?
"Tentu saja aku selamat, Keng In. Bermain dalam air merupakan permainanku sejak kecil!"
"Ehhhh? Dan engkau tadi hampir saja tenggelam ditelan ombak!"
"Hanya dugaanmu saja, memang aku sengaja memancing engkau agar mengira demikian."
"Tapi... tapi... apakah kau tidak diserang gurita, atau ular, atau ikan besar seperti yang kualami? Aku... aku sampai pingsan dan... dan entah bagaimana aku dapat selamat sampai di sini. Apakah Suhu yang menolongku?"
Milana menggeleng kepala. "Tidak ada ikan menyerangmu. Yang ada hanya aku. Bukan ikan yang menyerangmu, melainkan aku."
"Heehhh...?" Keng in terbelalak kaget. "Engkau yang menarik kakiku, dan engkau memukulku?"
Milana mengangguk. "Dan alangkah mudahnya kalau aku mau, alangkah mudahnya membunuhmu."
"Kenapa tidak? Kenapa aku tidak mati? Kenapa kau tidak membunuhku dan... siapa yang menolongku?"
"Aku yang menyeretmu kembali ke darat selagi engkau pingsan."
"Mengapa, Milana? Bukankah amat mudah kalau hendak membunuhku yang sudah pingsan? Kenapa kau malah menolongku?"
"Aku bukan seorang pembunuh berdarah dingin yang kejam seperti engkau, Keng In. Melihat engkau tidak berdaya, aku malah tidak tega membunuhmu dan menyeretmu ke sini."
"Milana...!" Keng In hendak memeluk dara itu, akan tetapi Milana mengelak. "Itu berarti bahwa engkau pun cinta kepadaku, Milana! Ha-ha-ha, rela aku mati tiga kali rasanya kalau ditebus dengan cintamu kepadaku."
"Hemmm, jangan mengira bahwa tidak tega membunuh berarti jatuh cinta. Tidak Keng In. Aku tak membunuhmu karena aku merasa terlalu rendah dan hina kalau membunuh seorang lawan yang tidak berdaya. Andai kata aku memiliki kepandaian lebih tinggi darimu, sudah lama engkau tewas olehku dalam sebuah pertandingan. Aku bukan keturunan pengecut!" Setelah berkata begitu, dara ini cepat lari kembali ke pondoknya untuk menukar pakaiannya yang basah kuyup dan ketat menempel di tubuhnya itu.
Keng In terkulai penuh kekecewaan. Harapannya akan cinta kasih Milana yang tadi membubung setinggi gunung kini pecah berantakan dan terhempas rata seperti air tumpah. Dengan perasaan tertekan kekecewaan dan kedukaan, pemuda ini pergi menemui Cui-beng Koai-ong, gurunya yang bersemedhi di dalam sebuah goa di pantai Pulau Neraka, kemudian menangisi gurunya sambil minta bantuan gurunya agar kerinduan hatinya terobati dan keinginannya memperoleh Milana dengan penyerahan bulat itu terpenuhi.
Kakek yang seperti mayat itu tidak bergerak, juga tidak membuka matanya. Bahkan bibirnya tidak bergerak, namun ada suara terdengar keluar dari dalam perutnya!
"Goblok engkau jika jatuh cinta kepada seorang wanita! Betapa mungkin memaksakan cinta dalam hati wanita yang selalu mudah berubah seperti angin, sebentar bertiup ke timur sebentar ke barat? Mengikatkan diri dengan wanita berarti membuka pintu neraka yang akan menyiksamu!"
"Biarlah, Suhu. Apa pun akibatnya akan teecu hadapi asal teecu bisa mendapatkan diri Milana, dapat menerima penyerahan dirinya secara suka rela. Teecu tidak dapat melakukan paksaan karena teecu cinta kepadanya, teecu ingin dia menyerah bulat-bulat tanpa paksaan."
"Hemm, hanya ada satu jalan. Tanpa siasat tak mungkin niatmu terlaksana. Gadis puteri Pendekar Siluman itu memiliki kekerasan di balik kelembutannya, kekerasan melebihi baja yang takkan dapat ditundukkan. Kau cari kumpulan racun di dalam peti simpananku. Pergunakan bubuk racun merah dua bagian dicampur dengan sari racun lima warna, campurkan dalam makanan dan berikan kepadanya."
"Aihh...! Racun-racun itu adalah pembunuh-pembunuh yang tidak ada obatnya, Suhu!"
"Memang demikian. Akan tetapi kalau sudah dicampur dengan takaran itu, akan saling memunahkan dan berubah menjadi racun perampas ingatan. Gadismu itu akan lupa segala kalau kau beri racun campuran itu."
"Akan tetapi, apa gunanya kalau dia hilang ingatan, Suhu?"
"Tolol! Kalau dia lupa lagi siapa engkau, lupa siapa yang dibenci dan dicinta, apa sukarnya?"
"Tapi... tapi..."
"Sudah! Pergilah, dan jangan ganggu aku!"
Keng In tidak berani membantah lagi. Sampai dua hari dia termenung memikirkan jalan terbaik. Dia ingin Milana menyerahkan diri dengan suka rela padanya, bukan membuat dara itu seperti boneka tanpa ingatan! Tiba-tiba dia teringat ketika dahulu bersama Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan pasukan pengawal menawan Milana. Kemudian muncul Gak Bun Beng, pemuda yang sejak kecil selalu menghadapinya sebagai musuh!
Dan pemuda itu telah menyerahkan Hok-mo-kiam kepada Milana, menolong gadis itu membebaskan diri dan rela mengorbankan diri menjadi tawanan. Bahkan dia telah memukul Bun Beng dengan pukulan Toat-beng-tok-ci, akan tetapi Bun Beng yang sudah tak berdaya itu di tengah jalan dapat lolos berkat pertolongan orang sakti yang dia sangka tentulah paman gurunya sendiri, Bu-tek Siauw-jin.
Ah, ada hubungan apakah antara Bun Beng dan Milana? Mudah saja diduga bahwa Bun Beng tentu mencinta Milana, kalau tidak, tak mungkin pemuda itu menyerahkan Hok-mo-kiam, dan juga rela membiarkan dara itu lolos dengan mengorbankan dirinya sendiri! Akan tetapi bagaimana dengan Milana? Cintakah Milana kepada pemuda itu? Dia harus mengetahui lebih dulu akan hal ini sebelum dia menggunakan siasat seperti yang dikatakan gurunya.
Beberapa hari kemudian, ketika Milana sedang duduk seorang diri di dalam taman, Keng In datang menghampirinya dan berkata, "Milana, aku sangat berterima kasih kepadamu bahwa beberapa hari yang lalu engkau telah menyelamatkan nyawaku saat aku pingsan di lautan."
Milana menoleh, kedua pipinya menjadi merah. "Tidak perlu kau mengejek, Keng In. Engkau pingsan karena kecuranganku dan aku sama sekali bukan menolongmu, tapi hanya menghentikan niatku untuk membunuhmu secara pengecut."
"Betapa pun juga, aku amat berterima kasih kepadamu, Milana. Aku mengerti engkau tentu jemu melihat betapa aku selalu mengharapkan cintamu. Aku terlalu mencinta engkau, Milana dan hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa engkau belum mempunyai pilihan hati. Andai kata engkau telah mencinta seorang pria lain, hemm... agaknya aku akan tahu diri dan akan mundur."
Tiba-tiba Milana memandang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah itu, Keng In? Apakah engkau akan membebaskan aku kalau aku telah mencinta seorang pria lain?"
"Hemm... agaknya begitulah. Aku akan malu sekali kalau mengharapkan cinta kasih seorang wanita yang telah mempunyai pilihan orang lain. Hal itu akan amat rendah dan memalukan bagi seorang pria gagah. Kalau engkau memang telah jatuh cinta kepada orang lain, aku takkan menjadi penasaran lagi dan mengerti mengapa kau tidak dapat membalas cintaku."
"Kalau begitu, Keng In. Dengarlah baik-baik. Aku memang telah mencinta pria lain maka aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu!"
Kalau saja wajah pemuda itu tidak berwarna pucat selalu, kiranya tentu Milana akan melihat perubahan mukanya. Jantung pemuda itu bagai ditusuk rasanya dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk menekan perasaannya yang tertusuk.
"Hemm... benarkah itu, Milana? Ataukah hanya untuk alasan kosong belaka? Kalau memang benar kata-katamu, engkau harus dapat menyebutkan nama orang yang kau cinta itu."
"Orangnya sudah kau kenal, Keng In. Dia adalah Gak Bun Beng..."
"Aaahhh...!" Seruan sederhana ini bukan karena kaget, melainkan karena kemarahan yang ditahan-tahannya. Dugaannya tidak keliru. Pemuda keparat Gak Bun Beng itu!
"Tapi dia itu anak haram!"
"Wan Keng In! Aku melarangmu menyebutnya dengan penghinaan seperti itu!" Milana bangkit berdiri, bertolak pinggang dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Hal ini tambah meyakinkan hati Keng In bahwa benar-benar dara yang dipujanya ini mencinta Bun Beng!
"Memang kenyataannya begitu! Dia putera mendiang tokoh iblis Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai hasil perkosaan iblis itu kepada seorang murid Siauw-lim-pai!"
"Perbuatan ayah atau ibu tiada sangkut-pautnya dengan anaknya! Apa pun yang menjadi riwayat hidup orang tuanya, aku tidak peduli dan Gak Bun Beng tetap merupakan satu-satunya pria yang paling baik bagiku, yang ku... cinta! Nah, aku sudah mengaku, engkau harus memegang janjimu, Wan Keng In!"
Keng In menahan kemarahannya yang meluap-luap, timbul dari cemburu dan iri hati. Dia meninggalkan Milana dan gadis ini diam-diam merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa seorang yang sudah rusak akhlaknya seperti pemuda Pulau Neraka ini sukar diketahui isi hatinya, dan untuk meloloskan diri dari pulau itu seolah-olah tidak ada kemungkinan lagi. Dia hanya mengharapkan pertolongan dari ibunya, atau ayahnya.
Tidak mungkin ayah bundanya, juga Gak Bun Beng akan diam saja. Tentu tiga orang itu akan mencarinya dan setiap hari dia mengharap-harap munculnya seorang di antara mereka, atau kalau mungkin ketiganya karena untuk menghadapi Wan Keng In dan gurunya, kecuali ayahnya, agaknya belum tentu kalau ibunya atau Bun Beng akan dapat menang. Selain mereka bertiga, dia pun mengharapkan pertolongan dari Kaisar yang menjadi kakeknya. Tentu kakeknya itu kalau mendengar bahwa dia diculik orang akan mengerahkan pasukan mencarinya.
Akan tetapi Milana sama sekali tidak tahu bahwa Wan Keng In akan mengambil siasat yang amat keji, yang sama sekali tidak pernah diduganya, yaitu menggunakan racun yang dicampur dalam makanannya. Tanpa disadarinya, semenjak makan hidangan yang dicampuri racun oleh Keng In, lambat laun Milana menjadi makin pelupa dan akhirnya dia telah kehilangan ingatan sama sekali! Hanya samar-samar saja dia masih ingat akan orang-orang yang paling dekat dengan hatinya, yaitu ayah bundanya, dan terutama Gak Bun Beng!
Setelah melihat hasil dari racun seperti yang diajarkan gurunya sehingga keadaan dara tawanannya itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi, Wan Keng In lalu melanjutkan siasatnya. Malam hari itu dia memasuki kamar pondok Milana, membuka jendela dan sengaja mengeluarkan suara. "Sstttt... Milana...!"
Milana yang sudah hampir pulas itu bangun. Biar pun dia lupa ingatan, namun dia tidak kehilangan kepandaiannya dan sedikit suara itu cukup membuat dia terbangun dan siap menghadapi bahaya yang mengancam!
"Siapa...?" tegurnya.
"Aku... Gak Bun Beng!"
"Gak... Bun... Beng...?" Milana sudah meloncat turun dari pembaringannya dan dengan mata terbelalak ia melihat laki-laki yang sudah berada di dalam kamarnya itu. Seorang pemuda berpakaian sederhana, dengan memakai caping bundar lebar.
Keadaan dalam kamarnya remang-remang sehingga wajah orang itu tidak nampak jelas, akan tetapi andai kata keadaan terang sekali pun, Milana tidak akan mengenal lagi wajah orang yang dicintanya itu. Yang jelas teringat olehnya hanyalah nama Gak Bun Beng! Kini melihat orang yang selama ini dipikirkan dan dirindukannya telah datang, tentu saja dia girang bukan main!
"Milana... betapa rinduku kepadamu... aku cinta padamu, Milana. Aku Gak Bun Beng kekasihmu..."
"Koko...!" Milana berseru lirih dan dalam suaranya ini tercurah seluruh perasaan rindunya. Ketika pemuda itu memeluknya, Milana menekan mukanya di dada yang bidang itu sambil menangis terisak-isak, tangis kegirangan!
Biar pun pada saat itu Milana berada di bawah pengaruh racun perampas ingatan, namun perasaannya masih berkesan bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya dan yang dirindukannya hanyalah ayah bundanya dan Gak Bun Beng, maka begitu pemuda itu muncul, tentu saja dia menjadi terharu, lega, dan girang. Kegirangan yang meluap ini membuat dia tidak menolak, bahkan menyambut dengan hangat peluk cium pemuda itu untuk melepaskan rindunya yang menyesak dada.
"Milana, kekasihku... jiwaku sayang..." Pemuda itu berbisik penuh gairah, mencium dahi, mata, hidung, bibir dengan penuh kemesraan sedangkan dara itu menyambut dengan mata dipejamkan, penuh penyerahan, penuh kebahagiaan.
Akan tetapi ketika pemuda itu memondongnya ke atas pembaringan, ketika dia merasa betapa tangan pemuda itu bergerak melanggar batas kesusilaan, bahkan mulai berusaha menanggalkan pakaiannya, Milana terkejut bukan main, membuka matanya dan meronta sambil berseru, "Jangan...!"
"Mengapa, Milana? Aku Gak Bun Beng kekasihmu..." Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In yang menyamar sebagai Bun Beng, memeluk dan mendesak sambil mencium dengan nafsu birahi yang sudah memuncak ke ubun-ubunnya.
"Jangan...!" Milana kembali menepis tangan yang nakal itu.
"Milana, bukankah kita saling mencinta? Kau akan menjadi isteriku, Sayang..."
"Koko, jangan begini! Biar pun kita saling mencinta, akan tetapi kita belum menikah dan aku bukanlah seorang wanita rendahan yang dengan mudah dan murah dapat menyerahkan diri begini saja!" Suara dara itu terdengar tegas bercampur nada tidak senang dan kecewa.
"Milana...!"
Kini Milana meronta, melepaskan diri dan meloncat turun dari atas pembaringan. Sepasang matanya masih basah oleh air mata kegirangan tadi, akan tetapi alisnya berkerut dan suaranya tegas,
"Gak-koko! Aku menganggap engkau seorang laki-laki yang paling baik di dunia ini, akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak melakukan hal yang amat keji?"
"Milana... aku cinta padamu..."
"Gak-koko, apa yang hendak kau lakukan ini sama sekali bukanlah cinta, melainkan nafsu iblis...! Apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menodai kasih sayangku?"
Wan Keng In menekan perasaan yang sudah bergelora. Dia telah menggunakan siasat, meracuni gadis ini agar lupa segala, kemudian dia menyamar sebagai Bun Beng. Gadis itu memang tertipu, menganggap dia Gak Bun Beng, akan tetapi tetap saja siasatnya tidak berhasil mendapatkan diri dara itu dengan suka rela. Tadinya, kalau sampai usahanya berhasil dan Milana menyerahkan diri kepada ‘Gak Bun Beng’ yang diwakilinya, maka pelan-pelan dia akan memunahkan racun yang mempengaruhi diri Milana dan karena sudah terlanjur menyerahkan diri, tentu Milana akan menerima kenyataan bahwa dia telah menjadi milik Wan Keng In! Siapa mengira, biar pun berada dalam keadaan tidak sadar dan lupa ingatan, ternyata gadis itu masih saja tetap mempertahankan kehormatannya, biar pun terhadap Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya!
"Milana, engkau mengecewakan hatiku!" Dia membentak marah akan tetapi masih ingat untuk memburukkan nama Gak Bun Beng di depan dara itu. "Berbulan-bulan aku menahan rindu dan setelah sekarang kita bertemu, engkau menolak pencurahan kasih sayangku. Hmm, apa kau kira tidak ada wanita lain yang akan suka melayani cintaku?" Setelah berkata demikian, Wan Keng In meninggalkan pondok itu.
"Gak-koko...!" Milana menjerit dan mengejar, akan tetapi melihat bayangan pemuda itu lenyap dalam gelap.
Kemudian dia kembali ke dalam kamarnya, menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis. Milana merasa bingung sekali. Dunia seakan-akan menjadi tempat yang tidak menyenangkan baginya. Dia selalu merasa bingung dan meragu, sekarang ditambah lagi dengan tingkah laki-laki yang paling dicintanya, yang demikian tega hendak merenggut kehormatannya dengan paksa!
Sementara itu Wan Keng In marah bukan main. Semua ini gara-gara Gak Bun Beng, pikirnya. Kebenciannya memuncak setelah dia mendengar sendiri betapa Milana mencinta pemuda yang dianggapnya musuh besar itu. Dia harus mencari Gak Bun Beng, dan membunuhnya! Baru puas rasa hatinya kalau saingan itu lenyap dari permukaan bumi.
Dia lalu memanggil Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka berkepala gundul bermuka merah muda yang menjadi orang kepercayaannya, berpesan kepada pembantu ini agar menjaga Pulau Neraka, melayani kebutuhan gurunya, dan selama dia pergi meninggalkan pulau agar mencampuri hidangan Milana dengan bubukan obat yang telah disiapkannya, hanya sedikit perlu untuk menjaga agar ingatah dara itu tetap kabur dan pelupa! Setelah meninggalkan semua pesan itu, malam itu juga Wan Keng In naik perahu meninggalkan Pulau Neraka.
Beberapa hari kemudian, semenjak Wan Keng In mendarat dan mulai dengan perjalanannya untuk mencari Gak Bun Beng, mulai geger pula dunia kang-ouw dengan munculnya seorang pemuda yang amat kejam dan ganas, yang menyebar maut di antara orang-orang gagah, seorang pemuda yang lihai bukan main, yang memegang pedang Lam-mo-kiam dan yang bernama... Gak Bun Beng!
Tentu saja pemuda itu adalah Wan Keng In! Karena bencinya kepada Bun Beng yang dianggapnya telah merebut hati kekasihnya, ia sengaja menggunakan nama musuhnya untuk malang-melintang, mendatangi perkumpulan-perkumpulan dari golongan bersih, membunuh tokoh-tokohnya yang berani melawannya. Sekejap saja nama Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan) dikenal oleh dunia kang-ouw dengan hati gentar, dan nama Gak Bun Beng yang selalu mengaku keturunan atau putera mendiang datuk kaum sesat Gak Liat itu juga dikenal dengan hati benci.
Memang Keng In sengaja memperkenalkan nama Gak Bun Beng sebagai putera Gak Liat. Biar pun Gak Liat sudah meninggal dunia, namun nama Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat amatlah terkenal, maka tidak ada seorang pun yang meragukan lagi bahwa keturunan datuk itu yang bernama Gak Bun Beng tentulah juga jahat sekali seperti ayahnya!
Betapa pun jahat perbuatan Wan Keng In itu, tetapi hal ini tentu saja tidak disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia menganggap bahwa Bun Beng amat jahat, menghancurkan harapannya, merusak cinta kasihnya, menggagalkan hubungannya dengan dara yang dicintanya. Dia menganggap Bun Beng semenjak dulu menantang dan memusuhinya, dan dia menganggap sudah sepatutnya kalau Bun Beng dihukumnya, di antaranya dengan merusak namanya di dunia kang-ouw!
Dan anggapan Wan Keng In ini bukanlah dibuat-buat. Sudah menjadi kebiasaan kita yang dianggap lajim bahwa kita menilai seorang dari keturunannya, dari masa lalu, dan karena penilaian inilah maka selalu terdapat permusuhan di dunia ini. Wan Keng In sudah mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah seorang anak haram yang lahir dari seorang wanita yang diperkosa oleh Gak Liat Si Datuk kaum sesat. Tentu saja dengan sendirinya dia menganggap rendah Gak Bun Beng, dan dianggapnya seorang yang hina dan sudah sepatutnya kalau jahat!
********************
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali di antara gumpalan-gumpalan es besar kecil yang malang-melintang di atas air laut. Dara muda yang mendayung perahu dengan kedua tangannya yang kecil halus namun penuh berisi tenaga sakti itu mendayung sambil menangis terisak-isak. Dibiarkannya air matanya turun mengalir di sepanjang hidungnya, di kanan kiri hidung terus ke pinggir mulut dan menitik turun ke dada melalui dagunya. Matanya tak pernah berkejap, memandang ke depan dengan kosong.
Setelah perahu kecil itu keluar dari gumpalan-gumpalan es, layar kecil dipasang dan angin mulai menggerakkan perahu, dara itu bangkit berdiri, mengemudikan layar berdiri termenung seperti arca. Isaknya tak terdengar lagi, akan tetapi air mata masih bertitik turun jarang-jarang. Tangan kiri memegangi tali layar tangan kanan meraba gagang pedang di pinggang.
"Singggg...!" Tampak kilat berkelebat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Tangan kanan itu membawa pedang di depan dahi, tegak dan seolah-olah hendak diciumnya. Bibir yang halus tipis agak pucat itu bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, aku bersumpah untuk membunuh engkau dan semua kaki tanganmu!"
Agaknya sumpah ini meredakan kemarahan dan kedukaan hati Giam Kwi Hong. Dia menyarungkan kembali pedang Li-mo-kiam dan duduk di perahu yang meluncur cepat terdorong angin menuju ke darat. Setelah kini duduk melamun sambil memandang ke barat, arah daratan besar, terbayanglah dia akan wajah seorang yang selama ini amat dirindukannya. Wajah yang tampan, gagah dan sederhana, wajah Gak Bun Beng! Dia mengeluh ketika teringat betapa Gak Bun Beng, pria satu-satunya di dunia ini yang telah berhasil merampas kasih hatinya, telah ditunangkan dengan Milana, puteri pamannya. Hancurlah hatinya. Musnahlah harapan untuk hidup bahagia!
Memang lucu dan janggal sekali manusia dan tingkahnya hidup di dunia ini. Kita sebagai manusia selalu rindu akan kebahagiaan, selalu gandrung dan mengejar-ngejar apa yang disebut kebahagiaan! Apakah sebenarnya kebahagiaan yang sebutannya dikenal oleh semua orang, yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia, akan tetapi yang agaknya tidak ada seorang pun manusia memilikinya itu? Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Apakah itu yang disebut hidup bahagia?
Adakah kebahagiaan itu suatu angan-angan kosong yang hanya direka oleh manusia yang merasa tidak bahagia? Ataukah kebahagiaan itu suatu keadaan tertentu yang dapat dirasakan dan dihayati? Orang dalam keadaan remuk redam hatinya karena kegagalan cinta seperti Kwi Hong, kiranya kebahagiaan berarti kalau dia dapat hidup bersama orang yang dicintanya! Orang yang menderita sakit berat, agaknya akan menganggap bahwa kebahagiaan adalah kalau dia sembuh dari penyakitnya! Orang yang kelaparan tentu akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sepiring nasi yang akan mengenyangkan perutnya, atau bagi seorang yang kehausan kebahagiaan adalah kalau dia dapat meneguk air jernih sejuk sepuas perutnya!
Orang yang rindu akan kebahagiaan, yang mengejar-ngejar kebahagiaan, berarti bahwa orang itu tidak mengenal kebahagiaan. Kalau dia tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin dia akan dapat berhasil mencari dan menemukan kebahagiaan? Kalau dalam pencariannya dia menemukan, tentu yang ditemukan itu bukan kebahagiaan, melainkan sesuatu yang diinginkannya, dan sesuatu yang diinginkan kebetulan sesuatu yang sudah dikenalnya atau dialaminya. Tak dapat disangkal pula karena memang kenyataan bahwa terpenuhinya keinginan mendatangkan kepuasan, akan tetapi kepuasan ini disusul dengan kebosanan sehingga timbul pula keinginan untuk hal-hal lain yang belum dapat diraihnya. Demikian terus-menerus kita terseret oleh lingkaran setan yang tiada berkeputusan, dan kebahagiaan pun tak kunjung tiba!
Yang terpenting bagi kita adalah untuk mengetahui kenapa kita mencari kebahagiaan? Orang yang mencari kebahagiaan berarti tidak berbahagia, bukan? Kalau sudah bahagia tak mungkin mencari kebahagiaan lagi! Kalau kita tidak berbahagia, apa sebabnya kita tidak berbahagia? Inilah yang penting! Seperti orang yang mencari kewarasan tentulah orang yang tidak waras! Yang penting adalah untuk mengetahui mengapa kita tidak waras, dan apa penyakit yang kita derita. Yang penting adalah menghilangkan penyakit itu, bukannya mengejar kewarasan. Yang penting adalah menghilangkan penyebab tidak bahagia atau yang biasa disebut derita dan sengsara itu, bukannya mengejar bahagia! Kalau tidak ada lagi yang menyebabkan kita tidak bahagia, maka kebahagiaan tentu ada!
Kwi Hong pun dirusak oleh pikirannya sendiri yang seperti semua manusia, tak pernah mengenal diri dan keadaan sendiri, tak pernah puas dengan keadaan seperti apa adanya. Kekecewaannya mendengar Bun Beng bertunangan dengan Milana, penyesalannya karena dia telah tertipu oleh Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya sehingga dia melakukan kesalahan besar di depan pamannya, membuat dia berduka dan sakit hati. Duka, sakit hati, penyesalan dan kemarahan akhirnya membentuk watak yang keras di dalam hati Kwi Hong. Membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli akan keadaan sekitarnya.
Perahunya meluncur cepat, lebih cepat dari tadi setelah berhasil keluar dari gumpalan es yang mengambang di permukaan air, kini menuju ke barat, ke arah daratan. Badai yang mengamuk di bagian selatan Pulau Es tidak mencapai tempat yang dilalui Kwi Hong itu, akan tetapi tetap saja pengaruhnya ada pada air laut yang bergelombang, akan tetapi tidak mengganggu Kwi Hong yang pandai menguasai perahu layarnya, bahkan perahu itu terdorong pula oleh lajunya ombak.
Lima orang nelayan yang melihat betapa di udara sebelah selatan dan timur gelap, tanda bahwa ada badai mengamuk, memandang terheran-heran ketika melihat sebuah perahu layar kecil melaju ke arah pantai. Mereka sendiri sebagai nelayan-nelayan yang berpengalaman, melihat ancaman badai, tidak berani melanjutkan usaha mereka mencari ikan, dan hanya menanti di pantai. Tadinya mereka mengira bahwa perahu layar itu tentu milik seorang nelayan yang terserang badai sehingga tersesat sampai ke tempat itu. Akan tetapi betapa kaget dan herannya hati mereka ketika perahu layar itu tiba di pantai, mereka melihat seorang dara yang cantik jelita turun dari perahu layar meloncat ke darat dan sama sekali tidak mempedulikan mereka.
Akan tetapi tiga orang di antara para nelayan itu adalah orang-orang muda yang kasar. Melihat seorang dara cantik sendirian saja turun dari perahu itu, mereka segera menghampiri, dan seorang di antara mereka sudah berseru, "Aiihhh, Nona manis, tunggu dulu!"
"A-ban, jangan ganggu orang!" Dua orang nelayan tua yang tidak ikut maju menegur, akan tetapi A-ban dan dua orang kawannya itu tidak mau peduli akan teguran itu dan berlari mengejar Kwi Hong yang sudah melangkah hendak pergi.
Mendengar seruan itu, Kwi Hong menghentikan langkahnya, tanpa menoleh, hanya berdiri tegak seperti arca, akan tetapi sepasang alisnya berkerut dan sinar matanya mengeluarkan cahaya kilat. Hatinya yang sedang dilanda duka, kecewa, penyesalan, kemarahan dan sakit hati itu seperti dibakar mendengar orang secara kasar dan kurang ajar menyebutnya nona manis!
Tiga orang nelayan muda itu dengan sikap cengar-cengir sudah tiba di depan Kwi Hong dan mereka makin kagum melihat dara ini dari dekat karena Kwi Hong memang memiliki kecantikan yang mengagumkan. Melihat alis itu berkerut dan bibir manis itu cemberut, tiga orang itu tersenyum menyeringai. Mereka mengira bahwa wanita ini tentu bersikap ‘jual mahal’ karena jelas bahwa satu kali seruan saja cukup membuat wanita itu berhenti, tanda bahwa ‘ada kontak’.
"Aihhhh, Nona, jangan cemberut. Kalau engkau marah makin manis, tidak kuat aku memandangnya!" kata orang pertama.
"Jangan jual mahal, ah, berapa sih harganya?" orang kedua menyambung.
"Kami hanya ingin bicara denganmu, Nona cantik manis, siapakah nama, di mana tempat tinggal, berapa usia, sudah menikah atau belum?" orang ketiga berkata dengan suara dibuat-buat seperti orang bernyanyi.
"Singgg...! Crat-crat-crat...!"
Tiga orang nelayan itu hanya melihat sinar kilat berkelebat menyambar, mereka tidak sempat lagi terheran karena sinar kilat itu adalah sinar pedang Li-mo-kiam yang sudah menyambar ke arah leher mereka dan robohlah tiga orang ini bergelimpangan dengan leher hampir putus dan nyawa melayang, seketika itu juga.
"Ahhh...!" Dua orang nelayan tua memandang terbelalak dan seketika mereka menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil.
Kwi Hong sendiri terkejut menyaksikan akibat kemarahannya. Sejenak dia tertegun dan terheran mengapa tiga orang itu dibunuhnya? Memang mereka kurang ajar, akan tetapi dia sendiri kini merasa betapa dia telah bertindak keterlaluan, karena kesalahan mereka itu belum patut untuk dihukum dengan kematian! Dia menyesal, akan tetapi sudah terlambat. Kini mendengar seruan kaget itu dia menoleh dan melihat dua orang nelayan tua berlutut dengan ketakutan, dia lalu berkata, suaranya halus seperti biasa.
"Paman berdua tidak perlu takut. Mereka ini menghinaku dan sudah mati. Kuburlah mayat mereka dan ini perahuku boleh kalian ambil. Kuberikan kepada kalian." Setelah berkata demikian, Kwi Hong berkelebat dan sekejap mata saja dia telah meloncat dan berlari jauh, kemudian lenyap di antara pohon-pohon.
Dua orang kakek itu terbelalak, sampai lama tidak dapat bangkit berdiri mengira bahwa wanita yang turun dari perahu di waktu laut bergelombang itu tentu seorang siluman atau iblis penghuni lautan!
Semenjak Li-mo-kiam yang sejak diciptakannya selalu haus darah itu berhasil minum darah tiga orang nelayan, pedang iblis itu menjadi makin haus darah. Pengaruhnya ini dengan cepat dan mudah menjalar ke dalam pikiran Kwi Hong yang pada saat itu pun sedang dihimpit sakit hati, dendam, kekecewaan, kemarahan dan kedukaan, sehingga dara ini berubah menjadi seorang dara yang ganas sekali. Pendidikan dasar semenjak dia kecil di Pulau Es, gemblengan yang didapatnya dari Pendekar Super Sakti, tentu saja cukup kuat untuk mencegahnya terseret ke dalam lembah kejahatan.
Tidak, Giam Kwi Hong masih belum menjadi seorang wanita iblis yang suka melakukan kejahatan sebagai kesenangannya, sama sekali tidak. Dia masih berwatak pendekar yang selalu berhasrat menentang kejahatan, namun perubahan wataknya itu membuat dia menjadi seorang yang amat kejam dan ganas.
Hal ini terbukti di sepanjang perjalanannya menuju ke kota raja. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang dianggapnya jahat, dengan perampok dan bajak sungai, tentu mereka itu menjadi korban kehausan Li-mo-kiam dan dibasminya semua sampai habis ke akar-akarnya, tidak seorang pun diberi ampun. Maka muncullah nama baru yang amat ditakuti oleh golongan hitam, julukan yang dengan sendirinya diperoleh Kwi Hong karena pedang dan keganasannya. Perjalanannya ke kota raja dari Pulau Es ini menggoreskan jejak yang mendalam karena perbuatannya membasmi para penjahat itu, dan berkumandanglah nama julukan Mo-kiam Lihiap (Pendekar Wanita Pedang Iblis)!
Karena merasa menyesal sekali bahwa dia telah tertipu oleh para pemberontak sehingga dia melakukan kesalahan besar kepada pamannya, bahkan dialah yang menjadi gara-gara sampai bibi Phoa Ciok Lin tewas, Kwi Hong menjadi seorang pendendam besar dan perasaan ini ditambah kekecewaan dan kedukaan membuat dia seorang yang tidak mengacuhkan segala sesuatu, dan dia menjadi pula seorang pembenci!
Beberapa pekan kemudian tibalah dia di kota raja yang sekarang sudah aman. Dia mulai melakukan penyelidikan dan mendengar betapa pasukan pemberontak sudah hancur sama sekali oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Hal ini tidak menarik hatinya karena dia memang sudah tahu. Yang ingin diketahuinya adalah di mana adanya Milana dan... terutama sekali Gak Bun Beng. Akhirnya dia berhasil mendapat keterangan yang mengejutkan bahwa Milana, puteri dari Panglima Wanita Nirahai, cucu dari Kaisar sendiri, telah lama lenyap diculik orang! Tidak ada yang tahu siapa penculiknya dan tidak ada pula yang tahu siapa atau di mana adanya Gak Bun Beng.
Hati Kwi Hong menjadi bimbang. Kalau menurut pesan pamannya, dia harus mencari Milana dan Bun Beng. Tapi kini sudah kurang semangatnya untuk melaksanakan perintah pamannya itu. Apa perlunya mencari mereka? Mereka bukanlah anak kecil. Bertemu dengan Milana dan Bun Beng, melihat mereka berdua telah menjadi calon suami isteri, hanya akan menusuk perasaannya sendiri saja. Pamannya telah membencinya. Jika dia berhasil menemukan Milana dan Bun Beng, berhasil mengajak mereka pulang ke Pulau Es, tentu dia hanya akan lebih menderita lagi. Lebih baik tidak lagi bertemu dengan Milana, tidak lagi bertemu dengan pamannya. Dia tidak lagi akan pergi ke Pulau Es!
Kwi Hong menggigit bibir menahan isaknya yang tersedu dari dalam dadanya. Digunakan kekerasan hatinya untuk menahan menetesnya air mata. Tak perlu dia menangis. Dia bisa hidup sendiri. Memang dia seorang yang sebatang kara, seorang yatim piatu.
Ah, ada gurunya yang kedua. Bu-tek Siauw-jin! Kakek sinting itulah satu-satunya orang yang baik kepadanya. Teringat akan watak kakek yang sinting dan aneh itu, lenyaplah kedukaan hati Kwi Hong dan dia tersenyum geli sendiri. Tentu saja! Dia harus pergi mencari kakek yang menjadi gurunya itu, Bu-tek Siauw-jin, tokoh besar Pulau Neraka. Tentu saja kakek itu kemungkinan besar kembali ke Pulau Neraka.
Berdebar tegang juga hatinya ketika ia mengingat akan hal ini. Juga pemuda iblis itu, Wan Keng In, dan gurunya yang mengerikan, kakek Mayat Hidup yang berjuluk Cui-beng Koai-ong, berada di Pulau Neraka! Sungguh pun hal ini pun belum tentu melihat kenyataan betapa pemuda yang menjadi putera bibi Lulu yang kini menjadi isteri pamannya di Pulau Es itu sering kali berkeliaran di daratan besar.
Andai kata benar berada di sana dan dia berjumpa dengan pemuda iblis itu, dia pun tidak takut. Dia akan menyampaikan pesan bibi Lulu, memberi tahu bahwa bekas Ketua Pulau Neraka itu kini telah menjadi isteri Majikan Pulau Es dan minta supaya pemuda itu suka menyusul ibunya ke Pulau Es. Akan tetapi kalau pemuda iblis itu tidak mau, dia tidak akan peduli. Kalau pemuda itu masih memusuhinya seperti dahulu, dia tidak takut menghadapinya. Setelah dia menerima gemblengan Bu-tek Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi dia berhadapan dengan pemuda iblis itu atau gurunya sekali pun, atau siapa saja.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG PEDANG IBLIS (BAGIAN KE-7 SERIAL BU KEK SIANSU)